1.28.2009

Konsep Ilmu dalam Islam Dari Hijrah hingga Perang Salib

Ilmu dan Hijrah
Saat ini kita berada di awal tahun baru Islam 1430 H. Sebuah kalender umat Islam yang lahir dari momentum suksesnya hijrah Rasulullah saw dan para Sahabat dari Makkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah. Kesuksesan hijrah Rasulullah Saw tidak lepas dari faktor ilmu. Ilmu menjadi faktor penting bukan hanya untuk kesuksesan hijrah Rasulullah, tetapi juga hijrah-hijrah dalam bentuk yang lain. Hijrah dari syirik menuju tauhid, bid’ah menuju sunnah, mafsadat menuju masalahat, dan lain sebagainya.

Imam al-Bukhari menyebutkan bahwa kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu “al-Ilmu qobla al-Qaul wa al-‘Amal.” Hal inilah yang kemudian tersirat dalam surah al-‘Alaq ayat pertama “Iqra’ bismi Rabbika al-ladzi Kholaq” bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Sebagai wahyu pertama yang diturunkan, sangat jelas bahwa kewajiban pertama dan paling utama umat Islam sebelum berkata dan beramal adalah berilmu (Iqra’).
Ilmu sangat berkaitan dengan aktifitas membaca dan tulis menulis. Al-Qur’an - sebagai cahaya dan petunjuk - diturunkan kepada Nabi yang Ummi. Kendati seorang yang ummi, ayat yang pertama menyeru Rasulullah saw. Adalah,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.”(QS. Al-‘Alaq: 1-4)
Aktifitas membaca dapat dibagi dalam dua pengertian. Pertama, Iqra Qur’aniyah (membaca al-Qur’an). Iqra Qur’aniyah adalah pembacaan, penghafalan, pendalaman, pengertian dan pengamalan al-Qur’an. Kedua, Iqra kauniyah (pembacaan alam semesta). Iqra Kauniyah adalah pembacaan manusia terhadap alam semesta dalam setiap jenis dan bentuk apapun. Seseorang yang mampu membaca alam, mengambil hikmah, ibrah dan manfaat dari alam untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin serta mendapatkan ridha Allah swt pada hakikatnya adalah seorang Ulama (orang yang berilmu). Jadi, predikat Ulama tidak hanya terbatas pada seseorang yang lazim dikenal sebagai Ustadz, Kyai, Habib ataupun Syekh. Tetapi pada setiap orang yang dari bacaannya terhadap al-Qur’an ataupun alam semesta membuat dirinya takut dan makin bertakwa kepada Allah swt. Allah berfirman;

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(QS. Faathir: 28)
Betapa pentingnya posisi ilmu dalam Islam ditunjukkan melalui konsepnya yang jelas. Bahwa ilmu dalam Islam harus melalui proses pencarian yang benar, berdasar, sistematis, analitif, komprehensif, dan evaluatif. Tidak boleh mengambil suatu pendapat tanpa terlebih dahulu diperiksa sumber dan kebenarannya. Oleh karena itu di dalam Islam terdapat konsep Ittiba’, konsep ini mengharuskan adanya proses cek dan re-cek (tabayyun) terhadap setiap informasi yang datang kepada sumber aslinya. Menurut kaidah Ushul Fiqih yang disepakati para ulama konsep ini diartikan;
اَْلاتباع هو قبول قا ؤل القا ؤل وانت تعلم حخته
“Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang dan anda mengetahui dasar (dalil) nya.”
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan dari jabir ra., ia berkata: “Kami pernah duduk-duduk di rumah Rasulullah saw., beliau membuat garis di telapak tangan dengan tangannya – begini – dan bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Beliau lalu membuat dua garis di sebelah kanan garis tadi, dua garis lagi di sebelah kirinya, dan bersabda, “Garsi-garis ini adalah garis setan.” Kemudian beliau meletakkan tangannya pada garis yang berada di tengah dan membaca ayat;

