2.16.2010

PKB dan Pluralisme

Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dalam Refleksi Imlek 2561 menegaskan partainya tetap menjadi penjaga pluralisme dan kebhinekaan (Republika, 13/2). Kembali persoalan pluralisme diangkat untuk membenarkan mengikuti perayaan ibadah agama lain sebagai bentuk perwujudan toleransi, tanpa mempelajari dengan cermat bahwa ada beda antara pluralisme dengan toleransi.

Sebagai sebuah partai yang mengklaim lahir dari rahim Nahdlatul Ulama dan memperjuangkan aspirasi warga Nahdliyin, nampaknya PKB perlu mencermati ulang apakah aspirasi keagamaan warga NU terapresiasi secara benar atau tidak, sebab warga NU terikat oleh Khittah Nahdlatul Ulama sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan serta dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berlandaskan faham Ahlussunnah wal jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali (Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, hal, 117 yang tercantum juga dalam anggaran dasar NU pasal 3 tentang Aqidah). Nampaknya tidak ada satu pun dari keempat madzhab itu yang menganjurkan untuk menghadiri perayaan ibadah agama lain. Apakah sikap PKB di atas yang diwakili Ketua Umumnya sebagai salah satu warga NU adalah cerminan dari kesetiaan terhadap khittah NU atau tidak, dapat dilihat dari seberapa konsisten ia mengamalkan Khittah NU tersebut.

Komitmen PKB Terhadap Paham Ahlussunnah wal Jama’ah

Dalam draft bai’at pengurus Partai Kebangkitan Bangsa tertulis; kami selalu setia kepada garis perjuangan partai yaitu; pengabdian kepada Allah SWT, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunah Waljamaah.
Juga tercantum dalam bai’at tersebut bahwa sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota, pengurus harus senantiasa mengikuti garis perjuangan Nahdlatul Ulama dan As-Salafus Shalih dalam melaksanakan ‘amar ma’ruf nahi munkar.

Apabila ini secara konsisten dijalankan, maka PKB tidak perlu menjalankan politik pragmatis-hipokrit mengelabui umat Islam khususnya warga NU bahwa sebenarnya PKB telah keluar dari garis perjuangan Ahlussunnah wal Jama’ah, artinya tidak lagi secara utuh memperjuangkan aspirasi warga NU. Apalagi harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sementara menyokong pluralisme adalah sikap yang jelas-jelas keliru.

Adapun bicara soal toleransi, pada dasarnya toleransi dalam Islam sudah selesai, artinya Islam telah secara konseptual dan faktual mengamalkan toleransi dalam sejarah peradaban dunia yang tiada bandingannya. Adalah ahistoris bagi salah seorang pemimpin bangsa yang tidak kenal bagaimana begitu luar biasa tolerannya Islam dan kaum muslimin sepanjang sejarah kehidupan manusia pasca Rasulullah saw diutus. Namun tidak sekalipun Rasulullah saw menunjukkan toleransinya dalam bentuk ikut campur dalam praktek perayaan ibadah agama lain begitu pula para Sahabat dan Ulama Salafus shalih, termasuk Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. MUI-sebagai kumpulan para ulama Indonesia yang di dalamnya banyak para Kyai NU- pun sudah mengeluarkan fatwa haramnya menghadiri perayaan ibadah agama lain.

Khittah Nahdlatul Ulama Di Bidang Aqidah

Dalam dasar-dasar faham keagamaan Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa “Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi (Ibid, hal, 118). Sebagaimana juga ditetapkan dalam Anggaran Dasar NU pasal 3 tentang Aqidah “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali.” Jelas dan sangat tegas seharusnya tidak satupun warga NU hatta orang besarnya sekalipun menyimpang dari khittah ini.

Nampaknya Bang Muhaimin perlu membaca ulang fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tetang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Dalam fatwa itu dibedakan antara pluralisme dan pluralitas. Jika kehadiran Bang Muhaimin di acara refleksi Imlek itu dianggap sebagai penghormatan terhadap pluralitas maka praktek tersebut telah masuk ke wilayah pluralisme agama sebagaimana dikatakan sendiri oleh Bang Muhaimin. Artinya bisa jadi Bang Muhaimin meyakini bahwa Konghucu dan Islam adalah sama. Islam bukan agama yang paling benar serta umat Islam akan hidup berdampingan dengan umat Konghucu di surga.

Namun mudah-mudahan kita berharap pluralisme yang dimaksud adalah pluralisme sosiologis bukan teologis sebagaimana diistilahkan oleh KH. Hasyim Muzadi yang mengomentari pluralismenya Gus Dur. Namun masalahnya benarkah pemikiran Gus Dur dan Bang Muhaimin selaku muridnya bukan pluralisme teologis? Bukankah menghadiri dan ikut merayakan Imlek merupakan perkara teologis, lalu fa biayyi haditsin ba’dahu yu’minuun?

Beda Puralisme dengan Toleransi

Pluralisme, menurut Dr. Anis Malik Thoha (Mustasyar NU Cabang Istimewa Malasyia), pluralisme adalah ideologi asing sebagaimana democracy, humanism, liberalism, dsb yang tidak bisa dimaknai seenaknya saja. Ia memandang seringkali pluralisme dipahami secara simplistis sebagai toleransi.

Bagi Anis, anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Seperti Diana L. Eck dalam “What is Pluralism?”, Albert Dondeyne dalam “faith and the World” dan Arnold Toynbee dalam “An Historian’s Approach”, yang memiliki pandangan miring terhadap toleransi (Republika, 14/01). Pendapat-pendapat mereka dapat disimpulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekedar toleransi, menurut mereka seorang pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif. Yakni jika hanya sekedar saling memahami dan menghargai maka toleransi adalah kebaikan yang menipu dan sebuah eksfresi ketidak toleranan yang sistematis. Dalam Istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat.

Anis Malik Thoha menggaris bawahi bahwa bagi kalangan pluralis sejati, pluralisme tidak hanya sekedar kesetaraan dalam hak politik, sosial dan ekonomi semata. Tetapi lebih kepada “kesamaan’ dan “kesetaraan” dalam segala hal, termasuk “beragama”. Dimana setiap pemeluk agama harus memandang kebenaran yang sama pada semua agama dan pemeluk-nya. Hal inilah yang selama ini disalah pahami oleh kalangan pluralis di Tanah Air.

Maka jika menghadiri perayaan ibadah agama lain dianggap oleh PKB sebagai menjaga pluralisme, tecapailah apa yang diinginkan para penganjur pluralisme di atas. Karena toleransi sebenarnya cukup dengan memahami dan membiarkan bukan turut campur, jika turut campur yang dilakukan, namanya bukan lagi toleransi tetapi intervensi.

