1.28.2009

Kurban yang Hilang…..

Tahukah anda bahwa setiap kali kita berkurban ada satu hikmah kurban yang hilang, terlewat, terlupakan atau bahkan kita tidak tahu sama sekali?
Kurban adalah ujian kecintaan. Kecintaan kita kepada Allah Swt diuji dengan kurban. Allah kah yang lebih kita cintai daripada harta benda atau harta benda yang lebih kita cintai daripada Allah? Karena kurban bermakna qurbah Ilallah, upaya menjadikan apapun milik kita sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Hal inilah yang Allah tegaskan kepada kita dalam firman-Nya :

“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusannya.” Dan Allah tidak memberi pertunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24)
Satu hikmah kurban yang hilang dan senantiasa terlewatkan oleh kita sebagai upaya paripurna meneladani sunnah Ibrahim as dan putranya Ismail as adalah kesadaran bahwa kita harus membentuk anak yang sabar. Mari kita renungkan kisah yang dipaparkan Allah Swt :
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Ash Shaffat: 102)

Renungkanlah!
Saatnya anda sekarang mengatakan kepada anak anda, “Nak, tadi malam ayah bermimpi bahwa Allah memerintahkan ayah untuk menyembelihmu. Lalu apa pendapatmu?
Kira-kira apa jawaban yang akan anda dapatkan dari anak anda? Mungkin bukan saja penolakan yang akan anda dapatkan tetapi juga perlawanan. “Ayah macam apa engkau, justru aku telah lama berniat menyembelih ayah?” Begitu mungkin kira-kira jawabannya.
“Ah…tidak mungkin itu dilakukan. Mana ada seorang bapak akan tega menyembelih anaknya. Bapak macam itu?” Mungkin itu juga kira-kira sanggahan anda ketika diwajibkan menyembelih belahan hati anda.
Tapi tidak dengan yang terjadi pada Ibrahim as dan putranya Ismail as. Apa jawaban seorang anak shalih, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah!
Subhanallah, Ayah seperti apa yang sukses luar biasa menjadikan anaknya memiliki kesabaran yang demikian dahsyat. Tanpa tahu apa manfaat dan hikmah dibalik perintah itu, tanpa mempertanyakan benarkah itu perintah Allah atau hanya bisikan setan saja, tanpa menganggap gila ayahnya, Ismail yakin penuh bahwa ayahnya sosok yang sangat dapat ia percayai, karena ia yakin ayahnya adalah hamba Allah yang sempurna ketakwaannya. Bermodalkan keyakinan itu ia bertawakkal kepada Allah, dan apa yang terjadi? Anda tahu sendiri kelanjutan kisahnya.
Ayah seperti apa Ibrahim as? Ibrahim as yang sebelumnya siang malam dengan penuh harap memohon diberikan anak yang sholeh. Usia yang sudah senja, tantangan dakwah begitu banyak, risalah harus tetap berlanjut sementara kader penerus perjuangan belum jua muncul. Wahai…apa lagi yang diharapkan selain mendapatkan keturunan. Dan lahirlah sang pelanjut itu, Ismail as, dipeluk, dicium, didoakan dengan tetesan airmata kebahagiaan, dijaga, dibimbing, diawasi setiap detik pertumbuhannya. Tidak ada yang terlewatkan. Lebih sayang, lebih cinta daripada ayah manapun yang mencintai anaknya. Hari-hari Ibrahim penuh dengan cinta dan kasih sayang, bermain penuh canda dan mengaji bersama penuh makna. Ia harus senantiasa hadir saat belahan jiwa itu akan terlelap tidur dan sudah siap dengan senyum mengembang saat sang buah hati membuka kedua kelopak matanya di subuh hari.
Lalu, wahai para ayah, akankah seorang ayah seperti Ibrahim as ini tega menyembelih anaknya. Wallah, Ia jauh lebih tidak tega melebihi orangtua manapun yang tidak tega saat diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Namun Ibrahim as lebih mencintai Allah dalam segala urusannya hatta buah hatinya sendiri.
Sekarang bertanyalah kepada diri anda sendiri, jika Allah memerintahkan anda untuk menyembelih buah hati anda, apa yang anda pikirkan dan apa yang akan anda lakukan? Akankah anda meneladani Ibrahim as (seperti pengakuan anda selama ini) dengan taat kepada Allah atau justru anda lebih baik ingkar?
Maka sesungguhnya ini hanyalah persoalan anda sosok ayah yang shaleh atau tidak dan buah hati anda anak yang shaleh atau tidak.
Siapakah yang harus memikul tanggung jawab ini?
Andalah wahai para ayah para orangtua. Anda telah menerima amanah untuk menjadikan diri anda hamba-hamba yang shaleh dan teramat penting menjadikan buah hati anda anak-anak yang shaleh. Sampai anda mampu mentaati perintah Allah yang paling mustahil sekalipun dan sampai buah hati anda siap menerima apapun keputusan Allah yang diberikan kepadanya.
Anda diamanahi untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah yang anda khawatirkan masa depannya. Allah Swt mewanti-wanti kita :
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An Nisa: 9)
Wahai ayah….jelas kita harus khawatir jika kita meninggalkan anak kita tak berharta sehingga keturunan kita hanya bisa mengharap belas kasih orang. Namun, yang lebih harus kita khawatirkan adalah ketika anak-anak kita tidak mendapat bekal keimanan dan ketakwaan sepeninggal kita. Harta kekayaan tidak akan secara otomatis menyeret buah hati kita ke neraka Allah. Tapi jika buah hati kita tidak memiliki keimanan, azab Allah Swt sudah siap menantinya termasuk orangtuanya yang tidak membekali anaknya dengan keimanan.
Maka sungguh indah apa yang diwasiatkan Ya’qub as menjelang wafat kepada anak-anaknya, seperti yang Allah kisahkan di surat Al-Baqarah ayat 133 :
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu, dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan yang Mahaesa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”
Apa yang akan kamu sembah sepeninggalku? Bukan apa yang akan kamu makan sepeninggalku? Ma ta’buduna min ba’di laisa ma ta’kuluna min ba’di…..
Hal yang samakah yang akan anda katakan saat anda sakaratul maut kepada putra-putri anda?
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun waj’alna lilmuttaqina imama
Wildan Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar