4.20.2011

Kajian Akhlaq III

• Hadits 9: Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, “ Rasuullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tidak melihat kepada orang yang menjulurkan pakaiannya dengan kesombongan.” (Muttafaq Alaih)
• Allah tidak melihat artinya tidak merahmati orang yang menjulurkan kainnya dengan kesombongan baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Kecuali perempuan boleh dipanjangkan dalam hadits At-Tirmidzi dan An-Nasai dari Ummu Salamah.
• Rasulullah bersabda, “Kain sarung yang menjulur melebihi mata kaki tempatnya di neraka.” (HR. Al- Bukhari/ 5787)
• Dengan adanya pengkaitan hukum dengan sikap sombong maka dapat difahami, bahwa bagi yang menjulurkan kainnya tanpa dibarengi kesombongan, tidak mendapat ancaman ini. Sebagaimana dalam kisah Abu Bakar As-Shiddiq (Al-Bukhari/ 3665)
• Ibnu Abdil Bar berkata, “Orang yang menjulurkan kainnya tanpa dibarengi sikap sombong juga termasuk dalam kategori melakukan perbuatan tercela.
• An-Nawawi berkata, “Menurut Asy-Syafi’i, hukumnya makruh.”
• Rasulullah bersabda, “Jangan sekali-kali kamu menjulurkan kainmu di bawah mata kaki. Sesungguhnya orang yang menjulurkan kain di bawah mata kaki termasuk orang yang sombong.” (HR. Ibnu Mani’)
• Perhatikan Maqashid as-Syariah: Menjaga Agama, harta, keturunan dan jiwa.

• Hadits 10: Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Apabila seseorang dari kamu makan hendaklah ia makan dengan tangan kanan. Dan apabila minum hendaklah ia minum dengan tangan kanan. Karena setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)
• Mayoritas ulama berpendapat bahwa disunnahkan makan dan minum dengan tangan kanan, akan tetapi tidak berarti dengan tangan kiri hukumnya haram.

• Hadits 11: Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah saw bersabda, “Makan dan minumlah, berpakaian dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kesombongan.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
• Hadits ini menunjukkan haramnya perbuatan israaf (berlebih-lebihan) dalam perkara makanan, minuman, pakaian dan sedekah.
• Hadits ini diambil dari firman Allah Ta’ala: “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31)
• Hadits ini juga menunjukkan haramnya bersikap sombong dan angkuh.

Kajian Aqidah II

PERINTAH AGAR BERPEGANG TEGUH KEPADA Al-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

• Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan pemimpin-pemimpin kamu, apabila kamu berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu sebaik-baik dan sebagus-bagus akibat.” (QS. An-Nisa: 59)

• Taat kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak tanpa syarat. Sementara taat kepada pemimpin itu tidak mutlak dengan syarat pemimpin tersebut taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
• Ayat ini turun terkait Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adi tatkala ia diutus oleh Rasulullah saw. Dalam suatu pasukan (HR. Al-Jamaah)
• Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada penguasa terhadap segala sesuatu yang dia sukai maupun tidak dia sukai selama tidak diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah untuk bermaksiat, maka tiada lagi mendengar dan taat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

• Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh telah ada bagi kamu dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi orang yang berharap ridha Allah dan hari akhir, serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Hari itu adalah hari yang sangat mengharukan ketika Madinah digemparkan oleh berita wafatnya Rasulullah saw. Sahabat Abu Bakar bergegas mendatangi rumah Rasulullah saw., tiada kata yang terucap sesampainya di rumah Rasulullah saw beliau langsung masuk dan mendapati Rasulullah terbaring ditutup kain, setelah menyingkap kain di wajah Rasulullah saw lalu Abu Bakar mendekap dan mencium wajahnya dan air mata pun menetes di pipinya.