Sementara dalam penjelasan tentang sikap toleran (tasamuh) Khittah NU, menegaskan bahwa “Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.” Oleh karena itu tegas bahwa tidak ada toleransi dalam perkara aqidah yang sementara ikut hadir dalam perayaan agama lain adalah haram karena termasuk pelanggaran aqidah sebagaimana fatwa MUI tentang itu.

Kerukunan antar umat beragama tidak harus dengan saling menghadiri acara keagamaan masing-masing. Tetapi upaya saling memahami dan menghargai harus terus diserukan secara simultan tanpa harus menggadaikan aqidah masing-masingnya pula.

M. Natsir Dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Titik tolak pembaharuan pemikiran Islam masa Orde Baru, bermula dari pidato menyimpang Nurcholish Madjid (Cak Nur) di awal tahun 1970 yang kemudian menimbulkan kehebohan di kalangan umat Islam. Dawam Rahardjo memberikan keterangan, tak sedikitpun Cak Nur – berniat membuat heboh. Bahkan ceramahnya itu hanya “kebetulan” saja: ia menggantikan Dr. Alfian. Dan Cak Nur tidak menyangka, bahwa pemikirannya akan sejauh itu dampaknya. Pemikirannya yang terkenal dengan slogan “Islam Yes. Partai Islam No”. sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebut “sekulerisasi”.

Apakah karena kebetulan seaspirasi dengan Cak Nur tentang : “Islam Yes, Partai Islam No”. ataukah pengaruh pemikiran Cak Nur dan kawan-kawan yang jelas pemerintah Orde Baru melakukan “deideologi” partai Islam, dan kemudian diganti dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas seluruh orsospol .

Budhi Munawar-Rachman menjelaskan bahwa ada tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia yaitu (1). Islam Rasional dengan tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi dengan membawa pandangan-pandangan Mu’tazilah (2) Islam Peradaban yang diantara tokohnya Cak Nur dan Kuntowijoyo dan (3) Islam Transformatif dengan tokohnya Adi Sasono, M. Dawam Rahadjo.

Gerak pembaharuan pemikiran Islam pada tahun 1970-an dilaksanakan oleh pemikir-pemikir individual yaitu pemikir yang tidak terlalu terikat oleh organisasi seperti NU, Muhammadiyah, SI dan lainnya. Dahulu ketika melempar isu pembaharuan islam pada tahun 1970-an, Cak Nur relatif single fighter, tetapi sepuluh atau duapuluh tahun kemudian- pada decade 1980-an apalagi 1990-an- Cak Nur sudah tidak lagi sendirian.
Gagasan-gagasan Cak Nur dan kawan-kawan di rentang akhir tahun 1980-an dan sepanjang tahun 1990-an banyak dipublikasikan dalam buku-buku yang diterbitkan secara luas diantaranya oleh Mizan, Jurnal Ulumul Qur’an dan Islamika juga Paramadina sendiri.

Buah Pemikiran Cak Nur dan sahabat-sahabatnya banyak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam, diantara yang menghangat adalah perseteruan konsep-konsep pemikiran Islam melalui tulisan antara Ulumul Qur’an dengan Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah. Turut andil pula lembaga-lembaga kajian yang menghasilkan kader-kader muda lewat Paramadina (diantaranya).

Di tahun 2000-an pemikiran Islam diramaikan oleh kader muda Islam diantaranya Ulil Absar ‘Abdala sebagai “Cak Nur Muda” yang menggagas Islam Liberal. Model pemikiran Islam Liberal-nya Ulil tidak jauh berbeda dengan pembinanya Nurcholis Madjid.
Gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh kalangan liberal ini berupaya mendekontruksi teks-teks syariat dan warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Metode yang ditempuh adalah dengan merombak dan membongkar seluruh bangunan pemikiran klasik (turats), setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar selalu yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan ahistoris menjadi historis.

Menurut Adian Husaini ada beberapa tantangan pemikiran Islam kontemporer yang memerlukan penanganan sangat serius dari umat Islam yang datang langsung dari para pemikir Barat maupun para pemikir muslim secular-liberal yang terpengaruh pola pikir barat, di antaranya:

1. Tantangan Peradaban Barat.
2. Masalah Kristenisasi
3. Masalah Kolonilaisme/ imperialism modern
4. Masalah Orientalisme
5. Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an
6. Studi agama-agama
7. Pluralisme Agama

Keprihatinan Seorang Natsir

Dalam Salah satu catatan akhir pekannya di Radio Dakta Bekasi, Adian Husaini menyebutkan bahwa Natsir sangat sedih dan khawatir atas merebaknya destruktifikasi Islam oleh kalangan yang mengaku sedang melakukan pembaruan Islam. Namun sebelum lebih jauh membedah sikap dan antisipasi natsir terhadap gerakan ini, latar belakang pemikiran Islam Natsir penting dielaborasi untuk menentukan seberapa kompeten Natsir menyikapi fenomena di atas.

M. Natsir, menurut salah satu muridnya, Yusril Ihza Mahendra memandang bahwa tulisan-tulisannya, yang seluruhnya ditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinannya. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya, dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa, baik di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah menjadi fokus perhatian Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan dalam masyaratnya.
Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Natsir – karena latar belakang keluarganya – memilih Islam sebagai jalan hidup.

Dengan memilih Islam, Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi dan universal. Dalam konteks ini Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang menempatkan dirinya sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan.

Buya Hamka dalam orasi penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air. Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialognya, Yusril berkesimpulan bahwa Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berangkat dari keprihatiannya sendiri.

Natsir secara khusus sangat terkesan dengan tafsir al-Manar karya mohammad Abduh, baik karena interpretasi-interpretasinya yang sangat maju dalam menjelaskan Islam sebagai suatu sistem. Ia juga sangat terkesan dengan argumen-argumen Abduh dan Rasyid Ridla tentang kebajikan-kebajikan Islam yang dapat berkembang dalam dunia modern, bukan hanya dengan pemurnian Islam sendiri, melainkan juga melalui dorongan untuk memahami ilmu pengetahuan barat.

Natsir kemudian menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk menelaah berbagai literatur dengan kritis. Yusril menyebutkan, baru di masa belakangan Natsir membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun Natsir mengaku telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial, Al-Islam wa Uhulul Hukm, ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya Natsir banyak berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Natsir, pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.

Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yang benar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Natsir menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya.