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”(QS. Al-An’am: 153)
Dari ayat di atas Allah swt menegaskan bahwa dasar beragama adalah ilmu. Penggunaan kalimat fattabi'uhudalam ayat tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat menempuh jalan Allah yang lurus itu tiada cara lain kecuali dengan ilmu. Beragama dengan ilmu adalah hal yang mutlak adanya, tidak bisa tidak. Karena jika seseorang melakukan amalan agama tanpa ilmu, khusus maupun umum, sekalipun amalan itu adalah ibadah maka akan terjadi kekeliruan.
Kemudian Penggunaan kalimat sabilihdalam bentuk mufrad (tunggal) menunjukkan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah (Islam). Sementara penggunaan kalimat subuldalam bentuk jama’ (plural) menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak dan beraneka ragam. Karena sesungguhnya setan menggoda manusia dari segala arah; depan, belakang, kanan dan kiri.
Aqidah sahihah sebagai fondasi dasar keIslaman seseorang harus dijaga dan terus dipupuk dengan ilmu. Jika ilmunya benar maka aqidah akan benar. Sebaliknya jika ilmunya keliru maka dapat dibayangkan akan seperti apa kerusakan kata dan amal seseorang. Oleh karena itu kemunkaran terbesar dalam Islam adalah kemunkaran di bidang pokok-pokok agama (aqidah). Kemunkaran ini berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam.
Sebagai contoh, dosa orang yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu lebih besar daripada orang yang meninggalkannya karena malas. Atau dosa orang yang menyatakan ayat-ayat al-Qur’an tidak valid lebih besar dosanya daripada orang yang meninggalkan ayat Allah karena malas. Dari sisi ini kemunkaran terbagi dua: Pertama, kemunkaran yang diakibatkan oleh ketiadaan ilmu (kebodohan). Kemunkaran jenis ini mudah diatasi dengan memberikan nasehat dan pengajaran. Kedua, kemunkaran yang diakibatkan oleh ilmu yang keliru. Kemunkaran ini sangat berat, karena seringkali orang yang berkata dan beramal dengan ilmu yang keliru meyakini kebenaran ilmunya.
Sebagaimana firman Allah swt:

“Katakanlah, akankah kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103-104)
Selain, jika ia adalah seorang pemimpin atau panutan umat, kata dan amalnya akan diikuti, lalu merebaklah kerusakan di tengah-tengah umat. Jadi ilmu yang keliru akan mengakibatkan kata dan amal yang keliru, kata dan amal tokoh umat yang keliru akan mengakibatkan umat yang keliru (rusak) pula.
Maka begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam sebagai pewaris para Nabi. Sampai Rasulullah Saw mengatakan:
“Bahwasanya Allah swt. Tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilihi orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Muslim).
Ilmu juga adalah ajaran yang pertama kali diajarkan Allah kepada manusia pertama Adam ‘alaihi salam dan menjadi tradisi para Nabi.

Allah swt Berfirman:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31)
Ilmulah yang menundukkan para Malaikat, kecuali Iblis yang memakai ilmu keliru sehingga sesat dan menyesatkan. Betapa pentingnya ilmu dalam Islam sehingga di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah bertebaran keterangan yang mengharuskan kita berilmu dan keunggulan orang-orang yang berilmu.
Dengan ilmu, umat Islam menguasai peradaban dunia lebih dari 800 tahun. Ilmu yang benar karena tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu yang lahir dari harapan atas ridla Allah (bismi Rabbika al-Ladzi khalaq). Sehingga melahirkan Peradaban yang memberikan cahaya pencerahan dan kebangkitan umat yang lain dari kebodohan dan keterbelakangan. Lain halnya ilmu yang dimiliki kaum Kuffar (Barat), ilmu yang mereka miliki tidak melahirkan kebaikan dan kemaslahatan, justru kehancuran dan kebatilan karena basis ilmu mereka bukan bismi Rabbika al-Ladzi Khalaq.
Ilmu menurut para Ulama
Wajib bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu. Ilmu bila dimutlakkan dan datang nash-nash yang menjelaskan pujian dan keutamaannya, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Imam asy-Syafi’i Rahimahullahu ta’ala berkata, “Tidak ada satupun yang lebih utama setelah menunaikan kewajiban selain menuntut ilmu.”
Berkata Imam Ahmad Rahimahullahu ta’ala, “Manusia lebih butuh ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang butuh makan dan minum sekali atau dua kali dalam sehari, tetapi kebutuhannya terhadap ilmu sepanjang hayatnya.”
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullahu ta’ala: “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Ilmu yang berfaidah untuk mengetahui kewajiban seorang hamba berupa perkara agama, baik dalam ibadah maupun pergaulannya sehari-hari. Ilmu yang berbicara tentang Allah, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, ilmu yang demikian berkisar pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih.”
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin Rahimahullahu ta’ala berkata: “Dan yang menjadi perhatian kita tentang ilmu adalah ilmu syar’i yaitu ilmu yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia berupa penjelasan dan petunjuk. Ilmu yang di dalamnya terdapat pujian dan sanjungan dan itu hanya ada pada ilmu wahyu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah akan faqihkan dia dalam agama.” Nabi saw juga bersabda: “Ulama adalah pewaris para Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu maka barangsiapa yang mengambilnya sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” Dan telah diketahui bersama bahwa warisan para Nabi adalah ilmu syar’i tidak ada yang lain.”
Keutamaan ilmu
Sungguh Allah telah memuji ilmu dan pemiliknya serta menganjurkan para hamba-Nya agar berbekal dengan ilmu, di antara keutamaan ilmu adalah :
1. Allah mengangkat derajat ahli ilmu

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujaadilah: 11)

2. Orang yang bodoh dan berilmu tidak sama

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) “

3. Persaksian Allah untuk orang yang berilmu
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali-Imran: 18)
4. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu

"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha: 114)

5. Ahli ilmu orang yang takut kepada Allah

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(QS. Faathir: 28)
6. Faqih dalam agama termasuk tanda kebaikan

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan faqihkan ia dalam agama-Nya.”(HR. Bukhari 71, Muslim 1037).

