1.06.2009

Pendidikan Fardhu 'Ain dan Fardhu Kifayah

Problem pendidikan saat ini adalah terpolarisasinya ilmu ke dalam dua kubu, ilmu-ilmu umum dan agama. Hal itu kemudian menyebabkan terbaginya institusi pendidikan menjadi dua kubu pula; di bawah Departemen Agama (DEPAG) dan di bawah Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Pendidikan di bawah DEPAG seperti, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Islam (PTI).

Sedangkan di bawah DEPDIKNAS seperti, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum (PTU). Munculnya upaya-upaya penyatuan antar keduanya sudah lama muncul. Sebagai misal munculnya Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) dan ditingkat PTN ada Universitas Islam Negeri (UIN) dan lain sebagainya adalah buah dari kegelisahan banyak kalangan atas jarak yang sangat jauh antara pendidikan agama dan umum.
Namun demikian, bukan berarti permasalahan terobati dan selesai sampai di situ, bahkan muncul problem-problem yang semakin rumit. Di sekolah-sekolah Islam terpadu, misalkan, konsep keilmuan yang terintegralistik kurang terbangun secara benar dan konseptual, justru yang ditekankan hanya semangat beribadah dan praktikal saja. Akibatnya, dan ini persoalan paling serius, ilmu-ilmu Islam terseret kepada paradigma Barat, sadar atau tidak. Konsep-konsep ilmu secara menyeluruh didominasi oleh cara pandang sekuler. Banyak kita menyaksikan sekolah-sekolah Islam terpadu mengajarkan ilmu-ilmu Islam tapi kehilangan ruhnya. Akibatnya aqidah dan akhlak siswa tidak beda dengan siswa yang belajar di sekolah non-Islam Terpadu. Begitu pula cara pandang mereka terhadap ilmu umum. Mereka tidak melihat bahwa ilmu umum juga adalah bagian dari Islam, yang merupakan kewajiban agama untuk mempelajarinya dan bernilai ibadah tinggi. Tidak terlihat motivasi bahwa belajar mereka adalah demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Atau bahkan, materi pelajaran umum di sekolahnya tidak berusaha di-Islamisasikan oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Problem lain terdapat di Perguruan Tinggi Islam, selain sudah terbaratkan, jurusan-jurusan keagamaan semakin tidak diminati, karena arah dan tujuan belajar di sana sudah terorientasikan untuk dunia kerja. Padahal lapangan kerja untuk jurusan agama nyaris tidak ada. Tak bisa dipungkiri bahwa itulah penyebab utama mengapa jurusan-jurusan agama tidak diminati, bahkan hanya menjadi pelarian manakala calon siswa gagal dalam tes di jurusan-jurusan umum.
Menurut Imam Al Ghazali, semestinya institusi pendidikan Islam tidak membagi ilmu itu kepada umum dan agama, tapi kepada fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain berkaitan dengan asas-asas Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap individu muslim seperti rukun iman (Tauhid), rukun Islam dan menjauhi hal-hal yang jelas keharamannya. Sedangkan fardhu kifayah menurut Al Ghazali berkaitan dengan ilmu-ilmu syariah dan non syariah. Ilmu syariah ialah ilmu yang diperoleh dari nabi saw dan ilmu non syariah ialah ilmu-ilmu terpuji, yaitu ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan duniawi dan kemaslahatan umat seperti kedokteran, militer, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Selama ini kita menganggap bahwa fardhu kifayah hanya sebatas mengurusi jenazah saja. Padahal hakikat fardhu kifayah terus meluas, setiap kemajuan dunia yang sesuai dengan syariat menjadi fardhu kifayah untuk umat Islam. Fardhu kifayah itu sendiri artinya perkara wajib yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban yang lain terhadap kewajiban tersebut. Artinya di antara umat Islam harus ada yang ahli dibidang politik, medis, militer, hukum dan ekonomi.
Sehingga dengan konsep seperti ini para pengajar dituntut memahami ilmu fardhu ‘ain, selain spesialisasinya. Begitu pula pelajar harus memahami ilmu fardhu ‘ain, selain ilmu yang menjadi favoritnya. Dengan cara seperti ini, mempelajari agama, terutama yang fardhu ‘ain, tidak lagi dipandang sebelah mata, yang tidak menjanjikan lapangan kerja, karena ia akan dipelajari sebelum belajar yang lainnya oleh setiap penuntut ilmu.
Menurut Dr. Hasan Langgulung (1995) pendidikan Islam mempunyai dua maksud; Yaitu pendidikan Islam umum dan pendidikan Islam khusus. Pendidikan Islam umum ialah pendidikan yang diberikan kepada orang Islam dalam semua keadaan seperti di sekolah, rumah, masjid, kantin, tempat bermain, kendaraan. Saat mandi, makan, minum, bermain, tidur, bekerja dan lain sebagainya. Termasuk juga di bidang politik, hukum, budaya, sosial, kedokteran, perdagangan, militer dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan Islam khusus ialah mata pelajaran sekolah, yaitu Tauhid, tafsir, hadits, akhlak dan lain sebagainya. Maka bila disebutkan pendidikan Islam, bukan hanya mata pelajaran agama di sekolah. Tetapi memiliki arti luas, yaitu segala usaha mendidik orang Islam menjadi mu’min dan muttaqin. Pendidikan seperti ini harus dilakukan oleh setiap individu muslim secara sinergis dalam konsep amar ma’ruf dan nahyi munkar. Maka insya Allah dengan konsep ini tidak akan ada lagi orang tua siswa yang mengeluhkan kelemahan aqidah, akhlak, cara hidup dan cara pandang anaknya yang menjadi siswa di sekolah Islam terpadu. (wh)