Sementara itu Sahabat Umar bin Khattab dengan penuh emosi dan pedang di tangan berkata lantang kepada orang banyak: “Rasulullah saw tidak wafat tetapi sedang pergi menghadap Rabb-nya sebagaimana Nabi Musa, dan beliau tidak akan wafat sampai orang-orang munafik musnah.” Beberapa kali Abu Bakar menenangkan Umar, namun umar tidak menggubrisnya. Hingga kemudian Abu Bakar meninggalkannya dan berseru kepada manusia: “Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah maha hidup dan tidak mati. Allah swt berfirman;

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali_imran: 144)
Mendengar ayat itu Umar seketika lemas, iapun jatuh terduduk di tanah dan air matanya menetes. Ia merasa seolah-olah ayat ini baru turun dan iapun menyadari bahwa orang yang sangat dicintainya telah pergi meninggalkannya.
Lain halnya dengan kisah sahabat Khubaib bin Adi yang telah tertangkap oleh orang kafir hingga kemudian dieksekusi dengan cara disalib. Sebelum disalib, para pemuka Quraisy mendatanginya sambil berkata kepadanya:“Sukakah engkau jika Muhammad menggantikan posisimu pada saat ini dan engkau pulang dengan selamat berkumpul bersama anak istrimu? Dengan lantang Khubaib menjawab: “Demi Allah, aku tida sudi bersama anak istriku selamat menikmati kesenangan dunia, sedang Rasulullah terkena musibah, walaupun hanya tergores sepotong duri.”
Begitulah ekspresi kecintaan seorang Khubaib kepada Rasulullah saw., sampai-sampai Abu Sufyan kagum dan berkata: “Sungguh, belum pernah aku melihat manusia yang sangat mencintai manusia lain seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad.”
Bukan hanya Khubaib bin Adi yang mampu mengekspresikan kecintaannya kepada Rasulullah dengan pengorbanan jiwa. Ada sahabat Abu Dujanah yang sekujur tubuhnya dipenuhi anak panah menjadi tameng hidup bagi Rasulullah saw dalam perang Uhud. Demikian pula Ziyad bin Sakan yang sekujur tubuhnya hancur terkena pedang, tombak, dan anak panah. Dia tidak beranjak dari posisinya melindungi Rasulullah saw sampai ia syahid di atas pangkuan Rasulullah.
Selain oleh umat Islam, Rasulullah saw dikenal dan dikagumi oleh orang-orang non muslim termasuk sebagian Orientalis Barat. Di antara yang menaruh simpati kepada Rasulullah saw adalah Prof. Dr. Bosworth Smith yang menyatakan dalam bukunya: “Muhammad sebagai kepala Negara sekaligus pemimpin agama, tanpa membutuhkan pasukan yang selalu disiagakan di markas. Tidak mempunyai istana, tanpa memungut pajak yang dilaksanakan secara paksa kepada rakyatnya, dan kalau ada orang yang berani mengaku berterus terang sebagai pembawa kebenaran Risalah Ilahi, tidak lain Muhammad itulah orangnya. Dialah orang yang memiliki kekuasaan tanpa alat pembantu….”
Bukan hanya Bosworth yang kagum tehadap Rasulullah saw., Michael Hart menulis sebuah buku seratus tokoh terkemuka dan paling berpengaruh di dunia. Ia menempatkan Rasulullah saw pada posisi yang pertama.
Namun sayang baik Bosworth maupun Hart hanya sebatas pengagum yang kekagumannya tidak melahirkan keimanan yang membuat mereka menjadi pengikut Rasulullah (muslim). Maka yang dibutuhkan bukanlah kekaguman kepada pribadi Rasulullah semata tetapi kecintaan yang melahirkan ketaatan.
Kecintaan kepada Nabi bisa diekspresikan dalam banyak bentuk di antaranya:
• Taat dan patuh kepadanya sebagai pembawa Risalah

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisaa: 80)

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An_nur: 51)

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. al-Hasyr: 7)

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”(QS. Ali-Imran: 32)

• Mengikuti ajarannya

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran: 31)

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

• Meneladaninya

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

• Meneruskan da’wahnya, menyebarkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, beramar ma’ruf nahi munkar, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya.

Kajian Fiqih Ibadah III

• Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats, hingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
• Rasulullah saw bersabda, “Wudhu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)
• Dalil wajibnya wudhu, Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
• Dalil-dalil keutamaan Wudhu:
“Jika salah seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu dan membasuh wajahnya, keluarlah dari wajahnya setiap dosa yang dilihat oleh kedua matanya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir, dan jika ia mencuci kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya tesebut setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya bersama air atau bersama tetesan yang terakhir, dan jika ia mencuci kedua kakinya maka keluarlah dari kedua kakinya setiap dosa yang pernah dilakukannya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir, hingga ia keluar suci dari dosa-dosa.” (HR. Muslim/ 244)
• Apakah wudhu merupakan kekhususan umat Islam? Para peneliti berpendapat bahwa wudhu bukan kekhususan umat Islam, yang menjadi kekhususannya hanyalah ghurrah (warna putih bersinar pada wajah) dan tahjil (warna putih bersinar pada kaki).