Mengenai soal hukum, Natsir berpendapat syari’at Islam sangatlah luas dan mempunyai fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia, menurutnya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.
Salah satu sumbangan besar Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik. Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi.

Peran M. Natsir Dalam membendung Gerakan pembaruan Islam Menyimpang

Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, natsir sangat prihatin dengan ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Natsir terhadap kegiatan missi Kristen terus berlanjut sampai wafatnya.

Namun Natsir mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian Natsir kepada pendidikan, telah muncul sejak usia muda. Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air. Natsir melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan dibenahi. Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai negara.

M. Natsir saat menjadi Perdana Menteri pertama RI 1950-an mengeluarkan rekomendasi kepada sejumlah mahasiswa untuk belajar ke luar negeri khususnya di Timur Tengah.
Di antara universitas di Timur Tengah yang dijadikan tempat belajar oleh mahasiswa Indonesia adalah : (1) Universitas Islam al-Madinah Al-Munawarrah, Arab Saudi, (2) Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi dan (3) Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir.

Azyumardi Azra mengutip hasil penelitian Mona Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Timur Tengah khususnya di Al-Azhar. Menurutnya mahasiswa Indonesia di Timur Tengah terbagi pada dua kelompok secara umum yaitu mahasiswa sebelum tahun 1970-an yang cenderung memiliki pemikiran “Islam Liberal” seperti Hassan Hanafi atau Zaki Najib Mahmud dan mahasiswa setelah tahun 1970-an pemikirannya bernada “Islam Fundamentalis”. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi Timur Tengah itu sendiri dari semangat liberalisme berubah kepada arus fundamentalisme .

Annis Matta Lc (salah seorang lulusan Timur Tengah) , menyatakan bahwa semangat pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimun telah merasuk di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Saudi Arabia sejak tahun 1980-an, perpustakan untuk pemikiran Islam semuanya diisi oleh buku-buku yang dikarang para tokoh IM, maka menurutnya secara otomatis pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin terbawa oleh para mahasiswa yang belajar disana.

Sepulangnya belajar di luar negeri, bila lulusan Barat (AS) membawa “oleh-oleh” Islam Ilmiah (Pembaharuan Pemikiran Islam) sedangkan lulusan Timur Tengah membawa “oleh-oleh” Islam Harakah (Islam pergerakan-khususnya Al-Ikhwanul Al-Muslimun).

Tercatat beberapa nama diantaranya Ustadz Abu Ridha Lc, Ustadz Rahmat Abdullah Lc, Ustadz Hilmi Lc., Ustadz Saeful Islam Mubaraq Lc., dll, yang gencar mendakwahkan pemikiran-pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin dengan membentuk gerakan dakwah Tarbiyah.
Geliat dakwah lulusan Timur Tengah ini mendapat respon luar biasa di kampus-kampus seperti UI, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, UNPAD, UGM , dll di antara tahun 1980-1998 yang kemudian bermetamorfosis menjadi PK selanjutnya PKS.

Liberalisme dan Sekularisme

Paham ‘kebebasan’ merupakan konsep yang sangat penting dalam worldview sekuler. Dalam pandangan paham ini jagad raya tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada surga dan neraka. Dalam pandangan alam sekuler, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan dunia saja, tidak ada ukhrawi. Serta alat untuk mencapai kesejahteraan duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka.

Menurut Wan Daud, prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melewati pengalaman yang amat memilukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini kemudian digeneralisasikan sebagai suatu hukum tetap perkembangan manusia, seperti yang diungkapkan Max Weber dan lain-lain. Yakni, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, mereka sangat memerlukan Worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama untuk menguraikan segala fenomena alam dan menafsirkan jatuh bangun roda kehidupan yang tidak menentu.

Paham ‘kebebasan’ (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, equality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Ustmani.

Paham ini kemudian merasuk ke jantung dunia Islam dan merusak tatanan syariah yang sudah mapan. Menurut Adian Husaini, secara sistematis liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu:

1. Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2. Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
3. Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an

Dalam pembahasan epistemologi, salah satu pembahasan yang paling penting adalah mengenai jawaban dari sebuah pertanyaan: ”apa yang bisa diketahui?” Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, manusia dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiyaar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan yang salah, yang haq dan yang baathil, yang sejati dan yang palsu, yang ma’ruf dan yang munkar, yang berguna dan yang berbahaya. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, mengetahui itu tidaklah mustahil.

Hal ini berlawanan dengan pemikiran kaum Sofis yang cenderung relativistik. Menurut mereka, kebenaran itu relatif. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu dibenarkan oleh yang lain. Sebagian diantaranya bahkan mengatakan bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui kebenaran, sedangkan manusia takkan pernah mencapai pengetahuan itu.

Sekularisme adalah aliran pemikiran yang sepenuhnya diimpor dari Barat. Oleh karena pengalaman masa lalu Barat yang dipenuhi dengan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, maka mereka pun membedakan antara science (ilmu pengetahuan) dan knowledge (pengetahuan). Ilmu-ilmu yang sifatnya fisik dan dapat dibuktikan secara empiris dimasukkan dalam kelompok science, sedangkan sisanya, termasuk ilmu agama, tidak dianggap ilmiah. Tidak heran jika dari pemikiran yang semacam ini muncul pemikiran bahwa untuk menjadi ilmuwan yang baik harus melepaskan diri dari agama.

Kaum sekuler seringkali beretorika dengan mengatakan bahwa karena agama itu tinggi, maka ia tidak dilibatkan dalam mengatur kehidupan manusia. Ungkapan ini sering dijadikan pembenaran untuk menjauhkan agama dari urusan-urusan sosial dan politik. Sebaliknya, Islam justru mengingatkan manusia akan ketinggian derajatnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, dan sebagai makhluk yang hanya boleh menghamba pada-Nya. Konsekuensinya, manusia diajarkan untuk mencintai segala hal yang baik, suci dan mensucikan, luhur dan terhormat. Oleh karena itu, agama justru dilibatkan dalam setiap aspek kehidupannya.

Para pengekor Barat di Indonesia secara terang-terangan mendukung sekularisasi Indonesia, bahkan secara nyata menyatakan persetujuannya pada kemaksiatan. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL), telah menyatakan bahwa ”Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular... sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” Dengan demikian, persetujuan terhadap negara sekuler ternyata berdampingan dengan sikap membiarkan kemaksiatan; sebuah sikap yang sangat tercela bagi seorang Muslim.

