Kalaulah tidak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di akhirat kelak karena membiarkan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam seperti tulisannya bapak Syafii Maarif itu. Sebenarnya hampir-hampir menjemukan menanggapi kegenitan-kegenitan intelektual semacam ini.
Menjemukan karena kita melihat bahwa hal ini bukan lagi konflik ilmiah tapi sudah mengarah kepada konflik ideologi. Atau memang konflik yang terakhir ini yang sebenarnya terjadi dari awal.
Konflik ilmiah dengan bapak Syafii Maarif dan orang-orang yang sehaluan dengannya seringkali berujung tidak ilmiah di pihak mereka. Cirinya adalah; pertama, sebuah konflik yang kemudian berusaha diselesaikan dengan diskusi ilmiah haruslah memiliki standar rujukan yang sama. Masalahnya, saat bicara tentang Islam mereka tidak mau menyepakati standar rujukan utama Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sekalipun kemudian mereka sepakat, cara mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak merujuk kepada standar pemahaman yang sudah baku dan teruji beratus-ratus tahun lamanya. Kecuali mereka kemudian akan melontarkan waham (keraguan-keraguan) terhadap standar-standar tersebut tanpa sedikitpun mereka mampu mengajukan alternatif yang lebih baik dan teruji. Sebagai contoh, mereka melontarkan keraguan terhadap metode tafsir Al-Qur’an para ulama dan mengusung metode hermeneutik sebagai alternatif tafsir Al-Qur’an tanpa mereka mampu memberi bukti bahwa hermeneutik Al-Qur’an mampu memberikan tafsir kepada Al-Qur’an lebih baik atau paling tidak setara dengan metode tafsir para ulama. Begitu hebatnya mereka melecehkan tafsir Al-Qur’an para ulama dan mengagung-agungkan hermeneutik Al-Qur’an, namun hingga saat ini belum ada ‘tafsir’ hermeneutik Al-Qur’an yang mereka buat. Jangankan 30 juz, satu ayat pun mereka tidak mampu menunjukkannya kepada kita. Jelas mereka tidak akan mampu menghadapi tantangan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 23. Bahkan celakanya, mereka juga mereduksi ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan akal fikirannya.
Diskusi yang tidak dilandasi standar pokok yang sama untuk menjadi rujukan saat terjadinya perbedaan pendapat adalah mutlak diperlukan jika ingin disebut ilmiah. Tanpa itu, diskusi dilakukan sesering apapun hanya akan menjadi debat kusir seperti yang selama ini sering terjadi.
Kedua, sebuah diskusi ilmiah haruslah membuat pihak yang keliru hujjah-nya kembali kepada kebenaran yang ditunjukkan oleh pihak yang lain. Selama ini yang terjadi ketika berlangsung diskusi antara kelompok Islam Konfrehensif dengan kelompok Islam Reduksionis (Liberal), saat hujjah-hujjah kelompok Islam reduksionis ini terbantahkan secara ilmiah, tidaklah membuat mereka kembali kepada kebenaran, beristighfar dan bertaubat. Hal ini terjadi mungkin akibat kesalahan dalam niat awal mereka, yaitu bukan untuk mendapatkan kebenaran tetapi untuk mempertanyakan kebenaran. Jika demikian, perbedaan atau konflik apalagi kalau bukan perbedaan ideologis?
Hal pertama kali yang harus dilakukan dalam menyikapi pernyataan atau pertanyaan dari sosok semacam bapak Syafii Maarif adalah tidak boleh kita langsung merasa rendah diri lalu terpukau oleh keindahan-keindahan bahasa dan nunut seperti kerbau dicokok hidung dan merasa diri telah bergabung menjadi bagian dari kelompok hebat yang modern, kreatif, dinamis dan mencerahkan sebagaimana klaim mereka selama ini. Tidak perlu juga terlalu reaktif, sibuk membuat bantahan-bantahan panjang lebar dan bermutu tinggi dengan rujukan-rujukan yang tak terbantahkan. Karena hal itu mungkin tidak akan berlaku efektif selama mereka tidak berdiri di atas standar ilmiah. Kecuali harus memanjatkan doa dengan sepenuh hati dan kesungguhan agar mereka mendapatkan hidayah Allah SWT.
Mungkin bapak Syafii Maarif akan mengatakan, sebuah diskusi disebut ilmiah jika tidak bermuatan ideologi tertentu karena akan subyektif hasilnya. Pertanyaannya adalah, hal apakah di dunia ini sekecil dan sesederhana apapun itu yang tanpa muatan ideologisnya? Seseorang berpendapat tidak mungkin tidak ada unsur ideologis di dalamnya. Apakah itu ideologi Islam, sekuler, pluralis, sosialis, liberal atau bahkan marxis. Dan jelas, tulisan bapak Syafii Maarif dalam resonansi tersebut bermuatan ideologi inklusif pluralis. Jika demikian tulisan tersebut subyektif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Dalam resonansi tersebut baru terdapat dua pertanyaan yang diajukan untuk Muhammadiyah dan NU dari empat pertanyaan yang akan disampaikan bapak Syafii Maarif. Entah apakah sisanya akan dipertanyakan dalam resonansi selanjutnya atau tidak. Sekalipun dalam pertanyaan pertama saja sudah ada empat pertanyaan yang dilontarkan.
Sebagai orang yang diberikan amanah ilmu, sudah seharusnya kita bersikap kritis terhadap istilah-istilah indah yang ternyata bisa menjerumuskan. Bapak Syafii Maarif banyak menaburkan istilah-istilah indah sebagaimana keahliannya dalam resonansi tersebut. Sebut saja istilah pemikiran keislaman kreatif, persaudaraan antar umat, kemanusiaan universal, gagasan Islam yang dinamis dan kreatif, keislaman yang hidup dan menghidupkan, stamina spiritual, maju dalam menalar, dan buritan peradaban. Indah, memukau, menggiurkan bak nasi goreng di tengah malam saat lapar menghebat. Namun, mari kita pertanyakan apa maksud dari istilah-istilah itu, mana wujud bukti dari istilah-istilah tersebut, bagaimana cara mewujudkannya, sudahkah bapak Syafii Maarif sendiri mampu mewujudkannya setidaknya di keluarganya sendiri?
Biarkan dijawab dulu pertanyaan-pertanyaan itu sebelum kita menanggapi tuduhan-tuduhannya. Karena dipastikan jika beliau jelaskan istilah-istilah yang tanpa standar kokoh, tanpa konsep batas, distingsi dan kategorisasi-kategorisasi itu, akan memunculkan puluhan bahkan ratusan pertanyaan susulan dari kita. Jangan biarkan kita terjebak untuk langsung menanggapi tuduhan-tuduhan itu, yang akan membuat kita pontang-panting, sibuk, pucat dan lelah sementara banyak tugas-tugas penting dan lebih bermanfaat menunggu kita. Selain bapak Syafii Maarifnya sendiri mungkin sudah pindah tempat duduk dan memuaskan kembali kegemarannya melontarkan syubuhat kesana kemari.
Paling tidak ada tujuh belas tuduhan yang dilontarkan bapak Syafii Maarif terhadap Muhammadiyah dan NU. Pertama, Muhammadiyah dan NU tidak berada pada jalur pemikiran keislaman kreatif. Artinya Muhammadiyah dan NU tidak kreatif (dungu). Kedua, doktrin ahlussunnah waljamaah yang dianut Muhammadiyah dan NU sempit. Ketiga, doktrin ahlussunnah waljamaah tidak akan dapat membuat Muhammadiyah dan NU menjadi rahmatan lil’alamin. Keempat, doktrin ahlussunnah waljamaah Muhammadiyah dan NU tidak dinamis dan kreatif. Kelima, keislaman Muhammadiyah dan NU dengan doktrinnya itu tidak hidup dan menghidupkan. Keenam, doktrin yang dianut Muhammadiyah dan NU itu tidak mampu berhadapan dengan masalah kekinian. Ketujuh, Muhammadiyah dan NU nyontek doktrin yang sudah dibuat oleh peradaban masa lalu. Kedelapan, Muhammadiyah dan NU telah memberhalakan peradaban masa lalu. Kesembilan, Muhammadiyah dan NU tidak bersikap kritis terhadap peradaban masa lalu. Kesepuluh, Muhammadiyah dan NU belum punya keinginan untuk maju dalam menalar.
Tuduhan kesebelas, peradaban Islam yang dijadikan acuan oleh Muhammadiyah dan NU menyesakkan nafas. Kedua belas, puluhan tahun energi Muhammadiyah dan NU terbuang sia-sia. Ketiga belas, Muhammadiyah dan NU ikut andil dalam terjadinya gesekan dan perpecahan akibat terjun dalam politik kekuasaan. Keempat belas, Sebagian orang Muhammadiyah dan NU bukan intelektual berbakat yang piawai mengatasi hidup dan karirnya. Kelima belas, generasi tua Muhammadiyah dan NU tidak menggembirakan secara kualitas maupun kuantitas. Keenam belas, nasehat dan taujih generasi tua kepada generasi muda Muhammadiyah dan NU tidak perlu ditanggapi kareena akan membuat frustasi, dan ketujuh belas, generasi tua Muhammadiyah dan NU bersiap-siaplah digantikan generasi yang dinamis, kreatif dan hidup versi bapak Syafii Maarif.
Nampak seperti dramatis. Namun inilah sebenarnya jika kita ingin mengetahui maksud sebenarnya dari tulisan bapak Syafii Maarif tersebut. Tentu kader Muhammadiyah dan NU lah, baik generasi tua maupun muda yang lebih berhak membantah tuduhan-tuduhan memilukan tersebut. Saya merasa tidak terlalu berhak untuk menanggapi karena bukan bagian langsung dari gerakan Muhammadiyah dan NU. Saya hanya bagian dari gerakan Islam yang menurut bapak Syafii Maarif tidak mewakili arus besar Islam Indonesia. Namun saran saya, karena masih banyak tugas-tugas umat yang lebih penting dan bermanfaat, tanggapilah tulisan beliau itu saat waktu senggang saja. Siapa tahu beliau sendiri sudah lupa dan sedang menyusun banyak pekerjaan rumah lagi untuk umat. wh
alhamdulillah lega rasa hati ini saat membaca posting sdr.Wildan Hasan,dalam menanggapi pemikiran2 Syafii maarif yg.arahnya 100% pluralisme.sering saya merasa heran,didunia barat kini berbondong bondong mereka masuk islam..e di negri kita para intelektual 2 muslimnya malah buat gagasan2 nyeleneh.Ingat pesan Allah janganlah menjual ayat2 alquran dengan harga yg.murah.saya sering baca muallaf america yg.menangis haru setelah membaca alquran karya A.Yusuf Ali yang terkenal tsb.katanya mengapa tidak sedari dulu saya membaca kitab ini?saya tidak dapat memikirkan 14 abad lalu,jauh dijazirah arab seorang buta aksara dapat menulis sebuah kitab yg.luar biasa.alquran adalah kalamulloh hati2 jgn.sembarangan menafsirkannya.salah sedikit saja effectnya berat karena dapat mebingungkan ummat.saya juga sudah membaca uraian Syafii maarif tentang surat albaqoroh62 dan almaidah 69.yg.kontrofersial tsb.dari nabi Adam sampai nabi muhammad risalah Allah ya islam artinya berserah diri dan taat.untuk anda yg.ingin tau lebih dalam bacalah tafsir ibnu kathir.salut buat sdr.Wildan Hasan.
BalasHapus