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Info Penting Untuk Keluarga Muslim
    Milikilah Buku Beda Salaf dengan ” Salafi ” Harusnya Sama Kenapa Beda? Dilengkapi Fatwa-Fatwa Kibar Ulama, Karya: Syaikh Al-Allamah Mut’ab bin Suryan Al-’Ashimi Hafidzhahulloh, Terbitan: Media Islamika,
    Berminat Mendapatkan Buku-Buku Islam tentang Dakwah dan Jihad Bermutu terbitan Penerbit ternama seperti: Media Islamika, Kafayeh Cipta Media, Ar-Rahmah Media, Pustaka Atstsuguur, Jazera, serta Penerbit lainnya, juga Majalah Islam seperti: An-Najah, Al-Muhajirun, Jihad Magz, dll serta Obat Herbal seperti: Madu, Habbatuts Sauda (Jintan Hitam), Otem, Minyak Zaitun, Air Zam-Zam, dll juga Minyak Wangi berbagai Merk,
    silahkan Pesan dan Hub. Ust. Abu Afifah di Tlp: (021) 32655751/Hp/sms. 081510325211.
    Mas Rahmat (Abu Nida’) di Tlp/sms: (021) 91525364. http://jihaddandakwah.blogspot.com

    BalasHapus
  3. TAHDZIR AL-LAJNAH AD-DA’IMAH TERHADAP MEREBAKNYA PEMIKIRAN IRJA’ KONTEMPORER


    اَلْحَمْدُ ِللهِ وَحْدَهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ ... أَمَّا بَعْدُ:

    Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ (Komite Tetap Dewan Riset Ilmiyyah dan Fatwa) telah menelaah berbagai pertanyaan yang diterima oleh Mufti Umum dari para peminta fatwa, dan permintaan fatwa tersebut pun ditujukan pula kepada al-Amanah al-‘Ammah li Hay’ah Kibar al-‘Ulama’ (Sekretariat Jenderal Lembaga Ulama Senior) no. 5411 tanggal 7/11/1420 H, no. 1026 tanggal 17/2/1421 H, no. 1016 tanggal 7/2/1421 H, no. 1395 tanggal 8/3/1421 H, no. 1650 tanggal 17/3/1421 H, no. 1893 tanggal 7/4/1421 H, dan no. 2106 tanggal 7/4/1421 H. Para peminta fatwa mengajukan banyak pertanyaan, di antara isinya:

    “Akhir-akhir ini merebak arus pemikiran irja’ yang sangat mengkhawatirklan dan ternyata arus sesat ini dipopulerkan oleh banyak penulis kitab. Mereka mendasarkan paham sesat tersebut dengan memaparkan nukilan-nukilan dari kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah namun tidak secara utuh, hingga menyebabkan banyak orang terjerumus dalam masalah iman. Mereka menyebarkan pemikiran ini melalui racun keyakinan yang menyatakan bahwa amal perbuatan tidak termasuk bagian iman dan mereka berkesimpulan pandang bahwa orang yang meninggalkan seluruh amal perbuatan pun pasti akan selamat. Hal ini membuat banyak orang meremehkan berbagai tindak kemunkaran, syirik dan perbuatan murtad, karena mereka meyakini bahwa diri mereka masih memiliki iman, walaupun mereka tidak pernah mengerjakan berbagai kewajiban, atau tidak menjauhi hal-hal yang diharamkan, atau walaupun mereka sama sekali tidak pernah mengamalkan berbagai syari’at, karena bersandar kepada madzhab irja’ tersebut.

    Tidak diragukan lagi bahwa madzhab ini sangat berbahaya bagi keislaman masyarakat, aqidah dan amal ibadah mereka. Oleh karena itu, kami berharap agar para Syaikh yang mulia menjelaskan hakikat madzhab tersebut, dampak negatifnya, menyingkap kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan untuk menjelaskan kebenaran penukilan dari Syaikhul Islam, sehingga seorang muslim dapat meneliti jalan beragama di atas bashirah yang nyata. Semoga Allah meneguhkan langkah Antum semua.”

    Setelah mengkaji fatwa-fatwa tersebut, maka al-Lajnah berkesimpulan:

    Arus pemikiran yang telah disebutkan di atas tiada lain adalah pemikiran Murji’ah yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman. Mereka menyatakan bahwa iman hanya berupa tashdiq (pembenaran) di hati, atau tashdiq dengan hati dan perkataan dengan lisan saja, ada pun amal perbuatan bagi mereka (Murji’ah) hanya merupakan syarat kesempurnaan iman, bukan bagian dari iman itu sendiri. Menurut mereka, orang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisannya, maka ia adalah orang yang sempurna imannya, walaupun ia meninggalkan kewajiban dan mengerjakan hal yang dilarang, dan ia pun berhak untuk masuk surga meski berlum pernah beramal sekali pun. Keyakinan ini sangat menyesatkan sekali. Dampak negatif dari kesesatan madzhab ini antara lain: membatasi kekufuran hanya pada kufur at-takdzib (kufur karena mendustakan) dan istihlal al-qalb (adanya penghalalan dalam hati). Tiada keraguan lagi bahwa ini adalah perkataan yang batil dan kesesatan nyata yang jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah, baik dari generasi salaf maupun khalafnya. Paham ini juga membuka jalan lebar bagi orang-orang yang hobi berbuat jahat dan kerusakan untuk berpaling dari dien dan untuk meniadakan keterikatan dengan perintah dan larangan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, serta takut dan khasyyah hanya kepada-Nya saja.

    Madzhab sesat ini juga meniadakan syari’at jihad fi sabilillah dan amar ma’ruf wa nahi munkar, menyamakan antara yang shalih dengan yang thalih (tidak shalih), orang yang taat dengan yang gemar bermaksiat, dan antara orang yang istiqamah di jalan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan orang fasik yang ingin terbebas dari berbagai perintah dan larangan-Nya. Sepanjang bahwa amalan mereka tidak mempengaruhi iman, sebagaimana pandangan sesat mereka.

    Oleh karena itu, para ulama Islam –sejak dahulu hingga sekarang— sangat gigih menjelaskan kebatilan madzhab ini, membantah para penganutnya dan mereka bahkan membahas masalah ini secara khusus dalam kitab-kitab aqidah, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan para ulama lainnya.

    Dalam al-‘Aqidah al-Washitiyyah, Ibnu Taimiyah rahimahulllah berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa din dan iman adalah berupa perkataan dan perbuatan; yaitu perkataan hati dan lisan, serta amalan hati, lisan dan anggota badan, dan bahwa iman dapat bertambah karena ketaatan dan juga dapat berkurang karena kemaksiatan.”

    Beliau berkata dalam Kitab al-Iman, “Di antara pembahasan bab ini adalah perkataan para salaf dan ulama sunnah dalam merinci masalah iman; sebagian mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, sebagian lain mengatakan: perkataan, perbuatan, dan niat, sebagian lain mengatakan: perkataan, perbuatan, niat dan mengikuti as-Sunnah, dan sebagian lainnya mengatakan: perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amal perbuatan dengan anggota badan, dan semua perkataan ini benar adanya.”

