1.30.2009

Ayat-Ayat 'Cinta' Zionis

“Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non Yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang.” (Kerithuth 6b hal.78, Jebhammoth 61a)

“Orang-orang non-Yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang Yahudi.” (Midrasch Talpioth 225)

“Angka kelahiran orang-orang non-Yahudi harus ditekan sekecil mungkin.” (Zohar II, 4b)

“Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57, 6a)

“Tuhan (Yahweh) tidak pernah marah kepada orang-orang Yahudi, melainkan hanya (marah) kepada orang-orang non-Yahudi.” (Talmud IV/8/4a)

“Di mana saja mereka (orang-orang Yahudi) datang, mereka akan menjadi pangeran raja-raja.” (Sanhedrin 104a)

“Terhadap seorang non Yahudi tidak menjadikan orang Yahudi berzina. Bisa terkena hukuman bagi orang Yahudi hanya bila berzina dengan Yahudi lainnya, yaitu isteri seorang Yahudi. Isteri non-Yahudi tidak termasuk.” (Talmud IV/4/52b)

non jewish is not human
“Tidak ada isteri bagi non-Yahudi, mereka sesungguhnya bukan isterinya.” (Talmud IV/4/81 dan 82ab)

“Orang-orang Yahudi harus selalu berusaha untuk menipudaya orang-orang non-Yahudi.” (Zohar I, 168a)

“Jika dua orang Yahudi menipu orang non-Yahudi, mereka harus membagi keuntungannya.” (Choschen Ham 183, 7)

“Tetaplah terus berjual beli dengan orang-orang non-Yahudi, jika mereka harus membayar uang untuk itu.” (Abhodah Zarah 2a T)

“Tanah orang non-Yahudi, kepunyaan orang Yahudi yang pertama kali menggunakannya.” (Babba Bathra 54b)

“Setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan.” (Babha Kama 113a)

“Kepemilikan orang non-Yahudi seperti padang pasir yang tidak dimiliki; dan semua orang (setiap Yahudi) yang merampasnya, berarti telah memilikinya.” (Talmud IV/3/54b)

“Orang Yahudi boleh mengeksploitasi kesalahan orang non-Yahudi dan menipunya.” (Talmud IV/1/113b)

“Orang Yahudi boleh mempraktekan riba terhadap orang non-Yahudi.” (Talmud IV/2/70b)

“Ketika Messiah (Raja Yahudi Terakhir atau Ratu Adil) dating, semuanya akan menjadi budak-budak orang-orang Yahudi.” (Erubin 43b)

Ketaatan mutlak kepada para rabbi sebagai pemegang otoritas tafsir Talmud. “Barangsiapa tidak taat kepada rabbi mereka akan dihukum dengan cara dijerang dalam kotoran manusia yang mendidih di neraka”. Erubin 2b.

Boleh melakukan kejahatan asal tidak dikenali sebagai Yahudi. “Bilamana seorang Yahudi tergoda untuk melakukan kejahatan (zina[?]), maka hendaklah ia pergi ke suatu kota di mana ia tidak dikenal orang, dan lakukanlah kejahatan itu di sana”. Moed Kattan 17a.


pray while killing
Menganiaya orang Yahudi dianggap kafir dan pelakunya harus dibunuh, tapi tidak sebaliknya. “Jika seorang kafir menganiaya orang Yahudi, maka dia harus dibunuh”. Sanhedrin 58b.

Orang Non-Yahudi adalah budak pekerja sukarela. “Seorang Yahudi tidak wajib membayar upah kepada orang kafir yang bekerja kepadanya”. Sanhedrin 57a.

Di mata hukum, orang Yahudi memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada Non-Yahudi. “Jika lembu seorang yahudi melukai lembu orang Kan’an, tidak perlu ada ganti rugi. Jika lembu orang Kan’an melukai lembu orang Yahudi, maka orang itu wajib membayar ganti rugi sepenuh-penuhnya”. Baba Kamma 37b.

Harta benda milik orang Non-Yahudi adalah hak milik yang halal bagi orang Yahudi. “Tuhan tidak mengampuni orang yahudi yang mengawinkan anak perempuannya kepada orang tua, atau memungut menantu bagi anak laki-lakinya yang masih bayi, atau mengembalikan barang hilang milik orang Cuthea (kafir, bukan Yahudi)”. Sanhedrin 57a.

Mencuri dan membunuh orang Non-Yahudi adalah halal. “Jika seorang Yahudi membunuh seorang Cuthea, tidak ada hukuman mati. Apa yang dicuri oleh seorang Yahudi boleh dimilikinya”. Sanhedrin 57a. “Kaum kafir adalah di luar perlindungan hukum dan Tuhan membukakan uang mereka untuk Bani Israel”. Baba Kamma 37b.


IDF at Wailing Wall
Segala tipu daya untuk kepentingan Yahudi adalah halal. “Orang Yahudi boleh berdusta untuk menipu orang kafir”. Baba Kamma 113a.

Bangsa Non-Yahudi adalah najis dan setara dengan binatang. “Semua anak keturunan orang kafir (bukan Yahaudi) tergolong sama dengan binatang”. Yabamoth 98a. “Anak perempuan orang kafir (bukan Yahudi) sama dengan ‘niddah’ (najis) sejak lahir”. Abodah Zarah 36b. “Orang kafir (bukan Yahudi) lebih suka berhubungan seks dengan lembu”. Abodah Zarah 22a-22b.

Bangsa Yahudi adalah manusia pilihan sedang Non Yahudi adalah sampah yang mesti dimusnahkan. “Engkau disebut manusia (Adam), tetapi ‘goyim’ tidak disebut sebagai manusia”. Ezekiel 34:31. “Inilah kata-kata dari Rabbi Simeon ben Yohai, ‘Tob shebe goyim harog’ (Bahkan goyim yang baik sekalipun seluruhnya harus dibunuh)”. Perjanjian Kecil, Soferim 15, Kaedah 10.
Z.A. Maulani, Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia

Inilah sebagian kecil dari ayat-ayat hitam Talmud. Inilah landasan ideologis kaum Zionis dalam hidupnya. Setiap hari Sabtu yang dianggap suci (Shabbath), mereka mendaras Talmud sepanjang hari dan mengkaji ayat-ayat di atas. Mereka menganggap Yahudi sebagai ras yang satu-satunya berhak disebut manusia. Sedangkan ras di luar Yahudi mereka anggap sebagai binatang, termasuk orang-orang liberalis yang malah melayani kepentingan kaum Zionis. (eramuslim/ZAM)

1.28.2009

Konsep Ilmu dalam Islam Dari Hijrah hingga Perang Salib

Ilmu dan Hijrah
Saat ini kita berada di awal tahun baru Islam 1430 H. Sebuah kalender umat Islam yang lahir dari momentum suksesnya hijrah Rasulullah saw dan para Sahabat dari Makkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah. Kesuksesan hijrah Rasulullah Saw tidak lepas dari faktor ilmu. Ilmu menjadi faktor penting bukan hanya untuk kesuksesan hijrah Rasulullah, tetapi juga hijrah-hijrah dalam bentuk yang lain. Hijrah dari syirik menuju tauhid, bid’ah menuju sunnah, mafsadat menuju masalahat, dan lain sebagainya.

Imam al-Bukhari menyebutkan bahwa kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu “al-Ilmu qobla al-Qaul wa al-‘Amal.” Hal inilah yang kemudian tersirat dalam surah al-‘Alaq ayat pertama “Iqra’ bismi Rabbika al-ladzi Kholaq” bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Sebagai wahyu pertama yang diturunkan, sangat jelas bahwa kewajiban pertama dan paling utama umat Islam sebelum berkata dan beramal adalah berilmu (Iqra’).
Ilmu sangat berkaitan dengan aktifitas membaca dan tulis menulis. Al-Qur’an - sebagai cahaya dan petunjuk - diturunkan kepada Nabi yang Ummi. Kendati seorang yang ummi, ayat yang pertama menyeru Rasulullah saw. Adalah,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.”(QS. Al-‘Alaq: 1-4)
Aktifitas membaca dapat dibagi dalam dua pengertian. Pertama, Iqra Qur’aniyah (membaca al-Qur’an). Iqra Qur’aniyah adalah pembacaan, penghafalan, pendalaman, pengertian dan pengamalan al-Qur’an. Kedua, Iqra kauniyah (pembacaan alam semesta). Iqra Kauniyah adalah pembacaan manusia terhadap alam semesta dalam setiap jenis dan bentuk apapun. Seseorang yang mampu membaca alam, mengambil hikmah, ibrah dan manfaat dari alam untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin serta mendapatkan ridha Allah swt pada hakikatnya adalah seorang Ulama (orang yang berilmu). Jadi, predikat Ulama tidak hanya terbatas pada seseorang yang lazim dikenal sebagai Ustadz, Kyai, Habib ataupun Syekh. Tetapi pada setiap orang yang dari bacaannya terhadap al-Qur’an ataupun alam semesta membuat dirinya takut dan makin bertakwa kepada Allah swt. Allah berfirman;

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(QS. Faathir: 28)
Betapa pentingnya posisi ilmu dalam Islam ditunjukkan melalui konsepnya yang jelas. Bahwa ilmu dalam Islam harus melalui proses pencarian yang benar, berdasar, sistematis, analitif, komprehensif, dan evaluatif. Tidak boleh mengambil suatu pendapat tanpa terlebih dahulu diperiksa sumber dan kebenarannya. Oleh karena itu di dalam Islam terdapat konsep Ittiba’, konsep ini mengharuskan adanya proses cek dan re-cek (tabayyun) terhadap setiap informasi yang datang kepada sumber aslinya. Menurut kaidah Ushul Fiqih yang disepakati para ulama konsep ini diartikan;
اَْلاتباع هو قبول قا ؤل القا ؤل وانت تعلم حخته
“Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang dan anda mengetahui dasar (dalil) nya.”
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan dari jabir ra., ia berkata: “Kami pernah duduk-duduk di rumah Rasulullah saw., beliau membuat garis di telapak tangan dengan tangannya – begini – dan bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Beliau lalu membuat dua garis di sebelah kanan garis tadi, dua garis lagi di sebelah kirinya, dan bersabda, “Garsi-garis ini adalah garis setan.” Kemudian beliau meletakkan tangannya pada garis yang berada di tengah dan membaca ayat;

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”(QS. Al-An’am: 153)
Dari ayat di atas Allah swt menegaskan bahwa dasar beragama adalah ilmu. Penggunaan kalimat fattabi'uhudalam ayat tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat menempuh jalan Allah yang lurus itu tiada cara lain kecuali dengan ilmu. Beragama dengan ilmu adalah hal yang mutlak adanya, tidak bisa tidak. Karena jika seseorang melakukan amalan agama tanpa ilmu, khusus maupun umum, sekalipun amalan itu adalah ibadah maka akan terjadi kekeliruan.
Kemudian Penggunaan kalimat sabilihdalam bentuk mufrad (tunggal) menunjukkan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah (Islam). Sementara penggunaan kalimat subuldalam bentuk jama’ (plural) menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak dan beraneka ragam. Karena sesungguhnya setan menggoda manusia dari segala arah; depan, belakang, kanan dan kiri.
Aqidah sahihah sebagai fondasi dasar keIslaman seseorang harus dijaga dan terus dipupuk dengan ilmu. Jika ilmunya benar maka aqidah akan benar. Sebaliknya jika ilmunya keliru maka dapat dibayangkan akan seperti apa kerusakan kata dan amal seseorang. Oleh karena itu kemunkaran terbesar dalam Islam adalah kemunkaran di bidang pokok-pokok agama (aqidah). Kemunkaran ini berawal dari kerusakan ilmu-ilmu Islam.
Sebagai contoh, dosa orang yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu lebih besar daripada orang yang meninggalkannya karena malas. Atau dosa orang yang menyatakan ayat-ayat al-Qur’an tidak valid lebih besar dosanya daripada orang yang meninggalkan ayat Allah karena malas. Dari sisi ini kemunkaran terbagi dua: Pertama, kemunkaran yang diakibatkan oleh ketiadaan ilmu (kebodohan). Kemunkaran jenis ini mudah diatasi dengan memberikan nasehat dan pengajaran. Kedua, kemunkaran yang diakibatkan oleh ilmu yang keliru. Kemunkaran ini sangat berat, karena seringkali orang yang berkata dan beramal dengan ilmu yang keliru meyakini kebenaran ilmunya.
Sebagaimana firman Allah swt:

“Katakanlah, akankah kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103-104)
Selain, jika ia adalah seorang pemimpin atau panutan umat, kata dan amalnya akan diikuti, lalu merebaklah kerusakan di tengah-tengah umat. Jadi ilmu yang keliru akan mengakibatkan kata dan amal yang keliru, kata dan amal tokoh umat yang keliru akan mengakibatkan umat yang keliru (rusak) pula.
Maka begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam sebagai pewaris para Nabi. Sampai Rasulullah Saw mengatakan:
“Bahwasanya Allah swt. Tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilihi orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Muslim).
Ilmu juga adalah ajaran yang pertama kali diajarkan Allah kepada manusia pertama Adam ‘alaihi salam dan menjadi tradisi para Nabi.

Allah swt Berfirman:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. al-Baqarah: 31)
Ilmulah yang menundukkan para Malaikat, kecuali Iblis yang memakai ilmu keliru sehingga sesat dan menyesatkan. Betapa pentingnya ilmu dalam Islam sehingga di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah bertebaran keterangan yang mengharuskan kita berilmu dan keunggulan orang-orang yang berilmu.
Dengan ilmu, umat Islam menguasai peradaban dunia lebih dari 800 tahun. Ilmu yang benar karena tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ilmu yang lahir dari harapan atas ridla Allah (bismi Rabbika al-Ladzi khalaq). Sehingga melahirkan Peradaban yang memberikan cahaya pencerahan dan kebangkitan umat yang lain dari kebodohan dan keterbelakangan. Lain halnya ilmu yang dimiliki kaum Kuffar (Barat), ilmu yang mereka miliki tidak melahirkan kebaikan dan kemaslahatan, justru kehancuran dan kebatilan karena basis ilmu mereka bukan bismi Rabbika al-Ladzi Khalaq.
Ilmu menurut para Ulama
Wajib bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu. Ilmu bila dimutlakkan dan datang nash-nash yang menjelaskan pujian dan keutamaannya, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Imam asy-Syafi’i Rahimahullahu ta’ala berkata, “Tidak ada satupun yang lebih utama setelah menunaikan kewajiban selain menuntut ilmu.”
Berkata Imam Ahmad Rahimahullahu ta’ala, “Manusia lebih butuh ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang butuh makan dan minum sekali atau dua kali dalam sehari, tetapi kebutuhannya terhadap ilmu sepanjang hayatnya.”
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullahu ta’ala: “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i. Ilmu yang berfaidah untuk mengetahui kewajiban seorang hamba berupa perkara agama, baik dalam ibadah maupun pergaulannya sehari-hari. Ilmu yang berbicara tentang Allah, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, ilmu yang demikian berkisar pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih.”
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin Rahimahullahu ta’ala berkata: “Dan yang menjadi perhatian kita tentang ilmu adalah ilmu syar’i yaitu ilmu yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia berupa penjelasan dan petunjuk. Ilmu yang di dalamnya terdapat pujian dan sanjungan dan itu hanya ada pada ilmu wahyu. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah akan faqihkan dia dalam agama.” Nabi saw juga bersabda: “Ulama adalah pewaris para Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu maka barangsiapa yang mengambilnya sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” Dan telah diketahui bersama bahwa warisan para Nabi adalah ilmu syar’i tidak ada yang lain.”
Keutamaan ilmu
Sungguh Allah telah memuji ilmu dan pemiliknya serta menganjurkan para hamba-Nya agar berbekal dengan ilmu, di antara keutamaan ilmu adalah :
1. Allah mengangkat derajat ahli ilmu

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujaadilah: 11)

2. Orang yang bodoh dan berilmu tidak sama

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9) “

3. Persaksian Allah untuk orang yang berilmu
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali-Imran: 18)
4. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu

"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha: 114)

5. Ahli ilmu orang yang takut kepada Allah

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”(QS. Faathir: 28)
6. Faqih dalam agama termasuk tanda kebaikan

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan faqihkan ia dalam agama-Nya.”(HR. Bukhari 71, Muslim 1037).

7. Orang berilmu lebih utama dari ahli ibadah

Rasulullah saw bersabda:
“ Orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di dalam air. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah bagaikan bulan purnama atas seluruh bintang.” (HR. Abu Dawud 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu Majah 223, Ahmad 5/196).

8. Menuntut ilmu jalan menuju surga

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim 2699, Abu Dawud 3643, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 225, Darimi 1/99).

9. Penuntut ilmu bagaikan mujahid

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang masuk masjid kami untuk belajar dan mengajarkan maka ia seperti seorang mujahid di jalan Allah.”(HR. Ibnu Majah 227, Ahmad 2/350, Hakim 1/91, Ibnu Hibban 87, Ibnu Abi Syaibah 12/209).

10. Ilmu adalah pahala yang tidak terputus
Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seorang anak Adam meninggal dunia maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga perkara; Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”(HR. Muslim 1631).