Jika sekularisme mencegah agama memasuki ranah sosial-politik, maka liberalisme memaksanya untuk tetap dalam ruang privat. Kebebasan manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing, yang diyakini sebagai hak asasi manusia, ditarik lebih jauh lagi sehingga agama itu sendiri tak memiliki batasan yang jelas. Konkretnya, setiap orang bebas menyatakan dirinya menganut agama apa saja, baik mengikuti secara konsekuen agama-agama yang ada, memodifikasi agama untuk dirinya sendiri, atau bahkan menciptakan agama yang benar-benar baru.

Menurut kalangan sekularis-liberalis, tidak ada orang yang berhak menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah. Setiap penafsiran keagamaan harus dianggap relatif. Oleh karena itu, mereka selalu membela aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan sebagainya.

Salah satu tokoh liberalis ini, yaitu Abdul Munir Mulkhan, memiliki pandangan yang sangat simplistis:
Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan dialog pemeluk agama berbeda jadi mungkin.

Cara pandang yang menyamakan semua agama inilah yang disebut pluralisme. Baik sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah ideologi yang setali tiga uang. Konsekuensi dari tindakan mendukung sekularisme adalah juga harus mendukung liberalisme dan pluralisme. Ketiganya telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pandangan Natsir terhadap ‘kebebasan berfikir’

Pada prinsipnya M. Natsir memandang Islam telah menempatkan akal pada tempat yang tinggi dan terhormat. Islam dengan tegas melarang taklid buta kepada paham dan i’tikad yang tidak berdasar kepada wahyu Tuhan, yaitu yang hanya mengikuti paham-paham lama secara tradisional tanpa kajian dan analisis tentang benar atau tidaknya. Dalam Islam akal tidak ditindas dan dipaksa, tetapi dipergunakan dan diberi jalan, disalurkan untuk ketinggian dan keluhuran manusia.

Kebebasan berfikir (akal merdeka) menurut Natsir, bagai dua sisi mata pedang yang sama tajamnya. Kebebasan berfikir akan memperkokoh keimanan namun dapat pula merusak keimanan, bisa membuka jendela berfikir yang bersih namun bisa pula membuat fikiran kotor. Kebebasan berfikir bisa terdapat pada diri orang pintar dengan kepintarannya bisa pula ada pada diri orang bodoh dengan kebodohannya. Begitupula dengan taklid dan fanatisme bisa terdapat pada diri orang jahil maupun intelek.

Kemudian Natsir mengajukan pertanyaan mendasar, ‘Maka sekarang betapa kita akan berhakim kepada akal merdeka semata?!’

Islam datang membangunkan akal dan mendorong manusia memakai akal dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah. Islam datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, tidak menyimpang dan meleset ke mana-mana. Islam datang bukan untuk melepaskan akal dan membiarkannya liar.

Menurut Natsir, dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal yang tidak dapat mencapai hal yang lebih tinggi lagi. Seseorang yang mengaku bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya bukanlah orang yang telah menggunakan akal dengan benar dan bukanlah orang yang akalnya merdeka, tetapi orang yang terikat oleh semacam taklidisme modern yang bernama ‘rasionalisme’.

Natsir dengan sangat yakin berpendapat bahwa antara akal dan wahyu ada tempatnya masing-masing. Akal tidak mungkin dapat melangkahi wahyu Karena memiliki gelanggangnya masing-masing, supaya tidak keliru menempatkan sesuatu dimana akal bisa digunakan dan dimana posisi wahyu.

Natsir mencontohkan Ibnu Sina sebagai seorang rasionalis besar, tetapi ia tidak melewati batas-batas hukum dalam Islam. Ia tidak salah menentukan mana yang ‘spirit of Islam’ dan mana yang ‘spirit of Hellenisme’.

Secara filosofis Natsir membedakan syariat mana yang harus sami’na wa a’tho’na bila kaifa dan mana yang di situ masih ada ruang untuk ijtihad memberdayakan akal. Natsir melihat Islam diturunkan untuk mengatur semua itu secara pas dan komprehensif tanpa cacat. Dimana Islam tidak mengekang akal dan membebaskannya di lapangan yang sudah disediakan selama tidak melanggar pokok-pokok syariat.

Demikianlah Natsir secara luas dan mendalam mengupas hubungan akal dengan agama sebagai sesuatu yang integral saling mengisi dan mendorong selama didasari oleh niat baik dan keimanan kepada Allah swt. Seringkali masalah orang-orang rasionalis-liberalis lebih kepada ketidakmampuan untuk beriman dan berbaik sangka kepada syariat Allah swt daripada keilmuan mereka yang ternyata keliru juga.

Maka adalah wajar Natsir selaku tokoh umat merasa khawatir dan bersedih menyaksikan para intelektual muda Islam bermain-main dengan sakralitas wahyu Tuhan tanpa beban dosa, mencampur adukkan antara akal dengan wahyu bahkan menempatkan akal di atas wahyu sampai pada tingkat menuhankan akal dan menafikan wahyu.

-----------------
Footnote:

Pembaruan Islam yang selama ini diklaim dan dipahami oleh kalangan sekuler-liberal adalah pembaruan yang salah kaprah. Menurut Dr. Adian Husaini dalam makalahnya Untuk Apa Belajar Islamic Worldview? Menyebutkan, bahwa pembaruan Islam (tajdid) bukanlah membuat-buat hal baru dalam Islam sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh Cak Nur dan kawan-kawan. Tetapi merupakan upaya untuk mengembalikan kemurnian Islam dengan kembali kepada AlQur’an dan As-Sunnah melalui metode para Ulama yang telah teruji kebenarannya.
Sebenarnya dalam Islam hanya dikenal ‘Reaktualisasi’ dengan pengertian tajdid (pembaruan), bahwa Allah mengutus mujaddid (pembaru), barangkali seorang atau lebih, pada penghujung setiap seratus tahun untuk mengadakan pembaruan dalam agama (Sunan Abu Dawud, Kitab Al Malamih, 1/109). Namun pembaruan yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam arti ‘mengaktualkan lagi ajaran Islam yang kelihatan ketinggalan zaman’, tetapi mengembalikan pemahaman agama yang tertutup oleh ‘debu zaman’ kepada pemahaman asli seperti diajarkan oleh Rasulullah saw.
Nurcholish Madjid (lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939; wafat di Jakarta, 29 Agustus 2005) adalah dosen di almamaternya, IAIN Jakarta dan Rektor Universitas Paramadina. Cak Nur dikenal sebagai tokoh intelektual yang liberal dan pluralis. Gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan destruktifisasi Islam. Cak Nur dipandang berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya.
pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Kurzman ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang ciri-cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancaman, tapi justru reinventing Islam untuk ‘meluruskan’ modernitas Barat; membuka peluang bagi bentuk tertentu ‘otonomi duniawi’ dalam berbangsa dan bernegara, dan; cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif. Cak Nur, memandang bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Inilah dasar-dasar paling penting dari pemikiran sosial kemodernan Islam yang ditanamkan Cak Nur dalam keterlibatan Islam membangun Islam modern.
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/12/16/benang-kusut-gerakan-dakwah-di-indonesia-bagian-1/

M. Abid al-Jabiri, at-Turas wa al Hadasah Dirasah wa Munaqayah (Beirut: Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1991), hlm. 48, seperti yang dikutip oleh Khudori Soleh dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, 2003)
Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat dan penulis buku-buku kontra sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Adian Husaini, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, (makalah)
Prof. Dr. Yusril Ihza mahendra, ahli hukum Tata Negara, Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang, mantan Mensesneg dan Menteri Hukum dan HAM RI. Yusril semasa masih menjadi mahasiswa di UI intens menemani dan berdikusi dengan pak Natsir.
Diperbarui sekitar 8 bulan yang lalu. http://www.facebook.com/note.php?note_id=103985995768
Mestika Zed, Mohammad Natsir, Negarawan, Pemikir Islam, dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, Republika, 2008, hal. 97
pelajar pertama Indonesia yaitu Hasan Langgulung alumnus pertama Pesantren Persis Bangil untuk belajar di Universitas Al-Azhar.
Sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014.
Wawancara Islamia dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (Republika, 11/02/2010)
Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006, hal. 11
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 202-203.
http://www.islam-insights.com/index.php?option=article&article_rf=204
Adian Husaini, “Liberalisasi Islam, Tantangan Bagi Peradaban Melayu”, dari Zarkasyi, Hamid Fahmy, Adnin Armas dan Adian Husaini, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam, Surabaya: Khairul Bayan, 2004, hlm. 71, dikutip dari Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Fatwa tersebut dapat diunduh di http://www.mui.or.id/content/fatwa-tentang-pluralisme.
M. Natsir, Capita Selekta, Percetakan Abadi, Jakarta, 2008, hal. 281
Ibid, hal. 282
Ibid, hal. 284
Ibid, hal. 285
Ibid
Ibid, hal. 287

2.04.2010

Virus Gerakan Da’wah Menurut Fathi Yakan: Dalam buku “Ihdzaru Al-Aids Al-Haraki”

Iftitah

Fathi Yakan, sebagai orang yang hidupnya dihabiskan di lapangan Da’wah, melihat bahwa gerakan da’wah sesungguhnya telah demikian marak digerakkan para aktivisnya. Lembaga da’wah dengan berbagai kecenderungan muncul di mana-mana, baik yang hadir secara formal maupun yang tidak formal. Semua ini tentu sebuah realitas yang menggembirakan. Namun bersamaan dengan maraknya gerakan da’wah itu, muncul pula realitas lain yang potensial menghambat laju gerakan da’wah itu sendiri. Realitas itu banyak yang justru lahir dari dalam sendiri.

Ternyata umat belum bisa bersatu dalam mempersepsi persoalan. Keragaman itu lahir dari ragamnya cara pandang dan pemikiran tentang da’wah. Berikutnya gerakan da’wah pun hadir dalam format yang bermacam-macam, visi yang aneka warna, dan orientasi yang bervariasi, meskipun semua mengusung semangat Islam sebagai tujuan akhirnya.
Sebenarnya, ragam pendapat dan pemikiran itu sendiri merupakan persoalan yang ada sejak zaman dahulu. Para sahabat berbeda pendapat tentang beberapa persoalan dan Rasulullah tidak menganggapnya sebagai hal yang negatif. Rahasianya apalagi kalau bukan kenyataan bahwa Rasulullah berhasil menanamkan prinsip akidah dan akhlak demikian kuat dalam dada hingga mampu menjadikan persoalan perbedaan pendapat sebagai realitas manusiawi yang tidak berpengaruh terhadap prinsip dasar itu. Itulah didikan Rasulullah saw.

Tampaknya hal inilah yang kini menjadi barang langka. Biasanya sebuah gerakan dibangun pertama kali dengan landasan loyalitas kepada lembaga. Setelah itu bahkan pembinaan keislamannya secara murni tidak berlangsung dengan baik. Akhirnya fanatisme kepada golongan lebih dominan muncul daripada pembelaan terhadap akidah dan keimanan.
Orang sering mengatakan bahwa keragaman institusi Islam yanga ada sekarang sebuah realitas positif belaka, agar menjadi media persaingan yang sehat. Sampai batas tertentu pendapat ini bisa dibenarkan. Namun realitas juga yang menjawab bahwa sungguh keragaman yang terus terjadi dan tak kunjung bisa disatukan ini telah melemahkan kekuatan Islam. Umat yang besar ini ternyata tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi berbagai tantangan besar yang dihasilkan dari konspirasi berbagai kekuatan. Tantangan itu hadir melalui wilayah kebudayaan, pemikiran, dan bahkan militer.

Inilah sebagian yang disorot Fathi Yakan dalam bukunya. Selain mengingatkan tentang beberapa “virus” yang menggerogoti bangunan da’wah, beliau memberikan konsep solusi agar berbagai penyakit itu bisa diminimalisasikan, atau ditiadakan sama sekali.
Fathi yakan memulai tulisannya dengan memaparkan fenomena kehancuran gerakan da’wah di wilayah Lebanon. Dimana satu gerakan da’wah menghancurkan gerakan da’wah lainnya. Fenomena ini sebenarnya mendunia, tidak hanya terjadi di Lebanon saja tapi juga mengemuka di hampir seluruh Negara-negara muslim.

Faktor-faktor penyebab konflik

Fathi Yakan melihat ada beberapa faktor penyebab terjadinya konflik diantara berbagai gerakan da’wah yaitu:

Pertama, hilangnya mana’ah i’tiqadiyah (imunitas keimanan) dan tidak tegaknya bangunan di atas fondasi pemikiran dan prinsip yang benar dan kukuh.
Kedua, rekrutmen hanya memperhatikan aspek kuantitas.

Ketiga, Organisasi “tergadai” pihak luar, baik oleh sesama organisasi maupun oleh negara. Bisa juga tergadai oleh basis-basis kekuatan, baik politik, ekonomi, keamanan, maupun keseluruhan unsur ini sekaligus. Akibatnya, organisasi tadi kehilangan potensi cengkeram, orientasinya kabur, dan arah politiknya pun bias. Jadilah ia sebuah organisasi yang diperalat untuk kepentingan pihak lain, meskipun terkadang ia sendiri bisa mendapatkan kepentingannya dengan cara itu.