    Beliau juga berkata, “As-Salaf as-Shalih amat keras dalam mengingkari Murji’ah karena mereka (Murji’ah) mengeluarkan amal dari iman, dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan mereka dengan menyamakan iman seluruh manusia adalah kesalahan yang paling buruk, karena setiap manusia tidak akan sama dalam tashdiq, dalam kecintaan, dalam khasyyah, dan tidak pula dalam ilmunya, bahkan dari banyak segi masing-masingnya memiliki keunggulan tersendiri.”

    Dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya dalam masalah pokok ini (iman) golongan Murji’ah telah menyimpang dari penjelasan al-Kitab dan as-Sunnah serta dari perkataan para sahabat dan tabi’in. Mereka (Murji’ah) hanya bersandar pada pendapat mereka sendiri dan atas penakwilan mereka dalam memahami isi bahasa, dan ini adalah jalannya ahli bid’ah.”

    Di antara dalil yang menunjukkan bahwa amal perbuatan termasuk hakikat iman dan sekaligus menunjukkan bahwa iman dapat bertambah dan berkurang adalah,

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya...” (QS Al-Anfal: 2-4)

    “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS Al-Mukminun: 1-9)

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman memiliki lebih dari 70 (tujuh puluh) cabang. Cabang tertinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu termasuk cabang dari iman.” (HR Bukhary-Muslim)

    Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Kitab al-Iman, “Asal iman ada dalam hati, berupa perkataan dan amal hati. Yaitu berupa pengikraran terhadap tashdiq, kecintaan, dan ketundukan. Apa yang ada dalam hati harus dibuktikan berbagai konsekuensinya dalam amal perbuatan anggota badan. Karena bila tidak dibuktikan, maka menunjukkan ketiadaan atau lemah iman dalam hati. Maka amal perbuatan yang zhahir merupakan konsekuensi iman dalam hati, yaitu sebagai tashdiq dan bukti terhadap apa yang ada dalam hati. Hal tersebut merupakan cabang keimanan yang bersifat mutlak dan sekaligus sebagai bagiannya.”

    Beliau juga berkata, “Bahkan setiap orang yang menelaah perkataan Khawarij dan Murji’ah tentang makna iman, secara pasti akan mengetahui bahwa perkataan mereka tersebut menyelisihi Rasulullah, dan dia pun akan mengetahui pula bahwa taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kesempurnaan iman. Namun hal ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa setiap orang yang berdosa adalah kafir. Dan dia mengetahui bahwasanya jika suatu kaum ditakdirkan dapat berkata langsung kepada Nabi, ‘Kami beriman dengan hati kami terhadap apa yang engkau dakwahkan kepada kami, tanpa ragu sedikit pun dan lisan kami pun meyakininya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun kami tidak mau mentaati perintah dan laranganmu, maka kami tidak shalat, tidak berpuasa dan tidak berhaji, tidak membenarkan hadits, tidak menunaikan amanah, tidak mentaati perjanjian, tidak menyambung hubungan kekerabatan dan tidak melaksanakan sedikit pun apa yang engkau perintahkan, kami justru meminum khamer, menikahi wanita-wanita yang diharamkan bagi kami dengan berbuat zina secara terang-terangan, membunuh umatmu yang kami mampu untuk membunuhnya kemudian kami ambil hartanya, bahkan kami akan membunuhmu dan memerangimu bersama dengan musuh-musuhmu!’ Maka apakah masuk akal bila kemudian Nabi berkata kepada mereka, ‘Kalian adalah orang yang sempurna imannya, dan kalian berhak mendapat syafa’atku pada hari kiamat dan salah seorang dari kalian tidak akan pernah masuk neraka.’ Sebaliknya, setiap muslim akan mengetahui dengan pasti bahwa Rasulullah akan berkata kepada mereka, ‘Kalian adalah orang yang paling kafir dengan ajaranku!’, lalu Rasulullah akan memenggal leher mereka jika mereka tidak mau bertaubat dari perkataan tersebut.”