Ilmu dan Pendidikan kontemporer
Problem pendidikan saat ini adalah terpolarisasinya ilmu ke dalam dua kubu, ilmu-ilmu umum dan agama. Hal itu kemudian menyebabkan terbaginya institusi pendidikan menjadi dua kubu pula; di bawah Departemen Agama (DEPAG) dan di bawah Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Pendidikan di bawah DEPAG seperti, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sedangkan di bawah DEPDIKNAS seperti, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Munculnya upaya-upaya penyatuan antar keduanya sudah lama muncul. Sebagai misal munculnya Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT) dan ditingkat PTN ada Universitas Islam Negeri (UIN) dan lain sebagainya adalah buah dari kegelisahan banyak kalangan atas jarak yang sangat jauh antara pendidikan agama dan umum.
Namun demikian, bukan berarti permasalahan terobati dan selesai sampai di situ, bahkan muncul problem-problem yang semakin rumit. Di sekolah-sekolah Islam terpadu, misalkan, konsep keilmuan yang terintegralistik kurang terbangun secara benar dan konseptual, justru yang ditekankan hanya semangat beribadah dan praktikal saja. Akibatnya, dan ini persoalan paling serius, ilmu-ilmu Islam terseret kepada paradigma Barat, sadar atau tidak.
Konsep-konsep ilmu secara menyeluruh didominasi oleh cara pandang sekuler. Banyak kita menyaksikan sekolah-sekolah Islam terpadu mengajarkan ilmu-ilmu Islam tapi kehilangan ruhnya. Akibatnya aqidah dan akhlak siswa tidak beda dengan siswa yang belajar di sekolah non-Islam Terpadu.
Begitu pula cara pandang mereka terhadap ilmu umum. Mereka tidak melihat bahwa ilmu umum juga adalah bagian dari Islam, yang merupakan kewajiban agama untuk mempelajarinya dan bernilai ibadah tinggi. Tidak terlihat motivasi bahwa belajar mereka adalah demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Atau bahkan, materi pelajaran umum di sekolahnya tidak berusaha di-Islamisasikan oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Problem lain terdapat di Perguruan Tinggi Islam, selain sudah terbaratkan, jurusan-jurusan keagamaan semakin tidak diminati, karena arah dan tujuan belajar di sana sudah terorientasikan untuk dunia kerja. Padahal lapangan kerja untuk jurusan agama nyaris tidak ada. Tak bisa dipungkiri bahwa itulah penyebab utama mengapa jurusan-jurusan agama tidak diminati, bahkan hanya menjadi pelarian manakala calon siswa gagal dalam tes di jurusan-jurusan umum.
Menurut Imam Al Ghazali, semestinya institusi pendidikan Islam tidak membagi ilmu itu kepada umum dan agama, tapi kepada fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain berkaitan dengan asas-asas Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap individu muslim seperti rukun iman (Tauhid), rukun Islam dan menjauhi hal-hal yang jelas keharamannya. Sedangkan fardhu kifayah menurut Al Ghazali berkaitan dengan ilmu-ilmu syariah dan non syariah. Ilmu syariah ialah ilmu yang diperoleh dari nabi saw dan ilmu non syariah ialah ilmu-ilmu terpuji, yaitu ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan duniawi dan kemaslahatan umat seperti kedokteran, militer, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya.
Selama ini kita menganggap bahwa fardhu kifayah hanya sebatas mengurusi jenazah saja. Padahal hakikat fardhu kifayah terus meluas, setiap kemajuan dunia yang sesuai dengan syariat menjadi fardhu kifayah untuk umat Islam. Fardhu kifayah itu sendiri artinya perkara wajib yang apabila telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban yang lain terhadap kewajiban tersebut. Artinya di antara umat Islam harus ada yang ahli dibidang politik, medis, militer, hukum dan ekonomi.
Sehingga dengan konsep seperti ini para pengajar dituntut memahami ilmu fardhu ‘ain, selain spesialisasinya. Begitu pula pelajar harus memahami ilmu fardhu ‘ain, selain ilmu yang menjadi favoritnya. Dengan cara seperti ini, mempelajari agama, terutama yang fardhu ‘ain, tidak lagi dipandang sebelah mata, yang tidak menjanjikan lapangan kerja, karena ia akan dipelajari sebelum belajar yang lainnya oleh setiap penuntut ilmu.
Pendidikan Islam Integral
Menurut Dr. Hasan Langgulung (1995) pendidikan Islam mempunyai dua maksud; Yaitu pendidikan Islam umum dan pendidikan Islam khusus. Pendidikan Islam umum ialah pendidikan yang diberikan kepada orang Islam dalam semua keadaan seperti di sekolah, rumah, masjid, kantin, tempat bermain, kendaraan. Saat mandi, makan, minum, bermain, tidur, bekerja dan lain sebagainya. Termasuk juga di bidang politik, hukum, budaya, sosial, kedokteran, perdagangan, militer dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan Islam khusus ialah mata pelajaran sekolah, yaitu Tauhid, tafsir, hadits, akhlak dan lain sebagainya.
Maka bila disebutkan pendidikan Islam, bukan hanya mata pelajaran agama di sekolah. Tetapi memiliki arti luas, yaitu segala usaha mendidik orang Islam menjadi mu’min dan muttaqin. Pendidikan seperti ini harus dilakukan oleh setiap individu muslim secara sinergis dalam konsep amar ma’ruf dan nahyi munkar. Maka insya Allah dengan konsep ini tidak akan ada lagi orang tua siswa yang mengeluhkan kelemahan aqidah, akhlak, cara hidup dan cara pandang anaknya yang menjadi siswa di sekolah Islam terpadu.

Al-Ghazali dan Perang Salib
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Rahimahullahu ta’ala (450/1058-505/1111) yang hidup semasa perang Salib menyusun kitab Ihya ‘Ulumuddin. Beliau membuka kitabnya dengan “kitabul ‘Ilmi”. Perang Salib fase awal betul-betul menghancurkan peradaban Islam waktu itu. Umat Islam terkejut akan kekalahan tersebut dan alangkah sulitnya untuk bangkit dari kekalahan. Kenapa bisa kalah setelah 800 tahun digjaya? Ternyata faktor utama kekalahan bukan karena jumlah yang sedikit, kekayaan yang minim dan persenjataan yang kadaluarsa. Tetapi moral dan spiritual yang hangus tergerus jaman dan kemewahan dunia. Penyakit wahn cinta dunia takut mati menghinggapi hampir secara permanen individu-individu muslim saat itu. Umat meninggalkan ‘Ulumuddin (ilmu-ilmu agama/al-Qur’an dan as-Sunnah) yang selama ini telah menjadi penopang kejayaan mereka.
Al-Ghazali mampu melihat persoalan waktu itu secara menyeluruh bahwa permasalahan umat tidak dapat dituntaskan dengan politik dan ekonomi semata. Al-Ghazali membangkitkan semangat jihad dengan mengajak umat untuk kembali mempelajari dan mengamalkan syariat sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka beliau menamai kitabnya Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Perang Salib jilid dua saat ini di Palestina (Jerusalem), tidak hanya dapat diselesaikan dengan usaha-usaha politis dan ekonomi. Namun yang terpenting adalah berawal dari penyadaran umat akan pentingnya berhijrah untuk berilmu dan segera mengamalkan syari’at untuk terwujudnya umat yang berilmu dan melakukan pembelaan terhadap Palestina secara komprehensif. Tanpa berarti berkurang dukungan kita terhadap saudara-saudara kita yang sedang dan akan berangkat berjihad fi sabilillah menjemput syahid yang dicita-citakan. wh
Wallahu A’lam bish Showab

Metode Kritik Hadits Orientalis

Urgensi Hadits dalam Islam
Ali Mustafa Ya’kub dalam bukunya kritik hadits menjelaskan tugas-tugas yang diamanahkan kepada nabi Muhammad Saw untuk mengetahui secara kongkrit fungsi dan kedudukan hadits dalam Islam. Ia memaparkan bahwa di dalam al-Qur’an, Nabi Saw mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: Menjelaskan Kitab Allah (QS. Al-Nahl: 44), Memberikan keteladanan (QS. Al-Ahzab: 21), Nabi Saw wajib ditaati (QS.

Al-Anfal: 20, an-Nisa: 80), Menetapkan hukum (QS. Al-A’raf: 157, al-Hasyr: 7). Itulah empat fungsi dan kedudukan hadits dalam Islam, dimana apabila disimak, maka tidak ada satupun yang bersumber dari Nabi Saw baik perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau yang tidak menjadi sumber dalam agama Islam.
Empat fungsi dan kedudukan hadits di atas adalah menurut pandangan ahli hadits. Sementara ahli Ushul Fikih yang merasa berkewajiban untuk menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya, maka menurut mereka, fungsi sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam hanya ada tiga. Pertama, sebagai pendukung hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, kedua, sebagai penjelas hukum-hukun yang terdapat dalam al-Qur’an dan ketiga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
Dalam memandang Sunnah atau hadits sebagai sumber agama Islam, sekilas terdapat perbedaan antara ahli hadits dengan ahli Ushul Fikih. Karena ahli hadits memandang hadits dengan segala bagiannya (perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat Nabi Saw) menjadi sumber Islam sesudah al-Qur’an, sementara ahli Ushul Fikih hanya melihat tiga bagian saja dari hadits tanpa sifat nabi Saw yang dapat dijadikan sumber syariat Islam.
Namun sebenarnya perbedaan itu tidak ada, karena para ahli haidts melihat bahwa hadits dengan empat bagiannya itu menjadi sumber syariat Islam yang mencakup aspek aqidah, hukum dan akhlak, sementara ahli Ushul Fikih hanya melihatnya dari aspek hukum saja. Di sisi lain, para ahlu Ushul Fikih juga tetap menjadikan sifat-sifat Nabi Saw sebagai sumber akhlak dalam Islam.
Oleh karena itu, yang ada sebenarnya hanyalah konsensus bahwa hadits atau sunnah tidak dapat dilepaskan dari Islam. Karena keberadaan hadits telah memperoleh justifikasi dari al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri memerintahkan umat Islam untuk mengikuti hadits Nabi Saw. Karenanya, setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadits dari Islam, sebenarnya hal itu tidak lebih dari pelecehan terhadap al-Qur’an itu sendiri, dan pada gilirannya hal itu akan berupaya untuk memisahkan al-Qur’an dari kehidupan umat Islam.
Begitulah urgensi hadits dalam Islam. Namun begitu, sejarah mencatat bahwa ada sementara orang yang karena faktor-faktor tertentu ingin memisahkan hadits dari Islam. Menurut mereka, Islam sudah cukup dengan al-Qur’an saja. Pemikiran yang kemudian lazim dikenal dengan Ingkar Sunnah ini telah muncul pada zaman klasik disusul zaman sekarang ini bersamaan dengan munculnya kolonialisme, orientalisme, dan misionarisme.
Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah bermakna timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di timur.
Kata “orient” itu memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan tentang “Timur” itu biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.
Kata “isme” (Belanda) ataupun “ism” (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi Orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.
Lawan kata “orient” di dalam bahasa Perancis ialah occident, yang secara harfiah bermakna “barat”, secara geografis bermakna dunia belahan barat dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di barat. Sedangkan kata Occidental bermakna hal-hal yang berkaitan dengan dunia ”Barat” itu, yaitu bangsa-bangsa yang di situ beserta lingkungannya.
Berbeda dengan Orientalisme, maka kata Occidentalisme hampir tidak pernah disebut, karena bukan merupakan suatu keahlian khusus dalam lingkungan disiplin-disiplin ilmu.
Orientalisme dalam pengertian yang sempit ialah kegiatan penyelidikan ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda menurut sikap mental dari kaum orientalis itu sendiri. Penyelidikan itu bermula secara terpisah-pisah mengenai masing-masing agama tersebut. Max Muller (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke-19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suci oleh masing-masing agama di timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri atas 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Book of the East ((Kitab-Kitab Suci dari Timur). Cara Max Muller membahas masing-masing agama dengan mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati obyektifitasnya, sangat berbeda dengan cara kaum Orientalis pada masa sebelumnya maupun pada masanya sendiri. Maka ia dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu baru yang dikenal dengan Comparative Religions (Perbandingan Agama).
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang Barat pertama yang mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang bisa dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka dan berguru kepada ulama-ulama Islam berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat, kedokteran, dan metafisika.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor utama yang menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia dan Sicilia. Di samping juga imbas perang Salib secara khusus menjadi pemacu orang-orang Eropa melakukan pengkajian terhadap dunia Islam. Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan agama dan ideologi antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia Barat terhadap Islam. Selain kegagalan pasukan Salib dalam meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka concern terhadap kebudayaan Islam.
Orientalisme mempunyai cakupan yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan bangsa-bangsa di Timur serta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Di antaranya mencakup; kepurbakalaan, sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan, keturunan, kemasyarakatan, adat istiadat, kekuasaan, kehidupan, lingkungan, dan lain-lain.
Singkatnya, setiap disiplin ilmu melakukan kegiatan penyelidikan menurut bidang masing-masing. Segala macam kegiatan itu berlaku terhadap bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa di benua Timur beserta lingkungannya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang dicakup oleh para ahli ketimuran itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di antaranya:
1. Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
2. Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
3. Faktor Ekonomi.
4. Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
5. Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.
Tujuan Orientalisme menurut penulis buku Orientalisme dan Misionarisme adalah memurtadkan umat Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi Saw., sebagai sumber hukum Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak dikenal dalam agama mereka dalam membuktikan kebenaran-kebenaran Kitab Sucinya.
Kelompok-kelompok orientalisme secara garis besar dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok moderat dan mampu bersikap adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran hingga sebagiannya mendapatkan hidayah Islam. Kelompok ini diwakili Reenan, Jenny Pierre, Carl Leil, Tolstoy, Lord Headly, Ethan Deneeh dan Dr. Greeneh. Kedua, kelompok ekstrim dan fanatik yang dikenal menyelewengkan kebenaran dan melakukan penyimpangan dalam memahami ajaran Islam serta tidak menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok ini diwakili oleh A.J Arberry, Alfred Geom, Baron Carrad Vauk, H.A.R Gibb, Goldziher, S.M Zweimer, G. Von Grunbaum, Phillip K Hitti, A.J Vensink, L. Massinyon, D.B Macdonald, D.S Margaliouth, R.L Nicholson, Henry Lammens, Josseph Schacht, Harfly Haol, Majid Kadury dan Aziz Atiah Surial.
Metode Kritik Hadits Orientalis
Kajian Islam yang dilakukan oleh Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), orientalis Yahudi kelahiran Hoingaria yang memiliki karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
Penelitian hadits juga selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht-yang juga orientalis Yahudi-menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab Suci” kedua di kalangan orientalis.
Dibanding Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang otentik dari Nabi Saw., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah.
Sangat disesalkan, dalam berbagai penelitian, khususnya penelitian dalam bidang hadits, para orientalis tersebut bersandar kepda metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhada teks. Bisa kita identifikasi, sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sindiri, untuk kemudian dicari penguat berupa dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya. Hal itu dirasa tidak penting bagi mereka asal bisa diambil sedikit kesimpulan dari dalil tersebut sebagai pembenaran atas pemikiran mereka.
Sikap seperti ini tentunya bertentangan dengan kaisah dan dasar-dasar penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.
Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi Saw., melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua.
Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah:
1. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi Saw
2. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya sooa kodifikasi hadits
3. Para Shahabat tidak menghafal hadits
4. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits
5. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hokum
6. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits
7. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM
Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.
Kritik atas Kritik Hadits Orientalis
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1. Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
3. Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadits-terutama yang berkaitan dengan hukum Islam-adalah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih.”
Untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw., sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi Saw.
Seorang Ahli Hadits abad ini Prof. Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah-naskah klasik. Kesimpulannya, sangat mustahil untuk ukuran waktu itu para sahabat dan tabi’in yang tempat tinggalnya berbeda wilayah yang sangat berjauhan bisa berkumpul untuk memalsukan hadits. Yang kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama padahal para perawinya tidak pernah bertemu.
Dan lebih banyak lagi bantahan para ulama terhadap syubuhat kalangan orientalis yang ingin meruntuhkan posisi hadits sebagai salah satu sumber hukum utama dalam Islam. wh

Wallahu Musta’an

Kurban yang Hilang…..

Tahukah anda bahwa setiap kali kita berkurban ada satu hikmah kurban yang hilang, terlewat, terlupakan atau bahkan kita tidak tahu sama sekali?
Kurban adalah ujian kecintaan. Kecintaan kita kepada Allah Swt diuji dengan kurban. Allah kah yang lebih kita cintai daripada harta benda atau harta benda yang lebih kita cintai daripada Allah? Karena kurban bermakna qurbah Ilallah, upaya menjadikan apapun milik kita sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Hal inilah yang Allah tegaskan kepada kita dalam firman-Nya :

“Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusannya.” Dan Allah tidak memberi pertunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24)
Satu hikmah kurban yang hilang dan senantiasa terlewatkan oleh kita sebagai upaya paripurna meneladani sunnah Ibrahim as dan putranya Ismail as adalah kesadaran bahwa kita harus membentuk anak yang sabar. Mari kita renungkan kisah yang dipaparkan Allah Swt :
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Ash Shaffat: 102)

Renungkanlah!
Saatnya anda sekarang mengatakan kepada anak anda, “Nak, tadi malam ayah bermimpi bahwa Allah memerintahkan ayah untuk menyembelihmu. Lalu apa pendapatmu?
Kira-kira apa jawaban yang akan anda dapatkan dari anak anda? Mungkin bukan saja penolakan yang akan anda dapatkan tetapi juga perlawanan. “Ayah macam apa engkau, justru aku telah lama berniat menyembelih ayah?” Begitu mungkin kira-kira jawabannya.
“Ah…tidak mungkin itu dilakukan. Mana ada seorang bapak akan tega menyembelih anaknya. Bapak macam itu?” Mungkin itu juga kira-kira sanggahan anda ketika diwajibkan menyembelih belahan hati anda.
Tapi tidak dengan yang terjadi pada Ibrahim as dan putranya Ismail as. Apa jawaban seorang anak shalih, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah!
Subhanallah, Ayah seperti apa yang sukses luar biasa menjadikan anaknya memiliki kesabaran yang demikian dahsyat. Tanpa tahu apa manfaat dan hikmah dibalik perintah itu, tanpa mempertanyakan benarkah itu perintah Allah atau hanya bisikan setan saja, tanpa menganggap gila ayahnya, Ismail yakin penuh bahwa ayahnya sosok yang sangat dapat ia percayai, karena ia yakin ayahnya adalah hamba Allah yang sempurna ketakwaannya. Bermodalkan keyakinan itu ia bertawakkal kepada Allah, dan apa yang terjadi? Anda tahu sendiri kelanjutan kisahnya.
Ayah seperti apa Ibrahim as? Ibrahim as yang sebelumnya siang malam dengan penuh harap memohon diberikan anak yang sholeh. Usia yang sudah senja, tantangan dakwah begitu banyak, risalah harus tetap berlanjut sementara kader penerus perjuangan belum jua muncul. Wahai…apa lagi yang diharapkan selain mendapatkan keturunan. Dan lahirlah sang pelanjut itu, Ismail as, dipeluk, dicium, didoakan dengan tetesan airmata kebahagiaan, dijaga, dibimbing, diawasi setiap detik pertumbuhannya. Tidak ada yang terlewatkan. Lebih sayang, lebih cinta daripada ayah manapun yang mencintai anaknya. Hari-hari Ibrahim penuh dengan cinta dan kasih sayang, bermain penuh canda dan mengaji bersama penuh makna. Ia harus senantiasa hadir saat belahan jiwa itu akan terlelap tidur dan sudah siap dengan senyum mengembang saat sang buah hati membuka kedua kelopak matanya di subuh hari.
Lalu, wahai para ayah, akankah seorang ayah seperti Ibrahim as ini tega menyembelih anaknya. Wallah, Ia jauh lebih tidak tega melebihi orangtua manapun yang tidak tega saat diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Namun Ibrahim as lebih mencintai Allah dalam segala urusannya hatta buah hatinya sendiri.
Sekarang bertanyalah kepada diri anda sendiri, jika Allah memerintahkan anda untuk menyembelih buah hati anda, apa yang anda pikirkan dan apa yang akan anda lakukan? Akankah anda meneladani Ibrahim as (seperti pengakuan anda selama ini) dengan taat kepada Allah atau justru anda lebih baik ingkar?
Maka sesungguhnya ini hanyalah persoalan anda sosok ayah yang shaleh atau tidak dan buah hati anda anak yang shaleh atau tidak.
Siapakah yang harus memikul tanggung jawab ini?
Andalah wahai para ayah para orangtua. Anda telah menerima amanah untuk menjadikan diri anda hamba-hamba yang shaleh dan teramat penting menjadikan buah hati anda anak-anak yang shaleh. Sampai anda mampu mentaati perintah Allah yang paling mustahil sekalipun dan sampai buah hati anda siap menerima apapun keputusan Allah yang diberikan kepadanya.
Anda diamanahi untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah yang anda khawatirkan masa depannya. Allah Swt mewanti-wanti kita :
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An Nisa: 9)
Wahai ayah….jelas kita harus khawatir jika kita meninggalkan anak kita tak berharta sehingga keturunan kita hanya bisa mengharap belas kasih orang. Namun, yang lebih harus kita khawatirkan adalah ketika anak-anak kita tidak mendapat bekal keimanan dan ketakwaan sepeninggal kita. Harta kekayaan tidak akan secara otomatis menyeret buah hati kita ke neraka Allah. Tapi jika buah hati kita tidak memiliki keimanan, azab Allah Swt sudah siap menantinya termasuk orangtuanya yang tidak membekali anaknya dengan keimanan.
Maka sungguh indah apa yang diwasiatkan Ya’qub as menjelang wafat kepada anak-anaknya, seperti yang Allah kisahkan di surat Al-Baqarah ayat 133 :
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu, dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan yang Mahaesa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”
Apa yang akan kamu sembah sepeninggalku? Bukan apa yang akan kamu makan sepeninggalku? Ma ta’buduna min ba’di laisa ma ta’kuluna min ba’di…..
Hal yang samakah yang akan anda katakan saat anda sakaratul maut kepada putra-putri anda?
Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun waj’alna lilmuttaqina imama
Wildan Hasan

Beberapa Pertanyaan untuk Ahmad Syafii Maarif

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap resonansi bapak Syafii Maarif di harian ini (Selasa, 27/01/09) berjudul empat pertanyaan untuk Muhammadiyah dan NU.
Kalaulah tidak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di akhirat kelak karena membiarkan pemikiran-pemikiran yang merusak Islam seperti tulisannya bapak Syafii Maarif itu. Sebenarnya hampir-hampir menjemukan menanggapi kegenitan-kegenitan intelektual semacam ini.