• Hadits 1: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah saw bersabda, “Seandainya aku tidak ingin menyusahkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap kali wudhu.” (HR. Malik, An-Nasai dan Ahmad)
• Perintah bersiwak terdapat lebih dari seratus hadits di antaranya sabda Rasulullah saw; “Bersiwaklah kalian, sesungguhnya bersiwak itu dapat mensucikan mulut.”/ “Bersiwak adalah sunnah para Rasul.”/ “Shalat yang ditunaikan dengan didahului dengan bersiwak, lebih utama 70 kali lipat atas shalat yang ditunaikan dan sebelumnya tidak bersiwak.”
• Hukum bersiwak sunnah menurut jumhur ulama, namun ada yang berpendapat wajib.
• Hadits tersebut menunjukkan penentuan waktunya, yaitu setiap kali wudhu. Bersiwak lebih disukai dilakukan pada lima waktu, yaitu: Ketika akan shalat, ketika wudhu, ketika membaca Al-Qur’an, ketika bangun tidur dan ketika bau mulut berubah.
• Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Rahasia yang terkandung padanya bahwa kita diperintahkan pada setiap kondisi ketika beribadah kepada Allah Ta’ala agar dalam kondisi yang sempurna dan suci, sebagai bentuk memuliakan ibadah.”

• Hadits 2: Dari Humran bahwa Utsman Radhiyallahu Anhu meminta air wudhu, lalu ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya lalu menghembuskannya, kemudian ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian ia mencuci tangan kanannya hingga sikut tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian ia mengusap kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian ia berkata “Aku melihat Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku ini.” (HR. Bukhari/ 159 dan Muslim/ 226)
• Makna kalimat tsumma dalam bahasa Arab berarti berurutan, sedangkan wa berarti bersamaan.
• Anggota wudhu yang wajib dibasuh hanya muka, tangan, kepala dan kaki sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 6, selainnya sunnah.

• Hadits 3: Dari Ali Radhiyallahu Anhu mengenai sifat wudhu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ia berkata, “dan beliau mengusap kepalanya satu kali.” (HR. Abu Dawud).

• Hadits 4: Dari Abdillah bin Zaid bin Ashim Radhiyallahu Anhuma tentang sifat wudhu ia berkata, “Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengusap kepalanya dari depan sampai belakang. “ (Muttafaq Alaih) Dalam satu lafazh bagi keduanya, “Beliau memulai dari bagian depan kepalanya (dan menariknya) hingga ke tengkuknya, kemudian mengembalikan keduanya ke tempat ia memulai darinya.”

• Hadits 5: Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma tentang sifat wudhu ia berkata, “Kemudian beliau mengusap kepalanya, dan memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam kedua telinganya, dan mengusap kedua ibu jarinya pada bagian luar kedua telinganya.” (HR. Abu Dawud)

• Hadits 6: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata: “ Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur, maka hendaklah beristintsar tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam di dalam lubang hidungnya.” (Muttafaq Alaih)

• “Dan darinya, “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana posisi tangannya saat tidur.” (Muttafaq Alaih)

4.06.2011

Meluruskan shof atau merapatkan orang sholat?

Semoga menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan....

Syaikh Bakar bin ‘Abdullah Abu Zaid, salah seorang anggota Lajnah Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyan wal Ifta’ Saudi Arabia, menulis dalam kitabnya La Jadida fi Ahkami ash-Sholah terkait perilaku berlebihan dalam mengamalkan sunnah meluruskan shof sebagai berikut:

Beliau menyebutkan bahwa dalam meluruskan shof, ada tiga sunnah yang perlu diperhatikan:

1. Meluruskan shof, menegakkan dan menyejajarkannya.
2. Mengisi celah-celah, di mana tidak ada celah-celah dalam shof tersebut.
3. Menyambung dan menyempurnakan shof pertama, lalu shof berikutnya.

Beliau katakan, di antara tata cara baru yang bekaitan dengan shof sholat tanpa ada dasarnya berupa mengejar orang yang berada di sebelah kanannya bila ia berada di sebelah kanan shof dan mengejar orang yang berada di sebelah kiri bila ia berada di sebelah kiri shof. Juga, membengkokkan kedua tumitnya agar kedua mata kakinya menempel dengan kedua mata kaki orang yang ada di sebelahnya. Beliau sebut semua ini merupakan tata cara tambahan terhadap apa yang sudah diriwiyatkan, di dalamnya mengandung sifat berlebih-lebihan dalam menerapkan sunnah.

Terkait menyejajarkan antara bahu, mata kaki dan leher (An-Nasai: 814), Syaikh Bakar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah berbaris, saling sejajar, segaris dan mengisi celah-celah, bukanlah berarti “menempelkan”. Sebab, menempelkan leher dengan leher orang lain sangat mustahil dilakukan.

Mengharuskan bahu menempel dengan bahu orang lain setiap kali berdiri juga merupakan tindakan memaksa diri secara nyata.

Demikian pula, menempelkan lutut dengan lutut orang lain sangat tidak mungkin dilakukan. Sedang dalam menempelkan mata kaki dengan mata kaki orang lain adalah terlalu memaksakan dan menyusahkan diri.

Oleh karena itu, menurut beliau, jelaslah bahwa menyejajarkan empat anggota tubuh: leher, bahu, lutut dan mata kaki adalah termasuk satu masalah. Bahwa yang dimaksud dari perintah itu adalah anjuran agar meluruskan shof, saling sejajar, segaris dan menempel di satu garis, tanpa ada kebengkokan dan celah-celah. Bukan menempelkan leher, bahu, lutut dan mata kaki kita dengan orang lain secara hakiki. (kalimat yang digaris bawahi dari saya).

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rohimahullahu Ta’ala berkomentar, “ Maksud meluruskan shof adalah orang-orang yang berdiri dalam shof tersebut di atas satu garis, atau maksudnya adalah mengisi celah-celah yang ada dalam shof tersebut. “ (Fathul Bari/II/247)

Syaikh Bakar juga mengambil pemahaman sahabat Nu’man bin Basyir terkait perintah meluruskan shof, yaitu; lurus dan mengisi celah-celah, bukannya menempelkan dan melekatkan bahu dan mata kaki.

Sahabat Nu’man bin Basyir berkata, “Aku pernah melihat seorang laki-laki dari kami yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” Maka Al-Hafidzh Ibnu Hajar berkomentar, “Maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shof dan mengisi celah-celahnya.” (Fathul Bar/II/247)

Syaikh Bakar menegaskan, menempelkan lutut dengan lutut sangat sulit dilakukan. Maka, jelaslah bahwa maksudnya adalah anjuran untuk mengisi celah-celah, meluruskan dan mengatur shof, bukannya menempelkan dan melekatkan.

Oleh karena itu, Khottobi Rohimahullahu Ta’ala berkomentar tentang arti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia bertutur: Rasulullah shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bahu-bahunya paling lentur dalam sholat.” (HR. Abu Dawud)

Khothtobi berkomentar yang konteksnya sebagai berikut, “Artinya, selalu tenang dan tumakninah dalam sholat, tanpa menoleh-noleh dan menggosokkan bahunya dengan bahu temannya.”

Kutipan selesai...>>>>>

Maka saya berpendapat:
1. Maksud meluruskan shof dalam sholat bukan merapatkan empat anggota tubuh; leher, bahu, lutut dan mata kaki, karena hal itu mustahil dilakukan.
2. Berdalil dengan Fattaqullaha mas’tathotum adalah untuk hal-hal yang realistis, sebab tidak realistis dan mustahil menempelkan empat anggota tubuh itu.
3. Apabila ada perbedaan dalam memahami hadits yang sama, maka spirit syariah adalah ambil yang termudah.
4. Apakah mungkin Nabi saw memerintahkan sesuatu yang mustahil dilaksanakan? Apakah kita akan terus terbelenggu memahami syariah secara dzahir semata?
5. Adakah yang mempraktekkan itu sekarang? Justru yang banyak orang praktekkan sekarang adalah saling menempelkan pinggir dampal kaki, apakah itu sesuai sunnah? Padahal yang ‘diperintahkan’ adalah ‘menempelkan’ leher, bahu, lutut dan mata kaki.

Semoga bermanfaat bagi orang-orang yang berfikir....