A. Dalil Nash al-Qur’an
1. QS. At-Taubah (9) : 24
B. Dalil Hadits
1. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol.I, hlm. 14; dan Muslim Shahih Muslim, vol. I, hlm. 76
“Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku ia lebih cintai daripada orangtua dan anaknya.”
2. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol.I, hlm. 14
“Tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan manusia seluruhnya.”
3. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol. VI, hlm. 2445
“Umar Ra berkata kepada Nabi Saw, “Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Beliau berkata, ‘tidak, wahai Umar. Sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Umar berkata, “ Demi Allah, Engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri,” Beliau berkata, “Sekarang wahai Umar.”
C. Dalil aqwal Ulama
1. Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi Saw termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah Swt yang menyandingkan keduanya dan mengancan siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
2. Syekh Ali Jum’ah (Mufti Mesir), dalam Al-Bayan Al Qawim li Tashhih Ba’dhi Al-Mafahim, mengatakan:
“Merayakan maulid Nabi Saw telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah pendekatan kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al-Qur’an, dan dzikir-dzikir yang ditegaskan sejumlah Ulama seperti Al Hafidz Ibnu Jauzi, Al Hafidz Ibnu Katsir, Al Hafidz Ibnu Dihyah Al Andalusy, Al Hafidz Ibnu Hajar, dan Jalaluddin Al-Suyuthi.”
3. Syekh Ali Jum’ah juga menyebutkan, “Dalam kitab Al Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan maulid Nabi Saw. Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab Al Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.”
4. Imam Jalaluddin Al Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqashid fi amalil maulid mengatakan, “Hukum dasar kegiatan maulid yang berupa berkumpulnya orang-orang banyak, membaca beberapa ayat Al-Qur’an, menyampaikan khabar-khabara yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama, lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”
Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, “Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam al-Qur’an maupun di dalam sunnah,” dengan mengatakan, “ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu itu,”. Imam Suyuthi mengatakan, “bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.”
Imam Suyuthi juga berkata, “kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, atsar maupun ijma.’ Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam as-Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh sultannya para ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”
5. Pernyataan selengkapnya dari Imam Ibnu Hajj dalam kitabnya al-Madkhal, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar tentang keutamaan perayaan maulid Nabi Saw bisa dilihat dalam kitab Al-Bayan Al Qawim li Tashhih Ba’dhi Al-Mafahim (terj) Syeikh Ali Jum’ah hlm. 43.
D. Makna Bid’ah dan Khilafiyah
1. Bid’ah dalam arti yang baik adalah ‘model’. Bid’ah dalam arti istilah syariah adalah ‘model hal-hal yang baru dalam hal agama’.
Bid’ah yang menurut kepastian hukum terlarang, bukan dalam bidang agama karena agama sangat luas, meliputi segala aspek kehidupan dan penghidupan, melainkan dalam bidang ibadah yang merupakan bagian dari agama, atau bahkan dalam bidang ibadah dalam arti khusus yang cara, acara, tata cara, dan upacaranya, telah diatur dan diperinci oleh Allah Swt dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Bid’ah dalam pengertian ini bisa disebut terlarang karena memenuhi lima kriteria :
a. Menetapkan niat khusus sebagai ibadah ritual dan merasa berdosa jika meninggalkannya.
b. Dilakukan di waktu yang khusus, jika tidak merasa berdosa.
c. Dilakukan di tempat yang khusus, jika tidak merasa berdosa.
d. Menggunakan tata cara yang khusus dan tidak boleh keluar dari tata cara yang telah ditentukan.
e. Menggunakan doa-doa khusus dan tidak boleh menggunakan doa selain itu.
Sebagaimana Shalat sebagai ibadah ritual, menetapkan niat khusus untuk beribadah sholat, dilakukan di waktu-waktu yang khusus, di tempat-tempat tertentu (tidak boleh di kuburan dan tempat-tempat kotor), memakai tata cara yang khusus, dan bacaan-bacaan yang khusus.
Maka apakah perayaan maulid Nabi Saw yang selama ini dilakukan oleh umat Islam mengamalkan lima kriteria di atas? Jika ya maka jelas bid’ah, jika tidak maka bukan bid’ah.
Beberapa pertanyaan :
• kenapa harus dilakukan tiap tahun? Jawabannya, “kenapa juga acara silaturahim-silaturahim ba’da lebaran juga dilakukan tiap tahun?
• Bukankah itu tasyabbuh dengan praktek orang kafir (ulang Tahun/natal) Jawabannya, “Bukankah juga di Saudi selalu ada ulang tahun Raja, bukankah juga Saudi suka mengadakan perayaan ulang tahun Negara? Dan para Ulama di sana ikut hadir dalam perayaan-perayaan tersebut?
• Bukankah tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw dan para Shahabat? Jawabannya tergantung kita memposisikan maulid. Termasuk ibadah ritual kah atau hanya sekedar duniawiyah. Jika duniawiyah maka Rasulullah dan para Sahahabat tidak mungkin mencontohkan semua perkara duniawiyah. Semua perkataan Rasulullah adalah kebaikan tetapi tidak semua kebaikan dikatakan oleh Rasulullah.
2. Khilafiyah berarti “perbedaan”. Secara Istilah khilafiyah adalah perbedaan pendapat mengenai persoalan agama. Selanjutnya, hal yang harus dicatat adalah tidak ada khilafiyah dalam agama berarti :
a. Tidak ada khilafiyah dalam pokok agama Islam
b. Tidak ada khilafiyah dalam antaragama Ilahi
c. Khilafiyah terjadi dalam perkara furu’iyyah
E. Fiqh Waqie’
Sesungguhnya fikih berbicara tentang realitas. Maka fikih tidak boleh rigid, kaku dan menekan selama realitas itu tidak menyimpang dari pokok-pokok agama.
ass.salam kenal akhi, jazakallah artikelnya
BalasHapusArtikel ini memberikan informasi berguna, misal :
BalasHapus“Merayakan maulid Nabi Saw telah menjadi kebiasaan dan
tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5."
Salafus saleh menurut firman Allah adalah para Muhajirin dan Anshor radiyallahu anhum (At-Taubah 100) tidak ada mereka memperingati kelahiran nabi yang telah wafat dengan berkumpul-kumpul.
Bahkan Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan lainnya pun tidak melakukannya.
Mereka wafat sebelum abad 4 Hijriah.
Numpang tanya:
1. Apa hukum dari mencabut uban dari rambut kepala atau janggut yang tumbuh walau hanya 1 helai apalagi lebih?
2. Apa akibatnya jika meninggalkan sholat Ashar?