Menjemukan karena kita melihat bahwa hal ini bukan lagi konflik ilmiah tapi sudah mengarah kepada konflik ideologi. Atau memang konflik yang terakhir ini yang sebenarnya terjadi dari awal.
Konflik ilmiah dengan bapak Syafii Maarif dan orang-orang yang sehaluan dengannya seringkali berujung tidak ilmiah di pihak mereka. Cirinya adalah; pertama, sebuah konflik yang kemudian berusaha diselesaikan dengan diskusi ilmiah haruslah memiliki standar rujukan yang sama. Masalahnya, saat bicara tentang Islam mereka tidak mau menyepakati standar rujukan utama Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sekalipun kemudian mereka sepakat, cara mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak merujuk kepada standar pemahaman yang sudah baku dan teruji beratus-ratus tahun lamanya. Kecuali mereka kemudian akan melontarkan waham (keraguan-keraguan) terhadap standar-standar tersebut tanpa sedikitpun mereka mampu mengajukan alternatif yang lebih baik dan teruji. Sebagai contoh, mereka melontarkan keraguan terhadap metode tafsir Al-Qur’an para ulama dan mengusung metode hermeneutik sebagai alternatif tafsir Al-Qur’an tanpa mereka mampu memberi bukti bahwa hermeneutik Al-Qur’an mampu memberikan tafsir kepada Al-Qur’an lebih baik atau paling tidak setara dengan metode tafsir para ulama. Begitu hebatnya mereka melecehkan tafsir Al-Qur’an para ulama dan mengagung-agungkan hermeneutik Al-Qur’an, namun hingga saat ini belum ada ‘tafsir’ hermeneutik Al-Qur’an yang mereka buat. Jangankan 30 juz, satu ayat pun mereka tidak mampu menunjukkannya kepada kita. Jelas mereka tidak akan mampu menghadapi tantangan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 23. Bahkan celakanya, mereka juga mereduksi ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan akal fikirannya.
Diskusi yang tidak dilandasi standar pokok yang sama untuk menjadi rujukan saat terjadinya perbedaan pendapat adalah mutlak diperlukan jika ingin disebut ilmiah. Tanpa itu, diskusi dilakukan sesering apapun hanya akan menjadi debat kusir seperti yang selama ini sering terjadi.
Kedua, sebuah diskusi ilmiah haruslah membuat pihak yang keliru hujjah-nya kembali kepada kebenaran yang ditunjukkan oleh pihak yang lain. Selama ini yang terjadi ketika berlangsung diskusi antara kelompok Islam Konfrehensif dengan kelompok Islam Reduksionis (Liberal), saat hujjah-hujjah kelompok Islam reduksionis ini terbantahkan secara ilmiah, tidaklah membuat mereka kembali kepada kebenaran, beristighfar dan bertaubat. Hal ini terjadi mungkin akibat kesalahan dalam niat awal mereka, yaitu bukan untuk mendapatkan kebenaran tetapi untuk mempertanyakan kebenaran. Jika demikian, perbedaan atau konflik apalagi kalau bukan perbedaan ideologis?
Hal pertama kali yang harus dilakukan dalam menyikapi pernyataan atau pertanyaan dari sosok semacam bapak Syafii Maarif adalah tidak boleh kita langsung merasa rendah diri lalu terpukau oleh keindahan-keindahan bahasa dan nunut seperti kerbau dicokok hidung dan merasa diri telah bergabung menjadi bagian dari kelompok hebat yang modern, kreatif, dinamis dan mencerahkan sebagaimana klaim mereka selama ini. Tidak perlu juga terlalu reaktif, sibuk membuat bantahan-bantahan panjang lebar dan bermutu tinggi dengan rujukan-rujukan yang tak terbantahkan. Karena hal itu mungkin tidak akan berlaku efektif selama mereka tidak berdiri di atas standar ilmiah. Kecuali harus memanjatkan doa dengan sepenuh hati dan kesungguhan agar mereka mendapatkan hidayah Allah SWT.
Mungkin bapak Syafii Maarif akan mengatakan, sebuah diskusi disebut ilmiah jika tidak bermuatan ideologi tertentu karena akan subyektif hasilnya. Pertanyaannya adalah, hal apakah di dunia ini sekecil dan sesederhana apapun itu yang tanpa muatan ideologisnya? Seseorang berpendapat tidak mungkin tidak ada unsur ideologis di dalamnya. Apakah itu ideologi Islam, sekuler, pluralis, sosialis, liberal atau bahkan marxis. Dan jelas, tulisan bapak Syafii Maarif dalam resonansi tersebut bermuatan ideologi inklusif pluralis. Jika demikian tulisan tersebut subyektif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Dalam resonansi tersebut baru terdapat dua pertanyaan yang diajukan untuk Muhammadiyah dan NU dari empat pertanyaan yang akan disampaikan bapak Syafii Maarif. Entah apakah sisanya akan dipertanyakan dalam resonansi selanjutnya atau tidak. Sekalipun dalam pertanyaan pertama saja sudah ada empat pertanyaan yang dilontarkan.
Sebagai orang yang diberikan amanah ilmu, sudah seharusnya kita bersikap kritis terhadap istilah-istilah indah yang ternyata bisa menjerumuskan. Bapak Syafii Maarif banyak menaburkan istilah-istilah indah sebagaimana keahliannya dalam resonansi tersebut. Sebut saja istilah pemikiran keislaman kreatif, persaudaraan antar umat, kemanusiaan universal, gagasan Islam yang dinamis dan kreatif, keislaman yang hidup dan menghidupkan, stamina spiritual, maju dalam menalar, dan buritan peradaban. Indah, memukau, menggiurkan bak nasi goreng di tengah malam saat lapar menghebat. Namun, mari kita pertanyakan apa maksud dari istilah-istilah itu, mana wujud bukti dari istilah-istilah tersebut, bagaimana cara mewujudkannya, sudahkah bapak Syafii Maarif sendiri mampu mewujudkannya setidaknya di keluarganya sendiri?
Biarkan dijawab dulu pertanyaan-pertanyaan itu sebelum kita menanggapi tuduhan-tuduhannya. Karena dipastikan jika beliau jelaskan istilah-istilah yang tanpa standar kokoh, tanpa konsep batas, distingsi dan kategorisasi-kategorisasi itu, akan memunculkan puluhan bahkan ratusan pertanyaan susulan dari kita. Jangan biarkan kita terjebak untuk langsung menanggapi tuduhan-tuduhan itu, yang akan membuat kita pontang-panting, sibuk, pucat dan lelah sementara banyak tugas-tugas penting dan lebih bermanfaat menunggu kita. Selain bapak Syafii Maarifnya sendiri mungkin sudah pindah tempat duduk dan memuaskan kembali kegemarannya melontarkan syubuhat kesana kemari.
Paling tidak ada tujuh belas tuduhan yang dilontarkan bapak Syafii Maarif terhadap Muhammadiyah dan NU. Pertama, Muhammadiyah dan NU tidak berada pada jalur pemikiran keislaman kreatif. Artinya Muhammadiyah dan NU tidak kreatif (dungu). Kedua, doktrin ahlussunnah waljamaah yang dianut Muhammadiyah dan NU sempit. Ketiga, doktrin ahlussunnah waljamaah tidak akan dapat membuat Muhammadiyah dan NU menjadi rahmatan lil’alamin. Keempat, doktrin ahlussunnah waljamaah Muhammadiyah dan NU tidak dinamis dan kreatif. Kelima, keislaman Muhammadiyah dan NU dengan doktrinnya itu tidak hidup dan menghidupkan. Keenam, doktrin yang dianut Muhammadiyah dan NU itu tidak mampu berhadapan dengan masalah kekinian. Ketujuh, Muhammadiyah dan NU nyontek doktrin yang sudah dibuat oleh peradaban masa lalu. Kedelapan, Muhammadiyah dan NU telah memberhalakan peradaban masa lalu. Kesembilan, Muhammadiyah dan NU tidak bersikap kritis terhadap peradaban masa lalu. Kesepuluh, Muhammadiyah dan NU belum punya keinginan untuk maju dalam menalar.
Tuduhan kesebelas, peradaban Islam yang dijadikan acuan oleh Muhammadiyah dan NU menyesakkan nafas. Kedua belas, puluhan tahun energi Muhammadiyah dan NU terbuang sia-sia. Ketiga belas, Muhammadiyah dan NU ikut andil dalam terjadinya gesekan dan perpecahan akibat terjun dalam politik kekuasaan. Keempat belas, Sebagian orang Muhammadiyah dan NU bukan intelektual berbakat yang piawai mengatasi hidup dan karirnya. Kelima belas, generasi tua Muhammadiyah dan NU tidak menggembirakan secara kualitas maupun kuantitas. Keenam belas, nasehat dan taujih generasi tua kepada generasi muda Muhammadiyah dan NU tidak perlu ditanggapi kareena akan membuat frustasi, dan ketujuh belas, generasi tua Muhammadiyah dan NU bersiap-siaplah digantikan generasi yang dinamis, kreatif dan hidup versi bapak Syafii Maarif.
Nampak seperti dramatis. Namun inilah sebenarnya jika kita ingin mengetahui maksud sebenarnya dari tulisan bapak Syafii Maarif tersebut. Tentu kader Muhammadiyah dan NU lah, baik generasi tua maupun muda yang lebih berhak membantah tuduhan-tuduhan memilukan tersebut. Saya merasa tidak terlalu berhak untuk menanggapi karena bukan bagian langsung dari gerakan Muhammadiyah dan NU. Saya hanya bagian dari gerakan Islam yang menurut bapak Syafii Maarif tidak mewakili arus besar Islam Indonesia. Namun saran saya, karena masih banyak tugas-tugas umat yang lebih penting dan bermanfaat, tanggapilah tulisan beliau itu saat waktu senggang saja. Siapa tahu beliau sendiri sudah lupa dan sedang menyusun banyak pekerjaan rumah lagi untuk umat. wh

Orang Miskin Dilarang Sekolah 2

Ironi Pendidikan Kita
Tiga tahun lalu seorang anak SMA berlari meninggalkan barisan pramuka di lapangan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Ahad siang saat itu, saat pembukaan Jambore Nasional 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Siswa SMA kelas II IPS Sandy Putra Bandung tersebut, berlari menuju podium dimana presiden berada.