7. Orang berilmu lebih utama dari ahli ibadah

Rasulullah saw bersabda:
“ Orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di dalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah bagaikan bulan purnama atas seluruh bintang.” (HR. Abu Dawud 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu Majah 223, Ahmad 5/196).

8. Menuntut ilmu jalan menuju surga

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim 2699, Abu Dawud 3643, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 225, Darimi 1/99).

9. Penuntut ilmu bagaikan mujahid

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang masuk masjid kami untuk belajar dan mengajarkan maka ia seperti seorang mujahid di jalan Allah.”(HR. Ibnu Majah 227, Ahmad 2/350, Hakim 1/91, Ibnu Hibban 87, Ibnu Abi Syaibah 12/209).

10. Ilmu adalah pahala yang tidak terputus
Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seorang anak Adam meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara; Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”(HR. Muslim 1631).

Ilmu dan Pendidikan kontemporer
Problem pendidikan saat ini adalah terpolarisasinya ilmu ke dalam dua kubu, ilmu-ilmu umum dan agama. Hal itu kemudian menyebabkan terbaginya institusi pendidikan menjadi dua kubu pula; di bawah Departemen Agama (DEPAG) dan di bawah Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Pendidikan di bawah DEPAG seperti, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sedangkan di bawah DEPDIKNAS seperti, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Munculnya upaya-upaya penyatuan antar keduanya sudah lama muncul. Sebagai misal munculnya Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) dan ditingkat PTN ada Universitas Islam Negeri (UIN) dan lain sebagainya adalah buah dari kegelisahan banyak kalangan atas jarak yang sangat jauh antara pendidikan agama dan umum.
Namun demikian, bukan berarti permasalahan terobati dan selesai sampai di situ, bahkan muncul problem-problem yang semakin rumit. Di sekolah-sekolah Islam terpadu, misalkan, konsep keilmuan yang terintegralistik kurang terbangun secara benar dan konseptual, justru yang ditekankan hanya semangat beribadah dan praktikal saja. Akibatnya, dan ini persoalan paling serius, ilmu-ilmu Islam terseret kepada paradigma Barat, sadar atau tidak.
Konsep-konsep ilmu secara menyeluruh didominasi oleh cara pandang sekuler. Banyak kita menyaksikan sekolah-sekolah Islam terpadu mengajarkan ilmu-ilmu Islam tapi kehilangan ruhnya. Akibatnya aqidah dan akhlak siswa tidak beda dengan siswa yang belajar di sekolah non-Islam Terpadu.
Begitu pula cara pandang mereka terhadap ilmu umum. Mereka tidak melihat bahwa ilmu umum juga adalah bagian dari Islam, yang merupakan kewajiban agama untuk mempelajarinya dan bernilai ibadah tinggi. Tidak terlihat motivasi bahwa belajar mereka adalah demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Atau bahkan, materi pelajaran umum di sekolahnya tidak berusaha di-Islamisasikan oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Problem lain terdapat di Perguruan Tinggi Islam, selain sudah terbaratkan, jurusan-jurusan keagamaan semakin tidak diminati, karena arah dan tujuan belajar di sana sudah terorientasikan untuk dunia kerja. Padahal lapangan kerja untuk jurusan agama nyaris tidak ada. Tak bisa dipungkiri bahwa itulah penyebab utama mengapa jurusan-jurusan agama tidak diminati, bahkan hanya menjadi pelarian manakala calon siswa gagal dalam tes di jurusan-jurusan umum.
Menurut Imam Al Ghazali, semestinya institusi pendidikan Islam tidak membagi ilmu itu kepada umum dan agama, tapi kepada fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain berkaitan dengan asas-asas Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap individu muslim seperti rukun iman (Tauhid), rukun Islam dan menjauhi hal-hal yang jelas keharamannya. Sedangkan fardhu kifayah menurut Al Ghazali berkaitan dengan ilmu-ilmu syariah dan non syariah. Ilmu syariah ialah ilmu yang diperoleh dari nabi saw dan ilmu non syariah ialah ilmu-ilmu terpuji, yaitu ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan duniawi dan kemaslahatan umat seperti kedokteran, militer, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.
Selama ini kita menganggap bahwa fardhu kifayah hanya sebatas mengurusi jenazah saja. Padahal hakikat fardhu kifayah terus meluas, setiap kemajuan dunia yang sesuai dengan syariat menjadi fardhu kifayah untuk umat Islam. Fardhu kifayah itu sendiri artinya perkara wajib yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban yang lain terhadap kewajiban tersebut. Artinya di antara umat Islam harus ada yang ahli dibidang politik, medis, militer, hukum dan ekonomi.
Sehingga dengan konsep seperti ini para pengajar dituntut memahami ilmu fardhu ‘ain, selain spesialisasinya. Begitu pula pelajar harus memahami ilmu fardhu ‘ain, selain ilmu yang menjadi favoritnya. Dengan cara seperti ini, mempelajari agama, terutama yang fardhu ‘ain, tidak lagi dipandang sebelah mata, yang tidak menjanjikan lapangan kerja, karena ia akan dipelajari sebelum belajar yang lainnya oleh setiap penuntut ilmu.
Pendidikan Islam Integral
Menurut Dr. Hasan Langgulung (1995) pendidikan Islam mempunyai dua maksud; Yaitu pendidikan Islam umum dan pendidikan Islam khusus. Pendidikan Islam umum ialah pendidikan yang diberikan kepada orang Islam dalam semua keadaan seperti di sekolah, rumah, masjid, kantin, tempat bermain, kendaraan. Saat mandi, makan, minum, bermain, tidur, bekerja dan lain sebagainya. Termasuk juga di bidang politik, hukum, budaya, sosial, kedokteran, perdagangan, militer dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan Islam khusus ialah mata pelajaran sekolah, yaitu Tauhid, tafsir, hadits, akhlak dan lain sebagainya.
Maka bila disebutkan pendidikan Islam, bukan hanya mata pelajaran agama di sekolah. Tetapi memiliki arti luas, yaitu segala usaha mendidik orang Islam menjadi mu’min dan muttaqin. Pendidikan seperti ini harus dilakukan oleh setiap individu muslim secara sinergis dalam konsep amar ma’ruf dan nahyi munkar. Maka insya Allah dengan konsep ini tidak akan ada lagi orang tua siswa yang mengeluhkan kelemahan aqidah, akhlak, cara hidup dan cara pandang anaknya yang menjadi siswa di sekolah Islam terpadu.

Al-Ghazali dan Perang Salib
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Rahimahullahu ta’ala (450/1058-505/1111) yang hidup semasa perang Salib menyusun kitab Ihya ‘Ulumuddin. Beliau membuka kitabnya dengan “kitabul ‘Ilmi”. Perang Salib fase awal betul-betul menghancurkan peradaban Islam waktu itu. Umat Islam terkejut akan kekalahan tersebut dan alangkah sulitnya untuk bangkit dari kekalahan. Kenapa bisa kalah setelah 800 tahun digjaya? Ternyata faktor utama kekalahan bukan karena jumlah yang sedikit, kekayaan yang minim dan persenjataan yang kadaluarsa. Tetapi moral dan spiritual yang hangus tergerus jaman dan kemewahan dunia. Penyakit wahn cinta dunia takut mati menghinggapi hampir secara permanen individu-individu muslim saat itu. Umat meninggalkan ‘Ulumuddin (ilmu-ilmu agama/al-Qur’an dan as-Sunnah) yang selama ini telah menjadi penopang kejayaan mereka.
Al-Ghazali mampu melihat persoalan waktu itu secara menyeluruh bahwa permasalahan umat tidak dapat dituntaskan dengan politik dan ekonomi semata. Al-Ghazali membangkitkan semangat jihad dengan mengajak umat untuk kembali mempelajari dan mengamalkan syariat sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka beliau menamai kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Perang Salib jilid dua saat ini di Palestina (Jerusalem), tidak hanya dapat diselesaikan dengan usaha-usaha politis dan ekonomi. Namun yang terpenting adalah berawal dari penyadaran umat akan pentingnya berhijrah untuk berilmu dan segera mengamalkan syari’at untuk terwujudnya umat yang berilmu dan melakukan pembelaan terhadap Palestina secara komprehensif. Tanpa berarti berkurang dukungan kita terhadap saudara-saudara kita yang sedang dan akan berangkat berjihad fi sabilillah menjemput syahid yang dicita-citakan. wh
Wallahu A’lam bish Showab

1 komentar:

  1. artikel yg bgs. Umat islam skrg justru memang lupa akan titelnya sbg penegak syariah. sangat wajar jika kita kalah cemerlang dari para sahabat dan pemimpin islam dahulu. islam membutuhkan seorang pemimpin baru yg dapat mengembalikan kejayaan islam dan membawa cahaya baru di bumi ini.

    BalasHapus