5.09.2011

Alhamdulillah Dakta 107 FM disebut Radikal

Religious Radio a Force to Be Reckoned With
Elisabeth Oktofani | May 07, 2011

When Islamic hard-liners in Bekasi and Bogor were questioned recently about what influenced them to take up causes or attend demonstrations, most pointed toward an often overlooked medium: the radio.

Haryanto, a resident of Ciketing in Bekasi, said it was through the radio that he became aware of Murhali Barda, the former head of the Bekasi chapter of the hard-line Islamic Defenders Front (FPI). And it was through Murhali’s speeches on the radio that Haryanto felt compelled to attend the former FPI head’s criminal trial for inciting violence.

Murhali was found guilty of inciting an attack last September that culminated in the stabbing of two leaders of the Batak Christian Protestant Church (HKBP) in Ciketing. He was sentenced to five months in prison in February.

“I do not know Murhali personally. I only know of him from the Dakta radio station,” Haryanto told the Jakarta Globe. “Every Sunday I’d listen to his program on Dakta. Through this program, I felt that I needed to support him as much as I could.”

Haryanto is just one of thousands of listeners of Islamic radio programs that at times carry information on where demonstrations in support of religious or moral causes are being held. Or which mosques will host preachers like Murhali.

Completing the News

Media analyst Iswandi Syahputra says many people who rely on television or social networking Web sites for their information underestimate the influence of radio.

According to the Alliance of Islamic Radio (ARIN), there are about 50 registered Islamic radio stations across Indonesia, about 30 of which are members of ARIN. The alliance itself was officially launched in February of last year.

Dhea Qotrunnada, who heads ARIN, recently told the Globe that Islamic radio stations in the country were established to augment and sometimes counter the news on Islam being carried in the mainstream press.

“The main purpose of our broadcasts is getting as many people as possible to stand together. Why should we stand alone? We would never be successful in striking down incomplete reports by mainstream media if we were to stand alone,” Dhea said.

“We air news that has a clear Islamic perspective. We need this to make up for the news being carried by mainstream media, which often discredits Islam. We also air nasyid [Islamic songs].”

Great Variety of Stations

Dakta Radio, which Haryanto likes to tune into, is based in Bekasi. It was established in 1992 and broadcasts news and speeches for what it claims are one million listeners in Greater Jakarta. But director Andi Kosala denied on Friday that it was an exclusively Islamic radio station.

“This is a news radio station that happens to have 40 percent Islamic content,” Andi told the Globe. “It needs to be understood that this is not an Islamic radio station.”

Asked why of all the Islamic preachers in the country Dakta Radio picked Murhali to host his own program, Andi said, “We used Murhali because we saw that he was competent. We did not know that he was an FPI leader.”

At Radio Nuris, an executive told the Globe that the station was established because its founders were concerned about young Indonesian straying from the path of Islam.

“We believed this was happening because of the strength of Western culture,” Rudianto said. “So we began to offer Islamic edutainment for young people, especially students and university students, with 100 percent Islamic values.”

Dadang Rahmat Hidayat, who chairs the Indonesian Broadcasting Commission (KPI), said there were many religious radio stations, and not just Islamic ones.

“There are also Christian stations, like Petra FM,” Dadang said. “It needs to be understood, however, that there is not necessarily anything wrong with ‘radio dakwah’ [radio for preaching purposes] — as long as they do not provoke listeners to commit crimes.”

But that can sometimes be difficult to prevent.

“We do not have the equipment to monitor radio broadcasts,” Dadang said. “So we ask listeners to report anything they find offensive.”

(www.thejakartaglobe.com)

5.04.2011

'Fitnah' Wahabi-Salafi?

Hari itu, Ahad 24 April 2011, pagi hari di tengah gerimis yang cukup menggigit, Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Pasir Gombong Cikarang Bekasi menggelar hajatan besar Tabligh Akbar bertemakan “membongkar kebohongan & tipu daya fatwa-fatwa Wahabi-Salafi (palsu)”. Hajatan yang digelar bekerjasama dengan FOSWAN (Forum Shilaturahim Warga Nahdliyyin) ini mengusung tema dari judul sebuah buku terbitan Foswan dengan Redaksi yang sama. Buku yang terbitan pertamanya berjudul “Menyingkap tipu daya dan fitnah keji fatwa-fatwa kaum salafi dan wahabi” bermaterikan ungkapan-ungkapan keresahan, kekesalan dan kemarahan kepada sekelompok atau paham yang diidentifikasi sebagai Wahabi-Salafi ala penyusun buku tersebut.

Hal itu tampak nyata dalam Tabligh Akbar yang digelar hari itu yang penuh dengan sumpah serapah dan caci maki membabi buta. Mendengarkan Tabligh akbar tersebut yang disampaikan kepada seribuan lebih jama’ah membuat bulu kuduk merinding melihat suasana yang sangat emosional, saat penceramah muda (sekitar 30-35 tahun usianya) KH. Imam Musthofa Mukhtar yang disebut oleh MC pernah mesantren di Madinah selama puluhan tahun dengan berapi-api membakar emosi para jama’ah (jika 20 tahun saja dia mondok di madinah maka sejak usia 10-an tahun dia telah belajar di Madinah). Jama’ah yang berdatangan dari kelompok-kelompok pengajian kampung itu tampak lugu dan polos mendengarkan dramatisasi, pemutarbalikan fakta dan pembohongan dari penceramah yang sarat arogansi dan emosi. Saat itu seolah-olah bukan mengikuti ceramah agama seperti ditulis di spanduk acara, tetapi menghadiri kampanye partai politik yang penuh janji-janji muluk atau orasi massa di depan gedung bulog menuntut pembagian beras murah.