Keempat, tergesa-gesa ingin meraih kemenangan, meskipun tidak diimbangi dengan sarana yang memadai. Betapa banyak organisasi gerakan yang mendalangi pembunuhan penguasa. Ia menganggap bahwa terbunuhnya sang penguasa adalah cita-cita akhir gerakannya.
Kelima, munculnya pusat-pusat kekuatan, aliran, dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh organisasi. Kebanyakan bangunan organisasi yang mengalami pertikaian dan perselisihan berpotensi melahirkan hal-hal di atas.

Keenam, campur tangan pihak luar. Ini merupakan faktor utama yang berdiri di belakang fenomena kehancuran bangunan gerakan da’wah.

Ketujuh, lemah atau bahkan tiadanya kesadaran politik dalam gerakan da’wah. Ini yang terkadang menjadi faktor penyebab lepasnya elemen-elemen bangunan dan kehancurannya.
Sebuah gerakan, di mana saja, apabila tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi dan baik, tidak bisa hidup, mengimbangi zaman, tidak memahami kejadian yang ada di sekelilingnya, terkecoh oleh fenomena permukaan, lupa mengkaji apa dibalik peristiwa, tidak mampu merumuskan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai peristiwa global, tidak bisa membuat footnote setelah membaca “teks”, tidak mampu meletakkan kebijakan politik lokal berdasar kondisi-kondisi politis internasional, dan lain-lain kepekaan; kalau sebuah gerakan memiliki kelemahan pemahaman serupa itu, di saat arah politik demikian tumpang tindih dan keserakahan demikian merajalela, yang tampak di permukaan tidak lagi mencerminkan isinya, maka ia akan menjadi gerakan yang langkahnya terseok, sikap-sikapnya kontradiktif, dan mudah terbawa arus.

Apa yang terjadi di negeri-negeri Islam?

Pertanyaan itulah yang menjadi bagian terpenting pembahasan Fathi Yakan dalam bukunya. Menurut Fathi Yakan, salah satu kewajiban kaum muslimin sebagai bagian dari gerakan Islam di tengah masyarakat dan arus yang melingkupinya, setelah banyak belajar dari kasus-kasus yang terjadi, faktor-faktor penyebab dan dampak-dampaknya, adalah dengan berusaha mengantisipasi kejadian-kejadian itu dengan terlebih dahulu mengenal kekuatan-kekuatan yang berdiri dan menjadi motor di belakangnya, sarana dan prasana yang dipergunakannya, serta dampak-dampak negatif yang dilahirkannya.
Fenomena Sakit

Fathi Yakan membagi fenomena sakit ini kepada beberapa indikator yaitu:
Pertama, Fenomena ragam aliran gerakan (Ta’addudiyah). Fathi Yakan melihat bahwa hal itu terjadi di luar kewajaran. Menurutnya berdasarkan tolok ukur syariat bagi semua aktifitas Islam, kemaslahatannya bagi kaum muslimin, berbagai realita, dan ekses negatif yang ia rasakan, ia menganggap bahwa ini merupakan fenomena mengkhawatirkan dan berbahaya.

Bagi Fathi Yakan, kalau saja fenomena keragaman itu bersih dari fanatisme, dibarengi suasana penuh ukhuwah, terjalin kerjasama dan saling memahami di antara mereka, maka hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi ia melihat kenyataan yang sebaliknya. Keragamaan yang ada itu tidak melahirkan apapun, kecuali semakin memuncaknya permusuhan.

Keragaman itu menurut Fathi Yakan sebenarnya sudah keluar dari nalar sehat dan melampaui batas. Bagaimana tidak, sebagian jamaah lahir tanpa batasan. Penyakit suka melepaskan diri ini sudah menyerupai hitungan deret ukur.

Pada masa lalu, keragaman jamaah lahir benar-benar memiliki alasan syariat. Para pemiliknya benar-benar memiliki kemampuan telaah dan ijtihad yang memadai. Meskipun begitu, mereka tetap menjaga akhlak, dan prinsip ikhtilaf tanpa keluar dari jalur ukhuwah selangkah pun.

Kedua, Fanatisme tercela. Fathi Yakan menetapkan bahwa fanatisme adalah penyakit paling berbahaya bagi gerakan-gerakan Islam. Fanatisme yang mestinya hanya diberikan kepada kebenaran dan bahwa kembali kepada hukum syariat itu merupakan prinsip, kini dipersembahkan kepada organisasi dan para tokohnya. Yang seharusnya seruan dakwah diarahkan kepada Islam, kini seruan itu diarahkan kepada lembaga atau organisasi, meskipun bukan dari Islam dan tanpa komitmen menegakkan nilai-nilainya.

Fathi Yakan menganggap bahwa fanatik kepada lembaga membatalkan iman dan Islam. Karena pada dasarnya, loyalitas seorang muslim adalah kepada umatnya. Ia juga dengan tegas menyatakan bahwa fanatisme adalah biang perpecahan umat dan akan menceraikan persatuan.

Fenomena Fanatisme Golongan Ekstrem

Fenomena fanatisme golongan yang ekstrem bagi Fathi Yakan adalah kelompok yang sibuk dengan sengketa internal dan memalingkan dari urusan-urusan yang pokok. Menariknya, fenomena ini sering dibungkus dengan baju ilmiah dan syariat, padahal hakikatnya jauh dari dua hal tersebut.

Kelompok ini membuat langkah-langkah yang disebut sebagai da’wah. Padahal realitasnya, yang mereka ciptakan justru konflik-konflik di tubuh umat Islam, dengan dalih menegakkan Islam, menghidupkan sunnah dan memberantas bid’ah yang merajalela di tengah masyarakat Islam. Mereka menganggap kelompok lain yang tidak sependapat sebagai kelompok ahli bid’ah yang harus dimusuhi dan diperangi. Rasa hasad, dengki dan permusuhna sesama muslim ditebarkan untuk mendukung sikap-sikapnya.

Lalu Fathi Yakan membahas panjang lebar terkait fenomena di atas, pada kesimpulannya beliau mengatakan bahwa sesatnya bid’ah itu tidak ada khilaf. Namun menurutnya, perbedaan pendapat hanya menyangkut esensi makna bid’ah. Fathi Yakan berharap vonis bid’ah dijatuhkan setelah dilakukan pengkajian, analisis dan upanya penyesuaian dengan kaidah syariat.

