11.29.2011

Bersikap Adil Kepada Wahabi

JAKARTA _DAKTACOM: Setelah kemunculan beberapa buku yang menghujat Wahabi, seperti “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”, “Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik”, dan “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”, kini muncul buku yang mencoba bersikap adil kepada Wahabi. Buku tersebut ditulis oleh AM. Waskito berjudul “Besikap Adil Kepada Wahabi”. Sebuah bantahan kritis dan fundamental terhadap fitnah yang ditujukan kepada Wahabi.

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Akhirnya, buku yang kami proses sekian lama ini terbit juga, dengan segala pertolongan Allah. Judul besarnya, “Bersikap Adil Kepada Wahabi” (BAKW). Judul penjelas: “Bantahan Kritis dan Fundamental Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram“. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Al Kautsar, Jakarta.

Buku-buku propaganda sudutkan Wahabi

Belakangan ini beredar buku berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” (SBSSW) yang dikarang oleh seseorang yang mengaku bernama Syaikh Idahram. Buku tersebut berisi gugatan dan caci maki terhadap apa yang disebut dengan “Gerakan Salafi Wahabi”.

Kalau sekadar kritik yang obyektif, tentu tak masalah. Karena setiap orang dan kelompok bisa saja mempunyai kecenderungan keliru, berlebihan, mau benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Namun jika kritik dan celaan tersebut berlebihan dan berbohong, bahkan mengandung manipulasi fakta, tentu saja hal ini menimbulkan masalah serius dan fitnah.

Bayangkan saja, akibat beredarnya buku Syaikh Idahram itu, sebuah kegiatan pengajian ditutup karena dituduh Wahabi. Padahal, apa yang dimaksud dengan Wahabi itu tidak jelas definisinya. Jangan sampai masyarakat awam diadu domba oleh buku fitnah semacam itu.

Belum reda kontroversi buku pertama sudah muncul buku kedua,“Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik” (MMKKUK); kemudian muncul lagi, “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi” (USMSW). Maka situasi fitnah pun kian merebak.
Sebagai manusia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentu tak lepas dari dosa dan khilaf. Sebagai gerakan dakwah,Wahabi bukanlah tempat berkumpulnya para malaikat yang terjaga dari dosa. Karenanya, kami memberi judul buku ini “Bersikap Adil Kepada Wahabi”, karena keadilan dan obyektivitas itu seruan Islam. Adapun sikap tidak jujur, mengadu domba, fanatik buta, itu ajaran setan.

Buku ini juga mengupas dugaan adanya “penumpang gelap” di balik kampanye anti Wahabi. Mereka tak lain adalah kelompok Syiah, dan kelompok yang menjajakan paham Sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Akibatnya, kritik terhadap Wahabi tak lagi jernih, tapi sudah keruh oleh bermacam kepentingan, khususnya dalam menghalangi implementasi nilai-nilai syariat Islam di bumi Nusantara.
Mengapa Menolak Wahabi?

Konflik pemahaman atau perbedaan pendapat antara kaum Wahabi dan Anti Wahabi, sudah terjadi sejak lama. Berdirinya NU di Indonesia pada tahun 1926 di masa lalu, juga masih berkaitan dengan perselisihan paham ini. Bahkan sejatinya, pembagian Muslim Indonesia dalam dikotomi “Modernis” dan “Tradisionalis”, sebenarnya bertumpu dari perselisihan ini.

Kalau selama ini perselisihan Wahabi Vs Anti Wahabi berjalan dalam lingkup ilmiah, santun, atau kasar (namun bersifat tertutup); maka ketika Syaikh Idahram memasuki area konflik ini, dengan menulis buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” (SBSSW); ia benar-benar menampakkan modus perselisihan yang sangat KASAR, ZHALIM, MANIPULASI, dan BANYAK BERDUSTA. Kalangan yang dia sebut “Sekte Salafi Wahabi” diperlakukan tak ubahnya seperti orang kafir yang tidak memiliki kebaikan sedikit pun.

Bersikap Adil Kepada Wahabi

Dengan menulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi” (BAKW) ini sasaran yang dituju ada dua. Pertama, membuktikan bahwa buku-buku Syaikh Idahram bukan buku ilmiah Islami, tetapi buku propaganda permusuhan, adu-domba, dan fitnah di tengah Ummat. Kedua, mengajak kaum Muslimin untuk bersikap obyektif, menimbang secara adil, dan selalu komitmen dengan Syariat Islam, ketika menilai komunitas Muslim yang kerap disebut Wahabi itu.

Siapa yang dibantah?

Buku ini memuat banyak bantahan, terhadap berbagai sasaran. Di antaranya sebagai berikut:

= Kepada Syaikh Idahram (atas segala keberaniannya menulis buku-buku propaganda penuh fitnah, penodaan, dan kebohongan).
= Kepada Prof. Dr. Said Aqil Siradj. Seorang tokoh yang selama 14 tahun diberi aneka rupa kebaikan, beasiswa, dan fasilitas oleh kaum Wahabi; kemudian dia membalas kebaikan itu dengan serangan kebencian membabi-buta. “Tidak akan selamat Said Aqil, sampai dia bisa mengeluarkan seluruh jasa-jasa kaum Wahabi dari tubuh dan kehidupannya.”
= Syaikh Zaini Dahlan.
= Memoar Mr. Hempher.
= Lembaga publikasi Turki, Ikhlas Waqfi.
= Hizbut Tahrir (terkait tuduhan Wahabi menghancurkan Khilafah Utsmani).
= Muhammad Arifin Ilham (terkait kalimat endorsement yang membuatnya dibelit oleh dosa-dosa berkepanjangan, yang tak mudah tuntas meskipun dia bisa mengisi hidupnya dengan hanya menangis sepanjang hari dalam dzikir).
= Luthfi At Tamimi (terkait kebenciannya yang mendarah daging kepada kaum Wahabi dan dukungan mutlaknya kepada Muammar Qaddafi).
= Isu seputar “Lawrence Arabiya“.
= KH. Siradjuddin Abbas (terkait pembohongannya atas hakikat akidah Ibnu Taimiyyah).
= KH. Mutawakkil Alallah, tokoh PWNU Jawa Timur (terkait isu Khilafah).
= Ansyad Mbai, BNPT, Densus 88, Densus 99 (terkait tuduhan Wahabi “biang terorisme”).
= Dan aneka kaum “Anti Wahabi” lainnya.

Dalam buku ini akan dijelaskan, bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Wahabi itu umumnya hanyalah tuduhan yang terus diulang-ulang; semata atas dasar kebencian subyektif, merasa senang memusuhi sesama Muslim dan menyenangkan hati kaum non Muslim; serta atas dasar ketidak-beranian berbicara dan berdebat dalam konteks ilmiah secara obyektif. Seperti ungkapan populer, “Lempar batu, sembunyi tangan.”

Besar harapan, buku ini bermanfaat di sisi Ummat Islam, bermanfaat dalam konteks pembangunan Islam di Indonesia, serta berpahala di sisi Allah Ar Rahman Al Jalil. Amin Allahumma amin. (arrahmah.com/AMW/Inas).

Wawancara Eksklusif dengan Ustadz AM Waskito (penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”) : “Ada Upaya Menggiring Isu Wahabi ke Isu Terorisme”

M. Fachry

Heboh isu Wahabi ternyata tidak terlepas dari sebuah konspirasi menyudutkan Islam dan kaum Muslimin. Salah satu penumpang gelap isu Wahabi adalah BNPT dengan seluruh antek-anteknya yang sengaja menggiring isu Wahabi dan mengklaim bahwa Wahabi adalah sumber terorisme. Terlalu! Berikut Wawancara Eksklusif Arrahmah.com dengan Ustadz AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”, Kamis (24/11/2011). Selamat menikmati!

Arrahmah.com (AR) : Assalamu’alaikum.wr.wb! Bagaimana kabarnya Ustadz ?
Ustadz AM (AM) : Alhamdulillah, baik.

AR : Mengapa menulis buku Bersikap Adil Kepada Wahabi (BAKW) ?
AM : Ada tiga alasan. Pertama, karena munculnya buku karya Syaikh Idahram yang bersifat propaganda hitam. Dari sisi etika perbukuan dan syarat ilmiah sebuah buku, buku Idahram ini jauh. Apa yang dilakukan oleh penulis ini (Idahram) sangat tidak pantas. Orientalis saja yang nota bene bukan Muslim, ketika menulis buku yang menghujat Islam, tidak seperti itu. Kedua, tema pembahasan Wahabi sebenarnya sudah cukup lama, hanya saja perbincangan seputar Wahabi rata-rata berputar di tema-tema itu saja. Saya tertarik untuk masuk ke tema ini dengan semangat dan perspektif baru. Ketiga, propaganda Anti Wahabi ini sangat potensial nanti terus menggelinding menjadi propaganda anti Syariat Islam. Itu sangat berbahaya!

AR : Sebelumnya kenal dengan orang yang mengaku bernama Syaikh Idahram? Siapa sebenarna dia?
AM : Saya tidak kenal. Kami yang terlibat di bidang perbukuan tidak mengenal siapa Idahram ini. Sampai ada yang menebak-nebak dengan membalik-balik namanya, menjadi Marhadi. Apalagi dia menggunakan kata “Syaikh” seolah-olah dia seorang ulama dari Timur Tengah. Di Negara kita tidak lazim ada penulis menggunakan sebutan “Syaikh”. Pernah ada istilah “Hadratus Syaikh” untuk KH. Hasyim Asy’ari. Itu pun yang memberi gelar para pengikutnya, bukan dirinya sendiri. Buya Hamka dan lain-lain tidak menggunakan gelar Syaikh ketika menulis buku. Jadi saya terus terang tidak tahu banyak tentang Idahram ini.

AR : Menurut Ustadz, mengapa belakangan ini bermunculan buku-buku yang menghujat salafi wahabi?
AM : Dalam pandangan saya, semua ini tampaknya masih satu paketan dengan kampanye anti terorisme yang dipropagandakan BNPT. Berkali-kali Ansyad Mbai, AM Hendropriyono, atau Suryadarma Nasution, membuat pernyataan bahwa sumber terorisme adalah kalangan Wahabi. Kalau ada stigma seperti ini, jelas sulit. Apalagi kalau aparat dan birokrasi sudah membuat kesimpulan-kesimpulan seperti itu. Mereka memiliki biaya, institusi dan seterusnya yang bisa melakukan tindakan-tindakan hukum yang merugikan Ummat Islam. Padahal sebagaimana pernah disampaikan oleh Ustadz Syuhada Bahri, Ketua DDII, bahwa Wahabi bukanlah sumber terorisme. Juga pernah disampaikan Ketua PP Muhamadiyah, KH. Yunahar Ilyas bahwa Wahabi bukanlah sumber terorisme. Istilah Wahabi itu sudah lama ada, sedangkan istilah terorisme baru muncul dalam rentang 10 tahun terakhir. Aneh sekali, Wahabi sudah ada sejak abad 18, dikaitkan dengan terorisme yang baru muncul 10 tahun lalu. Ini tidak nyambung.

AR : Ada konspirasi besar di balik itu semua?
AM : Mungkin saja ada. Dalam isu ini tampak jelas ada kepentingan-kepentingan tertentu, ya misalnya agar dana terus mengalir dari negara donor. Tentu hal ini sangat disayangkan sekali. Hanya karena mengharapkan anggaran-anggaran dari pemerintah asing, kita rela menghancurkan ummat Islam. Antara yang didapat dengan korban penghancuran ummat ini, jelas tidak sebanding!

AR : Siapa penumpang gelapnya?
AM : Ada informasi, katanya Said Aqil Siradj baru pulang dari Amerika menemui pejabat Bank Dunia. Kabarnya disana ada komitmen dukungan dana “tak terbatas” untuk membendung radikalisme. Pihak asing tentu paling senang kalau ummat ini saling ribut satu sama lain dan melupakan problem-problem utama mereka. Maka dimunculkanlah konflik Wahabi dan Anti Wahabi. Bagi mereka tak masalah keluar modal sedikit, dengan hasil besar, ada konflik horizontal di tengah-tengah ummat Islam. Bukanlah kolonial Belanda dulu memakai strategi Devide Et Impera untuk memecah-belah bangsa Indonesia.

AR : Buku karya Ustadz ini membantah beberapa nama, bisa disebutkan ringkas dan padat bantahan kepada mereka?
AM : Ya, dalam buku BAKW ada bantahan kepada beberapa nama, seperti kepada Said Aqil Siradj. Dia ini mengklaim buku Idahram adalah buku ilmiah. Hal ini menunjukkan seolah-olah Said Aqil tidak pernah sekolah, sehingga tidak bisa membedakan antara buku ilmiah dan tidak ilmiah. Said Aqil berkali-kali memberi peringatan tentang bahaya Salafi-Wahabi. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian saja dia larang jama’ah haji Indonesia datang ke tanah suci? Bukankah kalau dibiarkan ke tanah suci, nanti sepulangnya mereka bisa terpengaruh oleh Wahabi? Mengapa dia tidak jujur saja? Selain itu, dia menyesalkan dihancurkannya rumah paman Rasulullah di dekat Masjidil Haram. Lha, paman Rasulullah itu siapa? Dia adalah Abu Lahab. Mengapa menangisi rumah Abu Lahab? Begitu juga dia memprotes dihancurkannya “Darun Nadwah” (semacam Balai Pertemuan kaum Quraisy pada waktu itu). Sekarang kita tanya, Darun Nadwah itu untuk apa dulunya? Itu khan untuk pertemuan puak-puak Quraisy dalam rangka membunuh Rasulullah. Apa itu yang mau disesali? Jadi, pada dasarnya apa yang dikhawatirkan mereka kepada Wahabi menunjukkan bahwa mereka tidak sportif dan senang memprovokasi atau mengadu-domba.

AR : Mengapa Densus 88, 99, dan Ansyad Mbai ikut berkepentingan “menghabisi” wahabi? Apa bantahan kepada mereka?
AM : Kalau untuk mereka lebih ditekankan kepada penumpang gelap tadi. Jadi isu Wahabi ini sengaja digiring kepada isu terorisme. Mereka menuduh bahwa Wahabi adalah sumber terorisme. Menariknya, ketika Densus 99 diluncurkan, maka yang bereaksi hanya dari kalangan umat Islam, apa-apaan dibentuk Densus 99. Dari kalangan LSM-LSM sekuler-liberal, yang biasanya sangat anti dengan sipil yang dipersenjatai dan selalu berkoar-koar tidak merespon sama sekali. Ada apa ini? Begitulah orang-orang yang sedang mendapat ujian dari Allah, mereka berada di antara kondisi, antara iman dan kufur.

AR : Bersikap “adil” kepada Wahabi, itu harapan atau kesimpulan dari buku Ustadz?
AM : Itu memang harapan saya. Bagaimana kita bisa bersikap adil kepada Wahabi. Karena bersikap adil itu adalah amanat dari Allah SWT, sebagaimana yang saya cantumkan di awal buku saya.

AR : Apa saran Ustadz kepada umat Islam?
AM : Hendaknya ummat Islam lebih mengedepankan ukhuwah Islamiyyah. Hendaknya ummat lebih memikirkan bagaimana untuk mempersatukan ummat Islam ketimbang memperdebatkan Wahabi atau Anti Wahabi. Contoh dedikasi kaum Wahabi, saat negara-negara Muslim tertentu mendapatkan agresi dari negara-negara Barat, santri-santri Wahabi datang meninggalkan kampung halaman, demi membela tanah air kaum Muslimin. Sekalipun negeri-negeri itu bukan negeri mereka. Hal seperti ini menunjukkan mereka memiliki patriotisme nyata. Bukan omong kosong. Meskipun tentu sebagai manusia, mereka tak luput dari salah dan kekurangan juga. Yang jelas, kita harus adil dan proporsional!

AR: Jazakallah khairul jaza’ Ustadz atas waktunya!
AM : Wa Iyyakum, sama-sama.

(M Fachry/arrahmah.com).

'Fitnah' Wahabi-Salafi?

Wildan Hasan

Hari itu, Ahad 24 April 2011, pagi hari di tengah gerimis yang cukup menggigit, Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Pasir Gombong Cikarang Bekasi menggelar hajatan besar Tabligh Akbar bertemakan “membongkar kebohongan & tipu daya fatwa-fatwa Wahabi-Salafi (palsu)”. Hajatan yang digelar bekerjasama dengan FOSWAN (Forum Shilaturahim Warga Nahdliyyin) ini mengusung tema dari judul sebuah buku terbitan Foswan dengan Redaksi yang sama. Buku yang terbitan pertamanya berjudul “Menyingkap tipu daya dan fitnah keji fatwa-fatwa kaum salafi dan wahabi” bermaterikan ungkapan-ungkapan keresahan, kekesalan dan kemarahan kepada sekelompok atau paham yang diidentifikasi sebagai Wahabi-Salafi ala penyusun buku tersebut.

Hal itu tampak nyata dalam Tabligh Akbar yang digelar hari itu yang penuh dengan sumpah serapah dan caci maki membabi buta. Mendengarkan Tabligh akbar tersebut yang disampaikan kepada seribuan lebih jama’ah membuat bulu kuduk merinding melihat suasana yang sangat emosional, saat penceramah muda (sekitar 30-35 tahun usianya) KH. Imam Musthofa Mukhtar yang disebut oleh MC pernah mesantren di Madinah selama puluhan tahun dengan berapi-api membakar emosi para jama’ah (jika 20 tahun saja dia mondok di madinah maka sejak usia 10-an tahun dia telah belajar di Madinah). Jama’ah yang berdatangan dari kelompok-kelompok pengajian kampung itu tampak lugu dan polos mendengarkan dramatisasi, pemutarbalikan fakta dan pembohongan dari penceramah yang sarat arogansi dan emosi. Saat itu seolah-olah bukan mengikuti ceramah agama seperti ditulis di spanduk acara, tetapi menghadiri kampanye partai politik yang penuh janji-janji muluk atau orasi massa di depan gedung bulog menuntut pembagian beras murah.

Atmosfir di atas, termanifestasi pula dalam muqaddimah bukunya Foswan yang berbunyi “Buku ini ditulis karena rasa prihatin yang mendalam terhadap keresahan masyarakat Islam menyangkut munculnya “orang-orang usil” dari kalangan Wahabi & Salafi yang selalu mempermasalahkan kebiasaan dan tradisi keagamaan masyarakat, sejak dulu telah menjadi cobaan besar bagi umat Islam di seluruh dunia. Keresahan itu sering memicu kemarahan bahkan tindak kekerasan hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah yang seringkali dibesar-besarkan.”

Wahabi-Salafi digambarkan sangat ekstrim dalam Tabligh Akbar tersebut. Yang paling absurd adalah menyamakan total antara Wahabi dengan Salafi. Wahabi-Salafi dipandang sebagai ideologi dan aliran radikal yang bisa memicu terorisme. Bahkan Syaikhul Islam Imam Ibn Taimiyah dan Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab digambarkan pelopor paham radikalisme. Pemikiran dan fatwa-fatwa Syaikhan inipun dianggap keliru, ganjil dan menyesatkan. Buku Tauhidnya Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan disebut sebagai buku berbahaya dan wajib dilarang oleh pemerintah.

Yang rumit sekaligus menggelikan adalah saat Wahabi-salafi dianggap sebagai aliran radikal pemicu terorisme, sementara pada saat yang sama Wahabi-Salafi disebut sebagai paham atau sekelompok orang yang membid’ahkan praktek yasinan, tahlilan, ziarah kubur dll. Seolah-olah penceramah ingin menggiring para jama’ah dan pihak kepolisian dari polres kab Bekasi yang hadir saat itu memandang bahwa orang-orang yang membid’ahkan yasinan, tahlilan dan lain-lain sebagai radikalis dan teroris.
Sungguh, jika anda mendengarkan Tabligh Akbar waktu itu, anda akan mengerutkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepala saking heran dan trenyuh menyikapi keresahan Foswan (bukan warga Nahdliyin keseluruhan, apalagi Foswan adalah institusi non struktural NU) yang berlebihan bahkan menimbulkan keresahan baru. Al-Habib Al-Idrus, narasumber kedua dalam Tabligh Akbar tersebut yang seharusnya menyampaikan do’a namun malah berorasi tanpa kendali sampai sempat-sempatnya mengatakan, “Jika mau berdebat, biarlah orang-orang Wahabi-Salafi itu menghidupkan lagi ulama-ulama mereka, biar mereka bawa ribuan kitab mereka punya, saya hadapi dengan satu kitab cukup buat saya menghabisi mereka.” Wal’iyadzubillah

Cukupkah sikap emosional seperti ini menyelesaikan permasalahan umat? Bisa jadi benar ada sikap yang berlebihan dilakukan oleh kalangan yang mengklaim diri sebagai salafiyyun yang perlu diklarifikasi dan diluruskan. Namun apabila sikap berlebihan disikapi dengan sikap yang sama nampaknya hanya kerusakan hasilnya.

Tidak bisa dipungkiri pula bahwa ada sikap-sikap ekstrim yang dilakukan oleh kalangan yang mengaku diri sebagai salafi ini (terlepas dari perdebatan makna dan definisinya). Yang paling nampak adalah sikap ghuluw dalam thoriqoh dakwahnya yang keras dan kasar.

Sebenarnya hal inilah nampaknya yang membuat penasaran kaum ahlu yasinan wa tahlilan. Sikap yang melegenda dari beratus-ratus tahun yang lalu yang seyogyanya bisa disikapi dengan lebih bijak dan cerdas.

Dakta 107 FM, sebuah Radio pengusung dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (slogan yang juga diklaim oleh kalangan Nahdliyyin) namanya tercantum dalam buku “membongkar kebohongan dan tipu daya fatwa-fatwa Wahabi-Salafi” yang disebut sebagai salah satu media penyebar paham Wahabi-Salafi, mencoba membuka ruang diskusi dan shilaturahmi dengan mengundang pihak Foswan live on air pada hari Sabtu, 30 April 2011 lalu. Pertemuan dan diskusi berlangsung hangat dan akrab sekalipun tetap masih banyak PR yang harus dituntaskan oleh semua pihak.

Upaya klarifikasi Dakta sehubungan Dakta disebut sebagai media Wahabi-Salafi yang digambarkan secara ekstrim oleh Foswan selesai dengan permintaan maaf Foswan kepada Dakta. Di lain pihak Foswan menuntut Dakta untuk berimbang dalam menampilkan narasumber religi dengan merekrut pula Asatidzah dari kalangan Nahdliyyin. Namun bukan pula bahwa Dakta sepakat dengan persepsi Foswan terhadap Wahabi-Salafi secara keseluruhan.

Perkara kesalahpahaman ini hanya bisa tuntas dengan menuntut ilmu yang benar dari rujukan yang benar dan mu’tabar. Tidak akan bisa selesai dengan sikap emosional dan arogan. Sebab, emosional adalah ciri-ciri orang yang kurang ilmu. Allah Ta’ala mengatakan, “Apakah sama orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?” Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Ilmu dulu baru bicara dan beramal.” Sebab, ucapan dan amal sebanyak dan sehebat apapun apabila tidak dilandasi dengan ilmu yang benar, sia-sia belaka hasilnya. (wildanhasan.blogspot.com)

Siapa cela Wahabi, Siapa puji Wahabi?

M. Fachry

JAKARTA (Arrahmah.com) – Seseorang bernama Syaikh Idahram telah menyulut perdebatan seputar Wahabi setelah menulis buku berjudul “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi” yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Dalam resensi buku tersebut dijelaskan bahwa beberapa ulama Islam kontemporer menyatakan kekeliruan dan penyimpangan Salafi Wahabi yang mengakibatkan dakwah Salafi Wahabi ditentang dimana-mana. Benarkah demikian?

Buku “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”, pesanan siapa?

Tidak bisa disangkal, ada gerakan dan konspirasi besar untuk hancurkan dakwah tauhid, terutama yang dimurnikan kembali oleh Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Beberapa buku sengaja ditulis untuk memuluskan usaha tersebut, di samping forum-forum kajian dan pembahasan buku tersebut yang entah disponsori siapa.

Beberapa buku hujatan kepada Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab dan dakwahnya adalah : “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”, “Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik”, dan “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”.

Buku “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi” ditulis oleh seseorang dengan nama samaran Syaikh Idahram, dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta yang dikenal sebagai penerbit buku-buku liberal, sekuler, dan anti Islam.

Dalam buku setebal 340 halaman tersebut, Syaikh Idahram menganggap Salafi Wahabi adalah sekte atau aliran dalam Islam yang menggerus otensitas ajaran Islam karena memiliki berbagai kerancuan dan penyimpangan. Dengan alasan ini pula, Syaikh Idahram yang ditengarai bernama asli Marhadi (kebalikan dari nama Idahram) menganggapp dakwah Salafi Wahabi ditentang dimana-mana dan digugat dari berbagai mahzab.

Syaikh Idahram dalam resensi buku tersebut yang ditulis oleh Abdul Aziz MM, Sekjen Renaisant Institute, Yogyakarta, menyebutkan beberapa ulama Islam kontemporer yang menyatakan kekeliruan dan penyimpangan Salafi Wahabi, seperti Prof Dr Ali Gomaa (ulama besar Al-Azhar Mesir), Prof Dr Yusuf Qaradhowi (pemikir terkemuka Qatar asal mesir), Prof Dr Abdullah al-Ghimari (guru besar ilmu hadis Maroko), Abdullah al-Harari al-Habasyi (guru besar hadis Australia asal Habasyah) dan masih banyak lagi, ungkapnya. Benarkah demikian?

Ulama-Ulama Juga Puji Wahabi

Sebagai seorang Muslim, kita tentunya harus bersikap adil kepada Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab, dan juga kepada dakwah Salafi Wahabi yang selama ini banyak dicerca dan digugat oleh kalangan tertentu yang “gerah” dengan dakwah tauhid beliau.
Selain mengetahui dengan jelas dan tegas, dari sumber-sumber yang “adil” tentang biografi Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab, kita juga perlu mengetahui pendapat-pendapat ulama yang lurus dan ikhlas, tentang siapa Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab dan bagaimana dakwahnya.

Berikut beberapa pujian ulama dan tokoh dunia kepada Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab, rahimahullah, yang ditulis oleh ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus sebagai bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram, semoga bermanfaat!

1. Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Ismail Ash-Shon’ani (Penulis Kitab Subulus Salam syarah Bulughul Marom, Yaman). Beliau berkata dalam bait-bait syairnya,
“Muhammad (bin Abdul Wahhab) adalah penunjuk jalan kepada sunnahnya Ahmad (shallallahu ‘alaihi wa sallam), Aduhai betapa mulianya sang penunjuk dengan yang ditunjuk. Sungguh telah mengingkarinya semua kelompok (sesat). Pengingkaran tanpa dasar kebenaran dan tanpa pijakan.”[1]

2. Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (Penulis Kitab Nailul Authar, Yaman). Ketika sampai berita kematian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah pun merangkai bait-bait syairnya,
“Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan, Rujukan utama orang-orang pilihan yang mulia. Ilmu-ilmu agama nyaris hilang bersama wafatnya, Wajah kebenaran pun hampir lenyap tertelan derasnya arus sungai.”[2]

3. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho (Pimpinan Majalah Al-Manar,[3] Mesir). Beliau berkata,
“Zaman yang telah banyak tersebar bid’ah ini, tidak akan pernah berlalu tanpa adanya ulama rabbaniyyin yang terpilih untuk memperbarui kembali bagi umat ini urusan agama mereka dengan dakwah dan ta’lim serta teladan yang baik.
Mereka adalah orang-orang terpilih yang menafikkan dari agama ini; penyimpangannya orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dengan mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh orang-orang yang sesat dan penakwilan orang-orang jahil, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di antara ulama pembaharu yang terpilih itu. Beliau bangkit untuk mengajak kepada tauhid dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata, meninggalkan bid’ah dan kemaksiatan.”[4]

4. Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi (Ulama Al-Azhar, Mesir). Beliau berkata,
“Al-Wahhabiyyah adalah penisbatan kepada seorang Imam Al-Mushlih (yang mengadakan perbaikan), Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau adalah Mujaddid (pembaharu) abad ke-12 Hijriyah. Namun penisbatan nama Wahabi kepada beliau salah menurut bahasa Arab, yang benar penisbatannya adalah Muhammadiyyah (bukan Wahabiyah), karena nama beliau Muhammad bukan Abdul Wahhab.”[5]

5. Dr. Thaha Husain (Sastrawan, Mesir). Beliau berkata,
“Sungguh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah mazhab baru namun hakikatnya lama, kenyataannya ajaran ini memang baru bagi orang-orang yang hidup di zaman ini, tetapi hakikatnya lama. Sebab dakwah beliau tidak lain hanyalah ajakan yang kuat kepada Islam yang murni, bersih lagi suci dari noda-noda syirik dan paganisme.”[6]

6. Dr. Taqiyyuddin Al-Hilali (Ulama Iraq). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab, ‘Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi’,
“Tidak samar lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab bangkit dengan dakwah hanifiyyah (tauhid), beliau telah melakukan pembaharuan kembali zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan beliau mendirikan daulah yang mengingatkan manusia dengan daulah Khulafaur Rasyidin.”[7]

7. Syaikh Mahmud Syukri Al-Alusi (Ulama Iraq)
Beliau berkata, “Baliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) termasuk ulama yang selalu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar, dahulu beliau mengajarkan sholat dan hukum-hukumnya serta seluruh rukun-rukun agama, beliau juga selalu memerintahkan untuk berjama’ah.”[8]

8. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Penulis Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Syam). Beliau berkata,
“Ibnu Abdil Wahhab memulai dakwahnya pada tahun 1143 H atau 1730 M, beliau mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dakwah beliau adalah pelopor kebangkitan baru di seluruh dunia Islam. Beliau sangat memprioritaskan dakwahnya kepada tauhid yang merupakan tiang Islam, yang pada kebanyakan manusia telah tercampur dengan kerusakan-kerusakan (aqidah).”[9]

9. Syaikh Ahmad bin Hajar bin Muhammad Alu Abu Thaami (Hakim Pengadilan Syari’ah, Qatar).
Pujian beliau kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tertuang dalam satu kitab karya beliau yang berjudul, “Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Aqidatuhu As-Salafiyyah wa Da’watuhu Al-Ishlahiyyah wa Tsanaul Ulama ‘Alaihi”, yang berarti, “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidahnya Salafiyah dan Dakwahnya Perbaikan dan Pujian Ulama Kepadanya.” Cetakan kedua buku ini diberi kata pengantar dan dikoreksi beberapa bagiannya oleh Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah.

10. Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani (Ulama Ahli Hadits, India)
Pujian beliau kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga tertuang dalam satu kitab karya beliau yang berjudul, ‘Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan’, kitab ini merupakan bantahan terhadap kedustaan-kedustaan Ahmad Zaini Dahlan terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Menengahi 'Konflik' NU dan Salafi

By: Zulfahmi (www.zulfahmi.net)

Konflik antara Salafi dengan NU bukanlah konflik yang baru, namun sudah hampir mendarah daging. Warga NU baik di kota maupun pedesaan, baik yang liberal maupun yang tradisional, sepakat menolak segala bentuk pemahaman Salafi, atau yang biasa mereka sebut sebagai “Wahabi”. Meskipun saya tidak mengatakan semuanya, masih ada ulama NU yang open mind dan tidak mau menelan mentah-mentah informasi yang berkembang.

Paham Anti-Wahabi menyebabkan warga NU sangat anti dengan ajaran-ajaran seperti haramnya bid’ah, haramnya tawassul, haramnya isbal, dll. Bahkan menyentuh pada ranah furu’iyyah, seperti jenggot, jumlah azan Jum’at, jumlah rekaat shalat tarawih, qunut, dll. Hal ini terlihat sekali di akar rumput NU, yaitu jika mendapati hal yang berbeda, maka dianggap sudah beda aliran, disebut terpengaruh Wahabi, terkadang disebut juga disebut Muhammadiyah.

Namun sayangnya, para ulama NU bukannya mencerdaskan warganya agar open mind, namun malah menutup total terhadap pemahaman selain NU, atau yang diklaim “Ahlus sunnah wal jamaah” versi mereka. Padahal mazhab dalam Islam sendiri tidaklah satu, sehingga bolehlah setiap orang menentukan mana mazhab yang dianggapnya benar, namun tidak boleh menganggap berbeda mazhab menjadi seakan-akan aliran yang berbeda. Anehnya NU justru lebih terbuka terhadap ritual-ritual yang bertentangan dengan islam seperti tawassul, tahlilan 1), ilmu kebal, dll. Meskipun sekali lagi, tidak semua warga NU seperti itu.

Di sini saya juga mengkritik Salafi, karena mereka juga mengklaim dirinya Ahlussunnah wal Jamaah, sementara kelompok lainnya tidak dianggap Ahlussunnah wal Jamaah. Bahkan dengan ringan menyebut kelompok lainnya dengan ahlul bid’ah, Mu’tazilah, Khawarij, ashabiyyah, dll. Kalau kita bandingkan fanatiknya warga NU dengan warga Salafi, terdapat perbedaan yaitu jika kebanyakan warga NU fanatik tanpa ilmu (alias sudah menutup diri dulu), sementara Salafi fanatik dengan “ilmu,” yakni mereka merasa berilmu tentang kelompok-kelompok lainnya, meski sembrono dalam melakukan penilaian.

Solusi Konflik NU dan Salafi

Solusi dari konflik ini adalah warga NU dan Salafy kembali kepada manhaj Salafus Shalih yang sesungguhnya. Warga NU meninggalkan segala macam bid’ah, khurafat, dan ritual-ritual yang tidak ada dasarnya dalam Kitab maupun sunnah. Juga warga Salafi, mampu melihat secara objektif kelompok –kelompok lainnya, dan secara serius mengkaji pemahaman kelompok lainnya langsung kepada kelompok tersebut, bukan kepada doktrin ulamanya. Sehingga tidak sembrono memvonis kelompok-kelompok lainnya.

Pada masa Salafus Shalih, ada berbagai macam mazhab, namun mereka hidup bersama, boleh berdebat secara ahsan maupun dialog untuk mencari pendapat yang terkuat, namun tetap bertoleransi selama pendapat itu diambil dari dalil syar’i.

Hendaklah perjuangan yang kita lakukan adalah perjuangan mempersatukan umat di bawah satu kepemimpinan, satu imam, seperti pada masa sahabat, tabi’in, maupun tabiut tabi’in. Karena khalifah adalah pemimpin yang seluruh mazhab sepakat akan wajibnya mengangkatnya. Dibawah satu khalifah, insya Allah, ISLAM BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN. [voa-islam.com]

________________

1) Tahlilan adalah peringatan kematian pada hari ke-7, 40, 100, 1000, dst. Hal ini haram bukan karena membaca tahlilnya, tetapi karena menyerupai (tasyabbuh) terhadap ritual agama Hindu, yang juga menggelar peringatan kematian pada jumlah hari-hari tersebut. Sementara Islam melarang menyerupai agama lain.

Surat Terbuka Warga Nahdiyin untuk Kyai Foswan Bukhori Maulana

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Teruntuk: KH Drs Muhammad Bukhori Maulana MA.

Beberapa hari ini saya terhenyak dengan berita tentang tabligh akbar yang diselenggarakan oleh FOSWAN (Forum Silaturrahmi Warga Nahdliyin) di Bekasi, dengan tema “Ulama Sejagad Menggugat Salafi-Wahabi.”

Mengapa saya begitu miris mendengarnya, karena tak disangka apa yang disampaikan di sana ternyata jauh sekali dari kesantunan, nilai ukhuwah dan standar akademis. Banyak hujatan di sana tanpa pangkal, seperti membabi buta diiringi oleh nafsu.
Saya tidak kenal dengan kiyai, namun saya menghormati kiyai sebagai ulama. Ulama yang dalam Islam adalah pewaris para nabi, penerus risalah agar umat menjadi lurus, tak tergerus habis oleh zaman dan tetap pada aqidah yang kokoh.

Saya merasa sedih sekali ketika kiyai dengan sangat lantangnya mencaci orang-orang Salafi dan PKS sebagai Wahabi. Bahkan kiyai mengatakan bahwa mereka menjadikan Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh bin Baz sebagai berhala. Kiyai juga mengatakan bahwa orang PKS yang mengadakan tahlilan atau maulidan adalah pembohongan terhadap masyarakat agar meraup suara di Pemilu. Belum lagi kiyai menyebutkan cirri-ciri orang Salafi sebagai orang yang tidak enak dipandang. Masya Allah!!

