12.20.2009

Pak Kyai, What do you want?

Renungan sederhana atas refleksi KH. Hasyim Muzadi

Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menuliskan refleksinya tentang Hijrah di kolom refleksi harian Republika (20/12/2009) berjudul ‘Hijrah yang Mengajarkan Toleransi’. Penulis biasanya merasa nyaman-nyaman saja dengan tulisan-tulisan beliau selama ini. Namun untuk tulisan beliau terakhir ini penulis merasa agak terganggu oleh citarasa liberal yang terkandung di dalamnya.

Pak Kyai bertutur tentang sosok Raja Najasyi penguasa Abisinia (Habasyah atau Ethiopia). Beliau gambarkan Raja Najasyi sebagai non Muslim yang toleran, pelindung ‘keselamatan’ sebuah kepercayaan sama artinya dengan melindungi hak asasi manusia. Sampai sebatas ini tidak ada masalah. Namun bermasalah ketika hal itu dijadikan justifikasi general oleh pak Kyai bahwa konsep rahmatan lil ‘alamin dalam Islam adalah saling memberikan perlindungan, berbagi ketenangan, serta menyemaikan rasa aman kepada dan oleh umat berbeda keyakinan. Beliau simpulkan dengan istilah, toleransi.

Menurut hemat penulis, pada dasarnya toleransi dalam Islam sudah selesai, artinya Islam telah secara konseptual dan faktual mengamalkan toleransi dalam sejarah peradaban dunia yang tiada bandingannya. Adalah ahistoris bagi para pemimpin umat yang tidak kenal bagaimana begitu luar biasa tolerannya Islam dan kaum muslimin sepanjang sejarah kehidupan manusia pasca Rasulullah saw diutus.

Problem dalam tulisan pak Kyai adalah, pengamputasian konsep Da’wah. Sekalipun mungkin beliau tidak bermaksud demikian. Penulis hanya khawatir sebagian pembaca tergelincir dalam memahami tulisan beliau itu. Seolah-olah beliau menganggap da’wah mengajak umat lain kepada keyakinan Islam adalah tidak toleran. Bahwa tidak bisa dipungkiri perbedaan keyakinan seringkali menimbulkan konflik antar pemeluk agama yang berbeda. Namun itu kemudian tidak bisa dijadikan legimitasi bahwa terlarang menyiarkan agama kepada umat yang beragama lain.

Termasuk peraturan pemerintah yang melarang menyiarkan agama kepada umat yang sudah beragama, merupakan pelanggaran terhadap syariah. Oleh karena itulah umat Kristiani sampai saat ini tidak mau mematuhi diktum tersebut, karena dalam ajaran mereka juga terdapat kewajiban untuk berda’wah. Sementara kita dipaksa untuk mematuhinya sambil menyaksikan satu demi satu saudara-saudara kita dimurtadkan.

Sebagai ajaran yang penuh toleransi tanpa mengorbankan akidah dan nilai-nilai Islami, dan dalam saat yang sama berpaling/menampakkan tanda-tanda tidak menyetujui sikap lawan-lawan Islam yang melecehkan itu. Ini antara lain dapat dipahami dari firman Allah: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orangorang yang musyrik” (QS. al-Hijr [15]: 94). Juga firman-Nya: “Jadilah pemaaf/ambillah yang mudah, suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang jahil” (QS. al-A‘râf [7]: 199).

Perlu dipahami bersama bahwa Raja Najasyi adalah seorang Nashrani yang masih lurus pada zamannya sebagaimana pamannya siti Khadijah. Ra, Waraqah bin Naufal. Oleh karena itu keduanya melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Raja Najasyi melindungi para sahabat Rasulullah saw, kemudian dirinya masuk Islam dan Waraqah bin Naufal menyatakan akan ikut mendampingi Nabi saw. Saat beliau nantinya diusir oleh kaumnya sendiri. Maka tepat sekali kutipan ayat yang disebutkan oleh pak Kyai dalam surat Al-Maidah ayat 82 tersebut. Termasuk juga ayat berikut;

“Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (Ali Imran: 199)

Ayat yang dikutip pak Kyai selengkapnya adalah;

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al Maidah: 82)

Dalam ayat ini justru diawali oleh peringatan Allah swt agar kita waspada dan berhati-hati terhadap Yahudi dan orang-orang musyrik (Nashrani disebut musyrik karena telah menyekutukan Allah swt).

Dengan demikian jelas kita tidak boleh terlena, karena Allah memperingatkan kita akan Nashrani yang jahat dalam banyak ayat-Nya seperti;

“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al baqarah: 105)

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al- Baqarah: 109)

“Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik". (Al Baqarah: 135)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah: 57) Dan masih banyak puluhan ayat yang lain.