Dimas Gumilar Taufik, sesampainya di podium langsung menyerahkan sebuah map putih kepada presiden tanpa berkata-kata. Hanya matanya nampak memerah dan berkaca-kaca menyiratkan sesuatu yang tidak sulit untuk dibaca. Malu, tapi harus dilakukan.
Aksi mengejutkan ini ternyata luput dari pengawasan pasukan pengamanan presiden (paspampres), yang langsung mengamankannya seusai kejadian. Ada apa gerangan? Kenapa Dimas begitu nekat menghampiri presiden? Apa yang diinginkannya? Ternyata aksi yang dilakukan Dimas ‘hanyalah’ untuk meminta bantuan biaya sekolah kepada presiden. Memakai kata ‘Hanyalah’ dalam tanda kutip disini, karena bagi sebagian orang, soal biaya sekolah tidak perlu melakukan aksi gila seperti itu dan langsung mencemooh apa yang dilakukan Dimas, sebagai cari sensasi dan memalukan. Ciss....
Namun Dimas mengatakan, dirinya sangat ingin sekolah dan menuntut banyak ilmu. Apa mau dikata kedua orangtuanya menganggur tanpa pekerjaan. Dirinya bingung hendak meminta bantuan kepada siapa. Sedangkan semua saudaranya juga sama-sama susah dan miskin. Boro-boro untuk nyekolahin anak, buat makan sekali sehari saja susahnya minta ampun.
Aksi yang dilakukan siswa cerdas dan aktif ini, memang sengaja dilakukannya dan sudah ia persiapkan sebelumnya. Terbetik pikiran menyampaikan masalahnya langsung kepada presiden. Kenapa tidak? Toh bukan aksi kejahatan, bukan pula salah kirim. Ia berikan langsung kepada Presiden, karena di tangannyalah nasib pendidikan jutaan anak bangsa tergantung, termasuk dirinya. Tidak sesuai prosedur? Memang, tapi Dimas sadar jika sesuai prosedur, suratnya tidak akan sampai ke tangan presiden. Surat apa sih di negeri ini, kalau tanpa ada uang pelicin akan berhasil dengan sukses.
Presiden kaget memang, menerima surat tersebut. Namun dengan bijak ia menerimanya dan ia simpan untuk ditindak lanjuti. Namun sampai kapan akan disimpan kita tidak tahu, jikapun ternyata ditindak lanjuti dan Dimas dibantu biaya sekolahnya. Haruskah berjuta-juta pelajar di negeri ini pun melompat menghadap presiden dan menyampaikan permohonan bantuan biaya pendidikan seperti yang dilakukan Dimas? Karena selama ini mereka menangis, berteriak, berpeluh basah dan berdarah-darah, tidak jua diperhatikan oleh anak buah mister presiden tersebut. Atau haruskah mereka meneladani aksi teman-temannya, menggantung diri, menyisit urat nadi, meminum jus obat nyamuk dan memenggal kepala orangtua. Atau bisa jadi tidak sesadis itu, cukup dengan pergi ke jalanan, kumpul-kumpul dengan para preman, kemudian berbangga menjadi sampah masyarakat.
Ironis memang, nasib bangsa ini. Di saat melimpahnya kekayaan dan hidup mewah dinikmati segelintir orang di negeri ini. Di saat pejabat yang telah salah kita pilih menumpuk-numpuk uang haram, sebagai ganti pengeluarannya saat pemilihan dan disaat pemerintah pusat disiplin menggelar gaji ketiga belas.
Di saat orang kaya bingung membelanjakan uangnya. Di saat yang sama pula, ada seorang ibu yang mengutil demi sekolah anaknya, ada seorang bapak mencuri sepeda demi SPP anaknya yang nunggak lima bulan. Ada seorang ibu yang menghabisi anak-anaknya karena tidak kuat membiayai sekolah mereka. Ada jutaan anak yang terpaksa terjun ke jalanan, mengemis dan menghiba recehan untuk sekedar bisa makan. Dan ada seorang siswa yang berlari menghiba kepada presiden agar dibantu biaya sekolahnya.
Masih banyak ironi yang seringkali dipertontonkan oleh negeri ini. Ada tim pelajar Indonesia untuk olimpiade matematika internasional, gagal total mengikuti ajang tersebut gara-gara pemerintah malas mengurusi visa mereka, yang sebenarnya bisa diurus dengan dua atau tiga hari saja. Padahal mereka telah bersusah payah mengikuti seleksi, dilatih berbulan-bulan dan siap mengharumkan nama bangsa. Sementara di sisi lain pemerintah senantiasa rajin dan sangat bersemangat mendukung keberangkatan duta kehancuran moral bangsa, puteri Indonesia untuk beradu keberanian mengumbar syahwat dan aurat di ajang Miss Universe.
Anggaran pendidikan bertambah tidak kemudian menjadikan pelajar optimis akan tenang belajar tanpa dikejar-kejar guru BP menagih uang SPP. Hingga saat ini kita terus berharap sampai kapan mimpi buruk ini akan berakhir. Sampai puisi kehilangan kata-kata indah, sampai kata-kata kehilangan maknanya dan sampai makna malu mewarnai pendidikan negeri ini. Kosong, hampa tanpa jiwa.
Kejayaan Pendidikan Islam
Kejayaan pendidikan Islam di masa silam, jelas tidak gratisan juga. Bahkan mahal. Tapi, biaya tinggi penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak dibebankan kepada masyarakat. Negara lah yang bertanggung jawab.
Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla (1963), Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok masyarakat akan pendidikan ,kesehatan dan keamanan. Ini mengacu kepada wasiat Rasulullah SAW yang diperkuat oleh ijma’ para Sahabat: “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR. Muslim)
Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru dan dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban Negara alias gratis (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji: 12). Rasulullah misalnya, setelah memenangi perang Badar, mempekerjakan sebagian tawanan untuk mengajari baca tulis sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001). Khalifah Umar ra dan Utsman ra memberikan gaji kepada para guru, muadzin dan imam shalat jamaah. Khalifah umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan Negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas Negara) (Rahman, 1996; Azmi, 2002; Muhammad, 2002). Gaji untuk para guru mengaji anak-anak di zaman khalifah Umar setara dengan gaji Guru Besar sebuah universitas di Indonesia saat ini.
Sejak abad IV H para Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
Di antara perguruan tinggi terbesar masa Islam adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di kairo. Madrasah Al-Mustanshiriyah didirikan oleh khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan. Lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. (Khalid, 1994).
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istambul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah itu dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
Jelas semua itu mahal biayanya. Tapi, sekali lagi, itu menjadi tanggung jawab Negara. Tentu saja Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya untuk turut menyelenggarakan pendidikan. Sejarah mencatat, saat itu banyak warga kaya yang membangun Sekolah dan Universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, atau Isfahan, terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang dibiayai wakaf pribadi (Qahaf, 2005). Salah satunya adalah wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar, berupa fasilitas kendaraan, asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa pendidikan. (Qahaf, 2005).
Kejayaan itu lahir karena pemimpin dan umat saat itu masih berpegang kuat pada dua warisan Rasulullah SAW yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Buktinya, setelah pemimpin dan umat mulai meninggalkan dua warisan tesebut akibat tergoda kenikmatan dan kemewahan duniawiyah, runtuhlah peradaban dan kejayaan kaum muslimin dengan sendirinya. Lalu, apalagi yang menghalangi kita untuk menanggulangi bencana pendidikan di negeri ini selain kembali ke pangkuan Al-Qur’an dan As-Sunnah?

MAULID NABI Sallallahu ‘alaihi wasallam Antara Bid’ah dan Khilafiyah

Oleh: Wildan Hasan

A. Dalil Nash al-Qur’an
1. QS. At-Taubah (9) : 24

B. Dalil Hadits
1. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol.I, hlm. 14; dan Muslim Shahih Muslim, vol. I, hlm. 76
“Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku ia lebih cintai daripada orangtua dan anaknya.”
2. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol.I, hlm. 14

“Tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan manusia seluruhnya.”
3. HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol. VI, hlm. 2445
“Umar Ra berkata kepada Nabi Saw, “Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Beliau berkata, ‘tidak, wahai Umar. Sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Umar berkata, “ Demi Allah, Engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri,” Beliau berkata, “Sekarang wahai Umar.”

C. Dalil aqwal Ulama
1. Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi Saw termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah Swt yang menyandingkan keduanya dan mengancan siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
2. Syekh Ali Jum’ah (Mufti Mesir), dalam Al-Bayan Al Qawim li Tashhih Ba’dhi Al-Mafahim, mengatakan:
“Merayakan maulid Nabi Saw telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah pendekatan kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al-Qur’an, dan dzikir-dzikir yang ditegaskan sejumlah Ulama seperti Al Hafidz Ibnu Jauzi, Al Hafidz Ibnu Katsir, Al Hafidz Ibnu Dihyah Al Andalusy, Al Hafidz Ibnu Hajar, dan Jalaluddin Al-Suyuthi.”
3. Syekh Ali Jum’ah juga menyebutkan, “Dalam kitab Al Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan maulid Nabi Saw. Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab Al Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.”
4. Imam Jalaluddin Al Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqashid fi amalil maulid mengatakan, “Hukum dasar kegiatan maulid yang berupa berkumpulnya orang-orang banyak, membaca beberapa ayat Al-Qur’an, menyampaikan khabar-khabara yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama, lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”

Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, “Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam al-Qur’an maupun di dalam sunnah,” dengan mengatakan, “ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak berarti tidak adanya sesuatu itu,”. Imam Suyuthi mengatakan, “bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.”

Imam Suyuthi juga berkata, “kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sunnah, atsar maupun ijma.’ Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam as-Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh sultannya para ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”
5. Pernyataan selengkapnya dari Imam Ibnu Hajj dalam kitabnya al-Madkhal, Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar tentang keutamaan perayaan maulid Nabi Saw bisa dilihat dalam kitab Al-Bayan Al Qawim li Tashhih Ba’dhi Al-Mafahim (terj) Syeikh Ali Jum’ah hlm. 43.

D. Makna Bid’ah dan Khilafiyah
1. Bid’ah dalam arti yang baik adalah ‘model’. Bid’ah dalam arti istilah syariah adalah ‘model hal-hal yang baru dalam hal agama’.
Bid’ah yang menurut kepastian hukum terlarang, bukan dalam bidang agama karena agama sangat luas, meliputi segala aspek kehidupan dan penghidupan, melainkan dalam bidang ibadah yang merupakan bagian dari agama, atau bahkan dalam bidang ibadah dalam arti khusus yang cara, acara, tata cara, dan upacaranya, telah diatur dan diperinci oleh Allah Swt dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an maupun Sunnah.
Bid’ah dalam pengertian ini bisa disebut terlarang karena memenuhi lima kriteria :
a. Menetapkan niat khusus sebagai ibadah ritual dan merasa berdosa jika meninggalkannya.
b. Dilakukan di waktu yang khusus, jika tidak merasa berdosa.
c. Dilakukan di tempat yang khusus, jika tidak merasa berdosa.
d. Menggunakan tata cara yang khusus dan tidak boleh keluar dari tata cara yang telah ditentukan.
e. Menggunakan doa-doa khusus dan tidak boleh menggunakan doa selain itu.

Sebagaimana Shalat sebagai ibadah ritual, menetapkan niat khusus untuk beribadah sholat, dilakukan di waktu-waktu yang khusus, di tempat-tempat tertentu (tidak boleh di kuburan dan tempat-tempat kotor), memakai tata cara yang khusus, dan bacaan-bacaan yang khusus.