Oleh karena Fathi Yakan memandang, berkumpulnya kaum muslimin pada momentum-momentum keagamaan dalam rangka menghayati nilai-nilai agama, menggali hikmah dan pelajaran, tanpa menetapkannya sebagai sebuah kewajiban atau keharusan mengamalkannya, juga tidak memasukkan di dalamnya sesuatu yang dianggap keluar dari syariat, maka hal itu tidaklah termasuk bid’ah.

Fenomena Pengasingan Diri (I’tizaliyah)

Fenomena ini ditandai dengan munculnya kolompok pemuda yang disibukkan dengan takfir al-muslimin atau menuduh kafir sesama muslim. Bahkan, mereka juga menuduh para ulama sebelumnya dengan tudingan yang sama. Selain itu, muncul pemuda sejenis yang disibukkan dengan fitnah ta’wil terhadap teks-teks dalil yang sudah jelas.
Semua itu ditempuh melalui cara-cara permusuhan yang ekstrem. Mereka menjadikan negeri-negeri Islam sebagai ajang perang dan sengketa dengan segala kandungan maknanya. Selain dalam bentuk pertempuran bersenjata, mereka juga menjadikan masjid-masjid sebagai forum pertikaian dan permusuhan.

Fathi Yakan merasa sangat heran melihat mereka tidak pernah sempat memikirkan bahaya komunisme, sekularisme, dan zionisme. Namun yang selalu menjadi sasaran permusuhan mereka secara terus menerus, justru para aktifis da’wah, para ulama, dan lembaga,
Fenomena seperti itu bagi Fathi Yakan jelas menyalahi syariat karena mencerai-beraikan ikatan persatuan dan ukhuwah sesama muslim, membangkitkan permusuhan dan kebencian dan akhirnya melumpuhkan kekuatan dan kebesarannya.

Salah satu hal yang mendukung berkembangnya fenomena di atas adalah keberanian yang berlebihan dalam memberi fatwa dan menetapkan hukum, termasuk dalam urusan yang paling penting dan masalah yang paling berbahaya sekalipun.

Termasuk penggunaan ta’wil di tengah para pemuda yang belum matang dalam penalaran dalil-dalil hukum dan syariat membuka pintu setan dalam rangka menghancurkan akidah. Ta’wil bagi Fathi Yakan adalah bagian prinsip yang rusak dan sesat. Ta’wil pada hakikatnya juga merupakan tuduhan tidak langsung terhadap agama. Tuduhan bahwa agama ini memiliki kekurangan, kekaburan dan ketidakjelasan. Kemudian Fathi Yakan memberikan beberapa contoh ta’wil.

Di lain pihak keberanian mengafirkan sesama muslim adalah perangai yang sangat berbahaya. Berbahaya karena dapat menggoncangkan aqidah kaum muslimin, dan peraguan terhadap peninggalan salafussaleh.

Keberanian mengafirkan sesama muslim menurut Fathi Yakan telah sampai pada tingkat keyakinan diperbolehkannya mengalirkan darah dan membunuh orang dengan tuduhan kufur dan murtad dari agama.

Sebab-sebab hancurnya gerakan dakwah

Fathi Yakan menganalisa sebab-sebab dari hancurnya gerakan-gerakan dakwah sebagai berikut:

1. Orientasi massal abaikan pembinaan
Penggunaan pola kerja yang bersifat massal di awal langkah, seringkali menyebabkan organisasi dakwah tidak mampu menciptakan proses pembinaan terhadap unsur-unsur SDM maupun perangkat-perangkat lain ysng berfungsi mengikat serta membimbing masyarakat yang mengikutinya di kemudian hari.

2. Perhatian berlebih terhadap slogan
Gerakan dakwah, apabila tidak mampu mengubah slogan menjadi kenyataan atau mewujudkan gambar menjadi realitas, akan kehilangan kehormatan dan pengaruhnya. Akhirnya ia tidak mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang lebih besar dan lebih jauh.

3. Perhatian berlebih terhadap kuantitas
Islam berorientasi kepada kualitas, bukan kuantitas, kendati kuantitas tentu memiliki nilai tersendiri. Islam memperhatikan bangkitnya nilai dalam diri manusia serta mengangkat derajatnya hingga mencapai kesempurnaan kemanusiaannya. Islam tidak berkepentingan dengan tumpukan personel agar mencapai bilangan sebanyak-banyaknya.

4. Dominasi orientasi kemiliteran
Sebuah gerakan yang dimabukkan oleh kekuatan militer dan tertipu oleh banyaknya para pendukung, akan terjerumus ke dalam sugesti menguasai wilayah Islam serta mengklaim sebagai wilayah kekuasaannya. Pada akhirnya ia akan berusaha mengenyahkan kekuatan lain meskipun sesama Islam.

5. Keterbukaan dalam segala hal
Cara kerja yang serba terbuka itulah yang membongkar aktifitas pergerakan, karena sejak awal bisa dideteksi perinciannya, termasuk personel, pemimpin, dan kekuatannya secara keseluruhan. Dampak yang ditimbulkan dari sikap ini sangat besar dan berbahaya.

6. Tiadanya kesadaran politik
Sebuah gerakan yang tidak memiliki potensi dan sarana yang bisa mempertajam penglihatan terhadap problem dan memperluas cakrawala berpikir terhadap segala urusan untuk memahami hakikat politik adalah gerakan yang tidak layak hidup. Inilah yang membuat gerakan sering jatuh dalam suasana kontradiktif, baik ucapan, sikap, maupun perilakunya.

7. Memilih jalan pintas
Fenomena yang mencolok dari berbagai gerakan dakwah adalah senang menempuh jalan pintas dalam melakukan perubahan Islami di tengah masyarakat. Padahal sesungguhnya faktor waktu memiliki nilai dan kedudukan tersendiri dalam setiap aktifitas perubahan, bahkan meskipun sekedar langkah perbaikan.

8. Lemahnya aspek pendidikan
Sesungguhnya lemahnya pendidikan itu merupakan kepincangan yang secara perlahan akan melahirkan penyakit dan problem dalam tubuh gerakan dakwah. Ia akan membuka peluang bagi musuh menyalakan api fitnah, akan menyuburkan tumbuhnya berbagai penyakit hati yang dapat mengguncangkan dan memecah-belah kehidupan berjamaah dan berdakwah, dan akan mengancam kualitas takwa dan wara’ anggota gerakan dakwah yang pada akhirnya mengakibatkan lemahnya kekuatan nilai-nilai syariat dalam membentuk akhlak, karakter, ucapan, dan tindakan pada umumnya.