    Beliau juga berkata, “Maka jika lafazh iman disebutkan secara mutlak dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang dimaksud dengannya adalah sama dengan yang dimaksudkan dengan lafazh al-birr (kebaikan) atau lafazh at-taqwa atau lafazh ad-din sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sesungguhnya Nabi telah menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari 70 cabang, yang tertingi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, maka semua hal yang dicintai Allah termasuk bagian dari iman. Lafazh al-birr pun demikian, bila disebutkan secara mutlak, maka semua hal tersebut termasuk bagiannya. Demikian pula halnya dengan lafazh at-taqwa dan ad-din. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa ketika para sahabat bertanya tentang iman, maka Allah menurunkan firman-Nya, ‘Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya ...’, maka didapati kesimpulan bahwa dalam ayat ini pujian tidak diberikan kecuali bagi orang beriman yang mau beramal, bukan sekadar beriman namun tidak mau beramal.” Inilah inti perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, maka barang siapa yang memaparkan nukilan dari beliau namun tidak seperti itu, maka dia adalah seorang pendusta!

    Adapun yang termaktub dalam hadits bahwa ada sebuah kaum yang masuk surga walau belum pernah beramal kebaikan sekali pun, maka secara umum hal ini tidak berlaku bagi orang yang meninggalkan amal ketika dia mampu mengerjakannya. Yang termaktub dalam hadits hanya berlaku secara khusus bagi orang-orang yang tidak dapat mengerjakan amal perbuatan karena terhalang oleh udzur (syar’i), atau bagi keadaan lainnya yang senada serta sesuai dengan yang terkandung dalam nash-nash dan ijma’ (kesepakatan) as-salaf ash-shalih tentang masalah ini.

    Demikianlah keadaannya, dan setelah jelas hakikat yang sebenarnya bagi al-Lajnah ad-Da’imah, maka al-Lajnah melarang dan memperingatkan terjadinya jidal (perdebatan) tentang ushul aqidah, karena hanya akan menimbulkan dampak negatif yang berbahaya, serta mewasiatkan kepada semua pihak untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada kitab-kitab as-salaf ash-shalih dan para ulama, yang berlandaskan al-Kitab, as-Sunnah, dan ucapan para salaf. Al-Lajnah memperingatkan keras dalam permasalahan ini agar tidak menyandarkannya kepada kitab-kitab yang menyelisihi manhaj salaf dan dari kitab-kitab kontemporer yang ditulis oleh orang-orang yang sok mengaku berilmu, dimana mereka mengambil ilmu bukan dari para ahli yang sebenarnya.

    Permasalahan besar ini (iman) telah menjadi pembahasan hangat, namun dilandaskan kepada madzhab irja’ dan bahkan secara keji mereka menasabkan madzhab sesat tersebut kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah hingga menimbulkan kerancuan bagi banyak orang. Yang sangat memilukan, mereka justru menguatkan madzhab sesat ini dengan nukilan-nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan para ulama lainnya dengan nukilan yang tidak lengkap, hanya dicari yang mirip dengan madzhab mereka dan tidak mendasarkan kepada nukilan mereka yang sangat gamblang. Kami (al-Lajnah) menasihatkan kepada merekqa untuk segera berlari mendekap jalan petunjuk dan untuk tidak mengacaukan barisan kaum Muslimin dengan madzhab sesat tersebut. Al-Lajnah pun mewarning kaum Muslimin agar tidak terbuai dan terperosok oleh tipu daya mereka (Murji’ah) yang menyelisihi jama’ah kaum Muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk mendapatkan ilmu yang bermanfat, amal shalih dan fiqih (pemahaman) agama yang benar.

    وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

    Fatwa no. 21436 tanggal 8/4/1421 H

    Al-Lajnah

    Ketua:

    Abdul Aziz bin Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh

    Anggota:

    Abdullah bin Abdurrahman al-Ghudayan

    Shalih bin Fauzan Alu al-Fauzan

    Bakar bin Abdullah Abu Zaid

    Sumber: Majalah As-Silmi edisi 17 Shafar 1428 H/Maret 2007 M, hal. 46-51.[1]

    [1] . Aslinya dari at-Tahdzir min al-Irja’ wa Ba’dh al-Kutub ad-Da’iyah Ilayhi. Mekah: Dar ‘Alam al-Fawa’id. 1421 H. hal. 7-14. http://jihaddandakwah.blogspot.com

    BalasHapus