Saya adalah pemuda biasa, bukan orang yang faqih dalam masalah agama. Mungkin tak sefaqih kiyai dalam hal pengetahuan agama. Saya adalah kader PKS, namun saya sedari kecil dibesarkan di lingkungan Nahdliyin yang sangat kental. Saya mengikuti tahlilan seperti biasa bersama warga lain, dan itu bukan hanya saya lakukan pada saat menjelang Pemilu. Dan dalam PKS tidak pernah diajarkan sama sekali tentang pengkultusan apalagi menjadikan ulama sebagai berhala. Kami menganggap ulama adalah inspirasi dan penuntun, dan kami yakini pula ia tak selalu faqih dalam segala hal. Kami diajarkan untuk dapat mengambil pelajaran dan ilmu dari manapun itu, sehingga wawasan kami menjadi luas. Tak hanya terkungkung pada satu hal saja dan menutup diri dari hal kebaikan yang lain.

Begitu pula saya suka mengikuti kajian Salafi, di sana saya mendapatkan banyak sekali ilmu bagaimana berislam dengan baik sesuai sunnah. Di sana kami diajarkan tata cara beribadah yang baik dan benar sesuai sunnah, dan bukankah itu yang seharusnya? Karena syarat diterima ibadah selain niat yang benar adalah caranya juga benar, tentu kiyai sudah paham betul hal tersebut.

Dan mengenai Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikh Bin Baz dan ulama lainnya, setahu saya dan memang seperti itulah adanya. Mereka hanyalah ulama yang pendapatnya dijadikan sandaran terhadap suatu hukum. Dan pendapat itupun diambil dari sumber-sumber hujjah yang shahih bukan dari pendapat pribadi. Dan kiyai tentu sangat mengetahui bagaimana mengambil hukum dan menjadikannya hujjah dari Al-Quran, hadits, atsar sahabat, maupun ijma ulama lainnya. Sehingga tak ada yang namanya menjadikan ulama-ulama tersebut sebagai berhala, karena menganggap pendapat mereka mutlak.

Mengenai perbedaan pendapat antara para ulama Nahdliyin dengan para ustadz di PKS itu adalah hal yang biasa karena masuk dalam wilayah khilafiah.

Dan jika kiyai mengatakan wajah orang Salafi tidak enak dipandang, saya ingin bertanya kepada kiyai, tidak enak dari sisi fisiknya apakah karena ada perasaan kesal di hati sehingga ketika melihat orang Salafi menjadi tak enak dipandang. Karena selama saya bergaul dengan orang Salafi, wajah mereka menyejukkan, tak ada guratan keduniawian.

Pak kiyai yang saya hormati, bukankah Allah telah menyebutkan bahwa inna akromakum ‘indallahi atqakum, dan juga kiyai pasti sudah paham betul bahwa setiap muslim adalah bersaudara, innamal mu’minuna ikhwah. Lalu mengapa kiyai dengan teganya menyakiti hati saudara sesama muslim, menebar kebencian kepada kelompok yang lain dan menganggap kelompoknya lebih baik? Bukankah itu hal yang tercela? Terlebih lagi jika menganggap bahwa mereka telah menjadikan sesembahan lain selain Allah, bukankah itu sudah memvonis musyrik bahkan kafir (takfir)? Padahal Rasulullah telah mengajarkan pada kita, dalam sebuah hadits yang artinya:

“Siapa berkata kepada saudaranya, “Hai kafir”, maka kembalilah kekufuran itu kepada salah seorang daripada keduanya. Kalau memang saudaranya itu sebagaimana ia katakan (benarlah ia), tetapi kalau tidak, niscaya kembalilah kekufuran itu kepadanya (sendiri)” (Shahih Muslim kitab Al-Iman bab “bayan hal iman man qola li akhihil muslimin ya kafir,” hadits nomor 225).

Kiyai yang saya cintai karena Allah,
Saya sebagai warga Nahdliyin dengan segala hormat meminta kepada kiyai untuk meminta maaf kepada warga yang kiyai kira sebagai Salafi ataupun kepada warga PKS. Kami tak ingin di masyarakat terjadi perpecahan sehingga tetangga dengan tetangga lain menjadi tidak akur dan lain sebagainya.

Bukankah Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi pernah mengatakan bahwa ukhuwah islamiyah itu adalah kebutuhan umat islam masa kini? Karena Islam tak akan bangkit, Islam tak akan jaya tanpa adanya rasa cinta kasih di antaranya. Jika Islam bersatu-padu, tak terkotakkan antara satu dan lainnya, niscaya musuh-musuh islam pun pasti gentar. Kita meyakini Islam adalah solusi dan ia adalah minhajul hayah tapi bagaimana itu bisa terwujud jika ada saling dengki.

Semoga Allah berikan anugerah dan rahmat-Nya untuk kita semua umat islam pada umumnya dan pada kiyai khususnya. Sehingga tak ada lagi hujat menghujat, caci mencaci, yang ada hanyalah satu kata untuk memperbaiki umat bersama-sama dengan meninggikan kalimat tauhid dan menjadikan sunnah rasul-Nya sebagai aturan hidup. Wallahu ‘alam bis-shawab

Barakallahufikum. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 24 November 2011
Al-fakir Uwais Al-Qarniy