9. Membudayanya ghibah dan namimah
Penyakit yang berbahaya ini telah mewarnai gerakan Islam di seluruh wilayah Islam, baik lokal, regional, maupun nasional. Hasil yang bisa dirasakan adalah tumbuhnya rasa rendah diri, porak-porandanya barisan, lunturnya kepercayaan, serta tersingkapnya kelemahan gerakan di hadapan musuh.

10. Lunturnya kepercayaan terhadap pemimpin
Untuk menghindari hal ini terjadi, pemimpin hendaknya menjauh dari syubhat, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan materi. Hendaklah ia menjadikan dirinya orang yang paling zuhud dan paling jauh dari segala sesuatu yang berbau kenikmatan dan pemanfaatan.

11. Munculnya sentral kekuatan dalam tatanan
Salah satu faktor penyebab kehancuran sebuah gerakan adalah lahirnya berbagai markas kekuatan di tubuh gerakan. Pada saat yang sama kepemimpinan lemah, sehingga tidak memiliki kemampuan menguasai gejolak, menegakkan keseimbangan, mengendalikan dan meredakan perselisihan serta pertengkaran.

Menjaga Bangunan Dakwah

Fathi Yakan memberikan beberapa panduan agar bangunan dakwah tetap terjaga yakni:

1. Tegakkan bangunan di atas landasan taqwa kepada Allah
Menegakkan bangunan atas dasar takwa kepada Allah swt pada seluruh elemennya adalah suatu keharusan. Takwa harus menjadi landasan amal Islami seluruhnya. Ia menjadi perlindungan keamanan baginya. Allah swt berfirman:
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.” (At-Taubah: 109)

2. Kokohkan ukhuwah karena Allah
Ukhuwah karena Allah adalah buhul iman yang paling kokoh, elemen bangunan yang paling kuat dan faktor yang menjadikan gerakan Islam laksana bangunan tegar yang bagian-bagiannya saling melengkapi.

Sejauh kekuatan ukhuwah dalam sebuah gerakan, maka sejauh itulah kerapatan barisannya, dan sejauh itu pula kekuatan mempertahankan diri dari segala macam serangan dan kelihaiannya memberi reaksi balik terhadap musuh. Ketika ukhuwah mengalami krisis dan lemah, maka gerakan dakwah hanya menjadi ajang bagi segala kesulitan, penyakit dan perpecahan. Allah swt berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali-Imran: 103)
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

3. Bangunlah pondasi saling wasiat dalam kebenaran
Setiap bangunan yang tidak dilandasi dengan fondasi saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran, menasihati karena Allah, dan beramar makruf nahi munkar, akan menjadi bangunan rapuh yang tidak bisa bertahan lama. Dari sana akan muncul bisikan nafsu, kepentingan pribadi, dan berbagai penyakit lainnya.

Beberapa patokan yang wajib diperhatikan berkaitan dengan praktek fondasi ini antar kader dan pemimpinnya adalah:

Pertama, Kebenaran berada di atas segala-galanya dan semua orang harus tunduk di hadapannya, baik anggota maupun pimpinan.
Kedua, semua orang sejajar di hadapan kebenaran, baik anggota maupun pimpinan, bawahan maupun atasan.
Ketiga, Pemimpin berhak melakukan ijtihad tentang sesuatu yang tidak ada teks dalil syariatnya.
Keempat, para individu anggota hendaknya saling menasihati sesamanya, demikian pula para pemimpin.
Kelima, penegakan amar makruf nahi munkar dalam syariat Islam hanya ditujukan terhadap sebuah kemunkaran yang tidak diperselisihkan dan tidak boleh ditegakkan terhadap masalah ijtihadiyah.
Keenam, dalam menegakkan tradisi nasihat-menasihati dan amar makruf nahi munkar hendaknya diperhatikan syarat-syarat syar’i antara lain: mencari kejelasan dan kebenaran berita sebelum mengambil langkah menasihati, memeriksa tujuan, dan memperhatikan cara.
Ketujuh, tidak mengenal kemunkaran dengan cara yang tidak syar’i.
4. Tegakkan tradisi syura
Sebuah gerakan yang memegang teguh prinsip ini, tidak dimonopoli pemikiran pemimpinnya, memperhatikan dan mengambil manfaat pendapat orang lain, maka gerakan itu akan senantiasa berada dalam lindungan Allah. Langkahnya benar dan lurus.
5. Menjalin hubungan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang
6. Tegakkan landasan sukarela dalam bekerja
Inilah sesungguhnya inti pembebanan syariat secara prinsip. Gerakan Islam sepanjang sejarahnya merupakan medan perlombaan dalam mempersembahkan potensi dan pengorbanan di segala bidang, tidak sekalipun pernah menjadi ajang berebut pamrih dan manfaat materi. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
7. Sungguh-sungguh dalam menjaga nilai-nilai syari’at dan dakwah
Setiap amal harus ditegakkan di atas nilai-nilai aqidah dan pemikiran yang benar. Ia harus ditopang oleh prinsip-prinsip politik dan gerakan yang berdasarkan syariat. Ia tidak boleh goncang hanya karena perubahan situasi dan kondisi. Para personelnya jangan sampai mengorbankan prinsip hanya karena alasan murunah (fleksibilitas) Islam dan ijtihad dalam rangka melakukan siasat memanfaatkan peluang.
8. Bangun penguasaan dan pemahaman
9. Susun strategi dan organisasi
10. Perhatikan kelengkapan dan keseimbangan
Amal Islami ditegakkan di atas prinsip saling melengkapi dan seimbang. Tidak ada bagian aspek yang mendominasi aspek lainnya, atau tumpang tindihnya satu bagian dengan yang lain. Dominasi satu bagian atas yang lain akan mengakibatkan tubuh gerakan berjalan limbung, tidak seimbang.

Khatimah

Rasulullah saw telah mengingatkan dalam banyak pengarahannya tentang bahaya perselisihan dan pertengkaran, selain dampak negatif yang ditimbulkannya. Beliau menyeru untuk senantiasa berpegang teguh dengan prinsip, berkasih sayang, saling meringankan beban sesama, di atas landasan I’tisham bihablillah di samping ukhuwah dan cinta karena Allah swt. Apabila itu dipelihara dan diamalkan oleh seluruh elemen umat dan gerakan dakwah, maka insya Allah mereka tidak perlu takut dan khawatir.