Ali Mustafa Ya’kub dalam bukunya kritik hadits menjelaskan tugas-tugas yang diamanahkan kepada nabi Muhammad Saw untuk mengetahui secara kongkrit fungsi dan kedudukan hadits dalam Islam. Ia memaparkan bahwa di dalam al-Qur’an, Nabi Saw mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: Menjelaskan Kitab Allah (QS. Al-Nahl: 44), Memberikan keteladanan (QS. Al-Ahzab: 21), Nabi Saw wajib ditaati (QS.
Al-Anfal: 20, an-Nisa: 80), Menetapkan hukum (QS. Al-A’raf: 157, al-Hasyr: 7). Itulah empat fungsi dan kedudukan hadits dalam Islam, dimana apabila disimak, maka tidak ada satupun yang bersumber dari Nabi Saw baik perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau yang tidak menjadi sumber dalam agama Islam.
Empat fungsi dan kedudukan hadits di atas adalah menurut pandangan ahli hadits. Sementara ahli Ushul Fikih yang merasa berkewajiban untuk menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya, maka menurut mereka, fungsi sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam hanya ada tiga. Pertama, sebagai pendukung hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, kedua, sebagai penjelas hukum-hukun yang terdapat dalam al-Qur’an dan ketiga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
Dalam memandang Sunnah atau hadits sebagai sumber agama Islam, sekilas terdapat perbedaan antara ahli hadits dengan ahli Ushul Fikih. Karena ahli hadits memandang hadits dengan segala bagiannya (perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat Nabi Saw) menjadi sumber Islam sesudah al-Qur’an, sementara ahli Ushul Fikih hanya melihat tiga bagian saja dari hadits tanpa sifat nabi Saw yang dapat dijadikan sumber syariat Islam.
Namun sebenarnya perbedaan itu tidak ada, karena para ahli haidts melihat bahwa hadits dengan empat bagiannya itu menjadi sumber syariat Islam yang mencakup aspek aqidah, hukum dan akhlak, sementara ahli Ushul Fikih hanya melihatnya dari aspek hukum saja. Di sisi lain, para ahlu Ushul Fikih juga tetap menjadikan sifat-sifat Nabi Saw sebagai sumber akhlak dalam Islam.
Oleh karena itu, yang ada sebenarnya hanyalah konsensus bahwa hadits atau sunnah tidak dapat dilepaskan dari Islam. Karena keberadaan hadits telah memperoleh justifikasi dari al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri memerintahkan umat Islam untuk mengikuti hadits Nabi Saw. Karenanya, setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadits dari Islam, sebenarnya hal itu tidak lebih dari pelecehan terhadap al-Qur’an itu sendiri, dan pada gilirannya hal itu akan berupaya untuk memisahkan al-Qur’an dari kehidupan umat Islam.
Begitulah urgensi hadits dalam Islam. Namun begitu, sejarah mencatat bahwa ada sementara orang yang karena faktor-faktor tertentu ingin memisahkan hadits dari Islam. Menurut mereka, Islam sudah cukup dengan al-Qur’an saja. Pemikiran yang kemudian lazim dikenal dengan Ingkar Sunnah ini telah muncul pada zaman klasik disusul zaman sekarang ini bersamaan dengan munculnya kolonialisme, orientalisme, dan misionarisme.
Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah bermakna timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di timur.
Kata “orient” itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan tentang “Timur” itu biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.
Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia ”Barat” itu, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Orientalisme dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda menurut sikap mental dari kaum orientalis itu sendiri. Penyelidikan itu bermula secara terpisah-pisah mengenai masing-masing agama tersebut. Max Muller (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke-19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suci oleh masing-masing agama di timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri atas 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Book of the East ((Kitab-Kitab Suci dari Timur). Cara Max Muller membahas masing-masing agama dengan mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati obyektifitasnya, sangat berbeda dengan cara kaum Orientalis pada masa sebelumnya maupun pada masanya sendiri. Maka ia dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu baru yang dikenal dengan Comparative Religions (Perbandingan Agama).
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang Barat pertama yang mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang bisa dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka dan berguru kepada ulama-ulama Islam berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat, kedokteran, dan metafisika.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor utama yang menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicilia. Di samping juga imbas perang Salib secara khusus menjadi pemacu orang-orang Eropa melakukan pengkajian terhadap dunia Islam. Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan agama dan ideologi antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat terhadap Islam. Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka concern terhadap kebudayaan Islam.
Orientalisme mempunyai cakupan yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan bangsa-bangsa di Timur serta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Di antaranya mencakup; kepurbakalaan, sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, keturunan, kemasyarakatan, adat istiadat, kekuasaan, kehidupan, lingkungan, dan lain-lain.
Singkatnya, setiap disiplin ilmu melakukan kegiatan penyelidikan menurut bidang masing-masing. Segala macam kegiatan itu berlaku terhadap bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa di benua Timur beserta lingkungannya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang dicakup oleh para ahli ketimuran itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di antaranya:
1. Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
2. Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
3. Faktor Ekonomi.
4. Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
5. Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.
Tujuan Orientalisme menurut penulis buku Orientalisme dan Misionarisme adalah memurtadkan umat Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi Saw., sebagai sumber hukum Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak dikenal dalam agama mereka dalam membuktikan kebenaran-kebenaran Kitab Sucinya.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Vensink, L. Massinyon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Metode Kritik Hadits Orientalis
Kajian Islam yang dilakukan oleh Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), orientalis Yahudi kelahiran Hoingaria yang memiliki karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
Penelitian hadits juga selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht-yang juga orientalis Yahudi-menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab Suci” kedua di kalangan orientalis.
Dibanding Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang otentik dari Nabi Saw., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah.
Sangat disesalkan, dalam berbagai penelitian, khususnya penelitian dalam bidang hadits, para orientalis tersebut bersandar kepda metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhada teks. Bisa kita identifikasi, sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sindiri, untuk kemudian dicari penguat berupa dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya. Hal itu dirasa tidak penting bagi mereka asal bisa diambil sedikit kesimpulan dari dalil tersebut sebagai pembenaran atas pemikiran mereka.
Sikap seperti ini tentunya bertentangan dengan kaisah dan dasar-dasar penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.
Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi Saw., melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua.
Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah:
1. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi Saw
2. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya sooa kodifikasi hadits
3. Para Shahabat tidak menghafal hadits
4. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits
5. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hokum
6. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits
7. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM
Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Kritik atas Kritik Hadits Orientalis
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1. Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
3. Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadits-terutama yang berkaitan dengan hukum Islam-adalah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih.”
Untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw., sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi Saw.
Seorang Ahli Hadits abad ini Prof. Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah-naskah klasik. Kesimpulannya, sangat mustahil untuk ukuran waktu itu para sahabat dan tabi’in yang tempat tinggalnya berbeda wilayah yang sangat berjauhan bisa berkumpul untuk memalsukan hadits. Yang kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama padahal para perawinya tidak pernah bertemu.
Dan lebih banyak lagi bantahan para ulama terhadap syubuhat kalangan orientalis yang ingin meruntuhkan posisi hadits sebagai salah satu sumber hukum utama dalam Islam. wh
Wallahu Musta’an
hmmmm... gan, izin sedot isinya ya. buat kutipan makalah saya. btw, tulisan ini makin mantap kalo ada daftar pustakanya. thanks!
BalasHapus