Atmosfir di atas, termanifestasi pula dalam muqaddimah bukunya Foswan yang berbunyi “Buku ini ditulis karena rasa prihatin yang mendalam terhadap keresahan masyarakat Islam menyangkut munculnya “orang-orang usil” dari kalangan Wahabi & Salafi yang selalu mempermasalahkan kebiasaan dan tradisi keagamaan masyarakat, sejak dulu telah menjadi cobaan besar bagi umat Islam di seluruh dunia. Keresahan itu sering memicu kemarahan bahkan tindak kekerasan hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah yang seringkali dibesar-besarkan.”

Wahabi-Salafi digambarkan sangat ekstrim dalam Tabligh Akbar tersebut. Yang paling absurd adalah menyamakan total antara Wahabi dengan Salafi. Wahabi-Salafi dipandang sebagai ideologi dan aliran radikal yang bisa memicu terorisme. Bahkan Syaikhul Islam Imam Ibn Taimiyah dan Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab digambarkan pelopor paham radikalisme. Pemikiran dan fatwa-fatwa Syaikhan inipun dianggap keliru, ganjil dan menyesatkan. Buku Tauhidnya Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan disebut sebagai buku berbahaya dan wajib dilarang oleh pemerintah.

Yang rumit sekaligus menggelikan adalah saat Wahabi-salafi dianggap sebagai aliran radikal pemicu terorisme, sementara pada saat yang sama Wahabi-Salafi disebut sebagai paham atau sekelompok orang yang membid’ahkan praktek yasinan, tahlilan, ziarah kubur dll. Seolah-olah penceramah ingin menggiring para jama’ah dan pihak kepolisian dari polres kab Bekasi yang hadir saat itu memandang bahwa orang-orang yang membid’ahkan yasinan, tahlilan dan lain-lain sebagai radikalis dan teroris.

Sungguh, jika anda mendengarkan Tabligh Akbar waktu itu, anda akan mengerutkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala saking heran dan trenyuh menyikapi keresahan Foswan (bukan warga Nahdliyin keseluruhan, apalagi Foswan adalah institusi non struktural NU) yang berlebihan bahkan menimbulkan keresahan baru. Al-Habib Al-Idrus, narasumber kedua dalam Tabligh Akbar tersebut yang seharusnya menyampaikan do’a namun malah berorasi tanpa kendali sampai sempat-sempatnya mengatakan, “Jika mau berdebat, biarlah orang-orang Wahabi-Salafi itu menghidupkan lagi ulama-ulama mereka, biar mereka bawa ribuan kitab mereka punya, saya hadapi dengan satu kitab cukup buat saya menghabisi mereka.” Wal’iyadzubillah

Cukupkah sikap emosional seperti ini menyelesaikan permasalahan umat? Bisa jadi benar ada sikap yang berlebihan dilakukan oleh kalangan yang mengklaim diri sebagai salafiyyun yang perlu diklarifikasi dan diluruskan. Namun apabila sikap berlebihan disikapi dengan sikap yang sama nampaknya hanya kerusakan hasilnya.

Tidak bisa dipungkiri pula bahwa ada sikap-sikap ekstrim yang dilakukan oleh kalangan yang mengaku diri sebagai salafi ini (terlepas dari perdebatan makna dan definisinya). Yang paling nampak adalah sikap ghuluw dalam thoriqoh dakwahnya yang keras dan kasar.

Sebenarnya hal inilah nampaknya yang membuat penasaran kaum ahlu yasinan wa tahlilan. Sikap yang melegenda dari beratus-ratus tahun yang lalu yang seyogyanya bisa disikapi dengan lebih bijak dan cerdas.

Dakta 107 FM, sebuah Radio pengusung dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (slogan yang juga diklaim oleh kalangan Nahdliyyin) namanya tercantum dalam buku “membongkar kebohongan dan tipu daya fatwa-fatwa Wahabi-Salafi” yang disebut sebagai salah satu media penyebar paham Wahabi-Salafi, mencoba membuka ruang diskusi dan shilaturahmi dengan mengundang pihak Foswan live on air pada hari Sabtu, 30 April 2011 lalu. Pertemuan dan diskusi berlangsung hangat dan akrab sekalipun tetap masih banyak PR yang harus dituntaskan oleh semua pihak.

Upaya klarifikasi Dakta sehubungan Dakta disebut sebagai media Wahabi-Salafi yang digambarkan secara ekstrim oleh Foswan selesai dengan permintaan maaf Foswan kepada Dakta. Di lain pihak Foswan menuntut Dakta untuk berimbang dalam menampilkan narasumber religi dengan merekrut pula Asatidzah dari kalangan Nahdliyyin. Namun bukan pula bahwa Dakta sepakat dengan persepsi Foswan terhadap Wahabi-Salafi secara keseluruhan.

Perkara kesalahpahaman ini hanya bisa tuntas dengan menuntut ilmu yang benar dari rujukan yang benar dan mu’tabar. Tidak akan bisa selesai dengan sikap emosional dan arogan. Sebab, emosional adalah ciri-ciri orang yang kurang ilmu. Allah Ta’ala mengatakan, “Apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?” Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Ilmu dulu baru bicara dan beramal.” Sebab, ucapan dan amal sebanyak dan sehebat apapun apabila tidak dilandasi dengan ilmu yang benar, sia-sia belaka hasilnya. (Abu Gozian)