Penulis menghargai apa yang telah dilakukan PBNU dengan mengadakan Konferensi Persaudaran Muslim Dunia akhir pekan lalu (termasuk kalangan Syi’ah?) ataupun kegiatan-kegiatan semacam interfaith dan lain-lain. Namun sangat jelas PBNU membawa amanah warga NU bahwa perjuangan membela dan memelihara aqidah Islam adalah the best priority.

Penulis tidak bermaksud mengobarkan api permusuhan, karena itu memang tidak diajarkan oleh agama kita. Penulis hanya menginginkan kita berlaku adil dalam berwacana. Terlebih berbicara hak asasi manusia, yang disebut oleh pak Kyai implementasinya adalah melindungi ‘keselamatan’ sebuah kepercayaan. Beruntung pak Kyai memberikan tanda petik pada kata ‘keselamatan’. Artinya beliau memahami bahwa keselamatan hanya ada pada Islam tidak pada agama yang lain. Namun hal ini menjadi bias oleh keterangan beliau yang agak berbelit-belit hanya untuk sekedar men-sahkan nalar moderatisme NU versi beliau.

Dan diskusi tentang hak asasi manusia memang tidak akan ada habisnya. Penulis secara sederhana memahami bahwa Islam adalah agama fitrah (manusiawi), maka barangsiapa yang ingin hak asasi manusianya terlindungi dan dihargai hendaklah ia menjadi muslim.

InsyAllah bersambung…

12.12.2009

Pemikiran Dan Kiprah Pendidikan KH. Abdul Halim (1887 – 1962)

KH. Abdul Halim lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 4 Syawal 1304/26 Juni 1887-Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, 1381 H/1962 M). Ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan, yang memiliki corak khas di masanya. Nama aslinya adalah Otong Syatori. Kemudian setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama KH. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH. Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).

Ia mendapat pendidikan agama sejak kecil. Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang Kyai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun. Kyai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa Kyai yang menjadi gurunya, antara lain KH. Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Panjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka; KH. Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon; KH. Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan; KH. Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah; kemudian kembali lagi ke Pesantren Ciwedus. Di sela-sela kehidupan pesantren, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya memperbaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi.

Pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mempelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911 M ia kembali ke Indonesia.

Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun dalam negeri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.

Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).

Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.

Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub”. Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial. Dalam persaingan itu, seringkali terjadi perang mulut dan perkelahian fisik antara anggota Hayatul Qulub dengan pedagang Cina. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani.

Salah satu pemikiran penting K.H. Abdul Halim,dalam kapasitasnya sebagai ulama, adalah bagaimana membina keselamatan dan kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).

Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya terus berjalan.

Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Sistem pendidikan berkelas dengan lama belajar lima tahun. Sekolah ini mula-mula mendapat kritikan dari ulama setempat namun kemudian mendapat sambutan baik. Murid-murid datang bukan hanya dari Majalengka tetapi juga dari Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Tegal. Lulusannya kemudian mendirikan madrasah di tempat asalnya. Untuk menjaga mutu pendidikan, K.H. Abdul Halim mengadakan hubungan dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.

Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.

Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Santi Asromo (artinya tempat pendidikan yang sunyi dan damai), pelopor pesantren modern yang mencetak santri plus, yang saat itu belum terpikirkan orang. Nama santi asromo diambil dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang artinya tempat yang sunyi, dan damai. Pesantren ini merupakan tindaklanjut dari Hasil Kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan “Abdul Halim“ terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu. Di samping itu, pendirian pesantren ini pun didorong oleh kenyataan banyaknya orang pribumi yang sulit mengecap pendidikan di sekolah-sekolah. Pesantren Santi Asromo termasuk pembaru kurikulum pesantren, karena sejak didirikan, telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan pelajaran agama.

Inilah pucak pemikiran K.H. Abdul Halim di bidang pendidikan. Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga diberi pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib tinggal di asrama selama 5 sampai 10 tahun. Pendidikan yang menekankan tiga unsur yaitu akhlak, sosial, dan ekonomi ini ternyata banyak menarik minat masyarakat. Para dermawan pun mengalir memberi dukungan. Santri yang dihasilkan adalah santri lengkap yang memiliki bekal agama, ilmu pengetahuan, dan keterampilan. Sebelumnya juga telah didirikanlah Kweekschool PO untuk mencetak tenaga guru. Pada 1932, nama sekolah diubah menjadi Madrasah Darul Ulum.

Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.

Selain aktivitasnya membina organisasi PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk salah seorang anggota Badap Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan.

Pada tahun 1940, ia bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.

Pada masa perang kemerdekaan, K.H. Abdul Halim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan kemerdekaan dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. K.H. Abdul Halim langsung memimpin anak buahnya menghadang gerakan militer Belanda (NICA). Pada waktu itulah ia diangkat menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka dan memimpin rakyat melawan NICA. Lokasi Santi Asromo, dianggap NICA sebagai pusat pertahanan TNI dan lasykar sehingga sebagian hancur karena dibom NICA. K.H. Abdul Halim ditangkap Belanda, juga anak dan menantunya. Namun K.H. Abdul Halim tidak mau menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan berhasil lepas. K.H. Abdul Halim juga menentang gerakan Haji Sarip yang mendukung Belanda. K.H. Abdul Halim yang antigerakan separatis dari NKRI, kemudian diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasundan hasil rekayasa Van Mook.

Setelah perang kemerdekaan usai, dan negara aman, perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan kembali. Pada tahun 1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), meskipun K.H. Ahmad Sanusi, sahabatnya, sudah wafat waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada 5 April 1952, di Bogor. Hasil fusi lahirlah Persatuan Ummat Islam (PUI) dan K.H. Abdul Halim terpilih sebagai Ketua.

Sejak 1951, K.H. Abdul Halim terpilih sebagai Anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan tahun 1956 diangkat menjadi Anggota Konstituante. K.H. Abdul Halim aktif sebagai wartawan pula dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara P.O., majalah As-Sjuro, majalah Pelita serta mengisi kolom "Roeangan Hadis" di majalah Soeara MIAI. Selain itu, ia menulis sembilan buku. Dalam buku-bukunya, K.H. Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh toleransi, menganjurkan menjunjung tinggi akidah dan ahlak masyarakat dan tidak menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat . Pada tahun-tahun berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan K.H. Abdul Halim semakin menurun, dan pada 17 Mei 1962, ia meninggal dunia di Santi Asromo.

Mengenai pemikiran dan karyanya; Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;

1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
4. Da’watul Amal
5. Tarikh Islam
6. Neraca Hidup
7. Risalah
8. Ijtimaiyah Wailajuha
9. Kitab Tafsir Tabarok
10. Kitab 262 Hadits Indonesia
11. Babul Rizqi, dll.

Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu
1. Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).

Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan di situ, ia menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan Ulama.

Di dalam tulisa-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.
Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsepp al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam.

Berdasarkan pengertian ini, Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitanhnya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdul Halim: 1938). Makanya, menurut Abdul Halim antara ke dua macam kehidupan tersebut, terhadap hubungan kausalitas (timbal-balik).

Selanjutnya, pemikiran-pemikiran ini, membawa Abdul Halim kepada 3 kesimpulan, yang kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Baik mengenai konsep keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan yaitu; Konsep al-Salam, Konsep Santi Asromo dan Konsep Santri Lucu (santri yang terampil)

12.01.2009

Islam (Tidak) Anti Kekerasan

Seringkali kita mendengar ungkapan bahwa Islam anti kekerasan, seiring terjadinya berbagai aksi pengeboman akhir-akhir ini di tanah air yang entah kenapa dituduhkan kepada Islam. Islam anti kekerasan adalah sebuah ungkapan apologetik yang menyesatkan saat dijadikan pembelaan bahwa Islam sebagai way of life tidak mengajarkan kekerasan. Benarkah?

Keras atau kekerasan itu sifatnya fithriyyah (manusiawi) sebagaimana lembut juga adalah fitrah. Hal yang menjadi tabiat dasar manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihilangkan melainkan harus diarahkan dan diberdayakan untuk tujuan kebajikan.

Oleh karena kekerasan adalah manusiawi, maka barangsiapa yang melarang seseorang berbuat kekerasan maka telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan tidak lagi manusiawi ketika dilakukan secara berlebihan, sebagaimana juga dengan kelembutan atau kedamaian.

Di dalam Islam ‘berlebihan’ dikenal dengan istilah tatharruf. Tatharruf adalah setiap aktifitas yang dilakukan tidak sesuai dengan proporsinya. Dalam literatur fikih Islam seringkali terdapat penggunaan kalimat ifrath dan tafrith yaitu upaya berlebihan dalam bermudah-mudah dan berlebihan dalam mempersulit.

Islam adalah agama yang proporsional tidak berat sebelah dan sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan, sehingga Islam disebut juga agama fitrah. Artinya jika seseorang tidak berislam berarti ia melawaan hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian ‘berlebihan’ bertentangan dengan ruh agama, berlebihan sering dibahasakan dengan istilah ekstrim. Ekstrimisme inilah yang dalam bahasa Islam disebut dengan tatharruf.

Setiap hal yang berlebihan atau ekstrim pasti tidak baik, termasuk dalam persoalan-persoalan kebaikan sekalipun. Sebagai contoh, kecintaan kita kepada Allah harus proporsional sesuai dengan yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, jika tidak, bisa jadi kita menggambarkan Allah sebagai sosok konkrit yang real ada di hadapan kita. Maka jadilah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Rasulullah saw diutus.

Oleh karena itu Allah swt sangat tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, sebagaimana yang ditegaskan-Nya dalam banyak ayat al-Qur’an. Diantaranya:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Oleh karena itu problemnya bukan pada persoalan kekerasannya. Tapi pada penempatan kekerasan tersebut. Sebagai agama fitrah, Islam jelas mengadopsi ‘kekerasan’ sebagai salah satu manhaj dakwah. Namun Islam menempatkan kekerasan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab secara manusiawi, tidak semua persoalan kehidupan hanya bisa diselesaikan oleh kelembutan semata.

Kekerasan fisik yang salah satu bentuknya adalah perang (qital) diakui secara syar’i oleh Islam sebagai hukum qhat’i dengan bertebarannya ayat maupun hadits yang melegitimasinya.

Islam sebagai agama beradab sangat menghormati fitrah manusia saat mengakomodir ‘kekerasan’ yang dengan secara ketat melakukan pembatasan-pembatsan demi penghormatan terhadap hak asasi manusia tersebut.

Dalam peperangan, Islam melarang umatnya untuk; menyerang kalau tidak diserang, membunuh perempuan dan anak-anak, membunuh yang sedang beribadah, merusak pepohonan, tempat-tempat ibadah, fasilitas umum dan mencincang mayat. Islam juga mengharuskan sebelum terjadi peperangan terlebih dahulu ditawarkan kepada pihak musuh 3 hal; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) atau berperang. Dan Islam sangat menekankan untuk lebih berharap perdamaian daripada terjadinya peperangan saat 3 tawaran itu diajukan.

Itulah yang dimaksud bahwa Allah tidak menyukai hal-hal yang berlebihan sekalipun dalam situasi peperangan. Maka jika perang dalam Islam dikaitkan dengan kekerasan sebagai aktifitas yang abnormal, biadab, barbar dan destruktif. Lalu apakah kita juga akan menyebut Rasulullah saw dan para sahabat sebagai bidab dan barbar disebabkan melakukan peperangan?

Padahal sejarah dunia mencatat, Rasulullah saw menegur sahabatnya yang membunuh musuh saat mengucapkan syahadat, jenderal besar Khalid bin Walid membiarkan kemahnya tidak dibongkar saat peperangan karena diatasnya ada burung yang sedang bersarang dan penunggang kuda ulung sahabat Rasulullah saw bernama Abu Qotadah memberikan air wudhunya ketika seekor kucing menghampiri berharap minum.

Di luar itu semua ada sebuah adagium di antara para ahli sejarah dan politikus dunia bahwa seringkali peperangan dibutuhkan untuk mencapai kedamaian. Tidak akan ada perdamaian jika tidak ada peperangan hehe…

Sebagai perbandingan, jika hanya Islam yang dituduh pelaku ‘kekerasan’. Anda buka-bukalah catatan sejarah kelam Yahudi dan Kristen, niscaya bulu kuduk anda akan merinding seolah bukan manusia yang melakukan keganasan itu semua melainkan segerobolan serigala lapar dalam setiap babak sejarahnya. Sampai abad yang diklaim sebagai abad modern, abad milik mereka ini, siapakah yang saat ini sangat hoby berperang dan menumpahkan darah?

Adapun teks-teks syariat yang dijadikan legitimasi perang (jihad) tidak pada tempatnya, pelakunya adalah oknum. Oknum akan senatiasa ada pada setiap agama dan kelompok masyarakat. Sehingga ekstrimitas dalam Islam tidak bisa dipakai untuk menjudge bahwa Islam agama yang keliru, terlebih jika yang dipersalahkan adalah konsep jihad dalam Islam.

Terkait hal itu, jika dilihat melalui perspektif teori konspirasi terlihat jelas bahwa gembar-gembor ungkapan Islam anti kekerasan diproduksi oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan konsep jihad dalam Islam tereduksi atau paling tidak ada reinterpretasi yang menurut mereka lebih lembut dan damai.

Ala kulli hal, kita tahu betul bahwa JIHAD adalah syariat Islam yang paling ditakuti oleh msuh-musuhnya. Perjalanan sejarah membuktikan, mereka tidak pernah menang melawan jihadnya umat Islam. Jihad dipersepsikan sebagai kejahatan karena mengandung ‘kekerasan’ sehingga diharap umat Islam mengenyampingkan JIHAD sebagai sesuatu yang diwajibkan. Dan menanglah mereka tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga….

Maka dalam arti yang sebenarnya, ISLAM (TIDAK) ANTI KEKERASAN.