Maka apakah perayaan maulid Nabi Saw yang selama ini dilakukan oleh umat Islam mengamalkan lima kriteria di atas? Jika ya maka jelas bid’ah, jika tidak maka bukan bid’ah.
Beberapa pertanyaan :
• kenapa harus dilakukan tiap tahun? Jawabannya, “kenapa juga acara silaturahim-silaturahim ba’da lebaran juga dilakukan tiap tahun?
• Bukankah itu tasyabbuh dengan praktek orang kafir (ulang Tahun/natal) Jawabannya, “Bukankah juga di Saudi selalu ada ulang tahun Raja, bukankah juga Saudi suka mengadakan perayaan ulang tahun Negara? Dan para Ulama di sana ikut hadir dalam perayaan-perayaan tersebut?
• Bukankah tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw dan para Shahabat? Jawabannya tergantung kita memposisikan maulid. Termasuk ibadah ritual kah atau hanya sekedar duniawiyah. Jika duniawiyah maka Rasulullah dan para Sahahabat tidak mungkin mencontohkan semua perkara duniawiyah. Semua perkataan Rasulullah adalah kebaikan tetapi tidak semua kebaikan dikatakan oleh Rasulullah.
2. Khilafiyah berarti “perbedaan”. Secara Istilah khilafiyah adalah perbedaan pendapat mengenai persoalan agama. Selanjutnya, hal yang harus dicatat adalah tidak ada khilafiyah dalam agama berarti :
a. Tidak ada khilafiyah dalam pokok agama Islam
b. Tidak ada khilafiyah dalam antaragama Ilahi
c. Khilafiyah terjadi dalam perkara furu’iyyah

E. Fiqh Waqie’
Sesungguhnya fikih berbicara tentang realitas. Maka fikih tidak boleh rigid, kaku dan menekan selama realitas itu tidak menyimpang dari pokok-pokok agama.

Fitna dan Tuan Van Dam

Oleh : Wildan Hasan

Harian Republika Jum’at (4/4) menurunkan wawancara dengan Duta Besar Belanda untuk Indonesia dan Timor Leste Dr. Nikolaos Van Dam terkait kasus film Fitna yang dibuat oleh politisi ultra kanan Belanda, Geert Wilders, yang menyulut kontroversi. Dalam wawancara tersebut dinyatakan bahwa tuan Van Dam hafal 15 surat dalam Al-Qur’an dan terkesan sangat simpatik. Namun apakah dengan hal seperti itu telah merubah sesuatu dari kasus Fitna? Ternyata tidak merubah apapun. Kecuali membuktikan kembali salah satu kemukjizatan Al-Quran yang akrab dan mudah dihafal oleh manusia bahkan oleh manusia yang mengingkarinya sekalipun. Berbanding terbalik dengan kitab suci tuan Van Dam yang apakah juga beliau dengan mudah hafal satu surat atau satu pasal saja dari Al-Kitab. Sementara Al-Qur’an keseluruhannya banyak dihafal oleh jutaan manusia.


Di sisi lain tuan Van Dam meminta umat Islam merenungkan surat Al-Zalzalah dalam menyikapi berbagai bencana yang terjadi saat ini. Ungkapan itu kembali terdengar sangat simpatik dan ucapan terimakasih patut disampaikan kepada tuan Van Dam atas masukannya tersebut. Sekalipun sebenarnya banyaknya bencana di muka bumi saat ini lebih banyak disebabkan bukan oleh umat Islam.
Pemerintah Belanda banyak berbicara soal kebebasan, kebebasan yang entah versi siapa. Termasuk arti kebebasan versi pemerintah Belanda yang kembali diulang oleh tuan Van Dam untuk membela sikap pemerintahnya terhadap kasus Geert Wilders. Sekali lagi hal ini tidak merubah apapun jika standar kebebasan yang dianut pemerintah Belanda tetap menerapkan standar ganda. Seharusnya sebagai sebuah pemerintahan yang sah, pemerintah Belanda harus memberikan hak beragama umat Islam yang juga warga Negara Belanda untuk menghirup udara kebebasan dan kemerdekaannya tanpa harus terganggu oleh orang-orang yang tidak mampu menghargai hak dirinya sendiri. Sebenarnya pemerintah Belanda dengan segala kewenangannya bisa melakukan hal yang lebih daripada hanya sekedar pernyataan dan himbauan, sehingga mampu menjelma menjadi sebuah pemerintahan yang layak dihargai oleh warga masyarakat Negara lain. Kalau hanya sekedar menolak dan mengecam, rakyat jelata juga mampu melakukan hal itu. Namun bukan untuk itu sebuah pemerintahan ditegakkan. Sekali lagi tanpa adanya tindakan nyata, sikap seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah menghadapi warga Negara yang mencoreng muka bangsanya sendiri. Buat apa ada aturan, undang-undang, penegak hukum dan pemimpin negara jika ternyata wewenangnya hanya menyatakan dan menyatakan? Maka kasus-kasus seperti ini akan terus bermunculan selama penyikapannya masih terus ambigu tidak berubah. Jadi siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, pemerintah Belanda atau Geert Wilders?
Di bagian lain wawancara, tuan Van Dam sendiri menyatakan bahwa sebagian besar pejabat pemerintah Belanda menolak pendapat bahwa Islam menyebabkan kekerasan seperti serangan terhadap WTC dan bom Madrid. Dari pernyataan itu artinya sebagian yang lain yakin bahwa pelaku pemboman itu adalah umat Islam dan Islam identik dengan kekerasan. Artinya pula di pemerintahan Belanda tidak ada kesatuan kata untuk menyikapi kasus yang maha dahsyat, sangat fatal dan luar biasa sensitif seperti ini.
Tuan Van Dam melanjutkan bahwa dalam setiap masyarakat ada ekstremis, baik di masyarakat Kristen, Islam, Budha dan masyarakat lainnya. Tuan Van Dam dengan pernyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa yang melakukan peledakan-peledakan itu adalah ekstremis Islam. Masalahnya adalah adakah bukti dan faktanya? Tuan Van Dam pun sebenarnya tahu bahwa sampai saat ini tidak ada yang bisa menunjukkan bukti sahih umat Islam yang melakukannya. Sebaiknya tuan Van Dam sebagai orang yang bergelar Doktor berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan sebelum jelas fakta dan datanya agar tidak menodai dunia akademis.
Tuan Van Dam ternyata tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan pola pikir Orientalis masa lalu yang mengadu domba umat Islam dengan pemilahan antara ekstremis dan moderat. Seolah-olah ada sisi ekstremisme dalam Islam. Padahal Islam tidak mengenal istilah-istilah seperti itu jika tuan Van Dam dengan benar mempelajari Islam. Dalam Islam tidak ada sisi ekstrim yang kemudian bisa membawa sebagian umatnya menjadi ekstremis. Adapun ada sebagian kecil umat Islam yang bertindak ekstrim, maka dapat dipastikan dia telah menyalahi aturan agamanya dan akan dianggap bersalah serta dijatuhi hukuman tanpa harus ada cap sebagai ekstremis Islam. Nampaknya saat ini dan seterusnya tuan Van Dam harus benar-benar membersihkan jiwa kolonialisme yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Kecuali –sebagai bentuk kebebasan- beliau bersedia dicap juga sebagai ekstremis Belanda. Sekalipun pada akhir wawancaranya beliau mengoreksi pemilahannya tersebut.
Hal di atas mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Kepala Bagian Politik Kedutaan Besar Belanda, Paul Ymkeers (Republika, Jum’at 4/4) saat mengunjungi konsulatnya di Medan yang dirusak oleh mahasiswa. Dia kecewa atas bentuk penolakan film Fitna dengan perusakan karena pemerintah Belanda juga menolaknya. Tentu perbuatan mahasiswa di Medan patut disesalkan karena akan semakin mengaburkan penyelesaian kasus ini. Namun Mahasiswa Medan masih jauh lebih baik daripada sebagian lain umat Islam yang tidak merasa sakit ketika kehormatan agamanya dinodai. Jika pemerintah Belanda mau berkaca tidakkah mereka menyadari bahwa aksi anarkis Mahasiswa itu - termasuk aksi-aksi anarkis mahasiswa lainnya di berbagai belahan bumi Indonesia – bisa jadi adalah sisa-sisa dari ‘teladan’ yang Belanda wariskan saat menjajah Indonesia. Bukankah pada waktu itu lebih dari tiga ratus tahun kolonial Belanda begitu mapan menerapkan kekerasan kepada rakyat Indonesia yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan memecahkan kaca-kaca jendela konsulat.
Sementara itu sikap pemerintah Indonesia dalam menyikapi kasus ini sudah bisa ditebak. Dimana politik fragmatis memang benar-benar mengendalikan negeri ini. Sekalipun terkesan sangat simpatik membela dan menjunjung kewibawaan umat Islam ujung-ujungnya hanya ingin memperkuat pesona dan aura. Pemerintah kita berani bersuara keras ketika seluruh dunia pun mengutuk kasus itu termasuk PBB dan Amerika. Bisa dibayangkan apakah pemerintah akan menyatakan hal yang sama ketika PBB dan Amerika mengeluarkan suara yang justru mendukung Wilders. Sejak kapan pemerintah mendukung secara konkrit dan terang-terangan proyek pembangunan dan pemberdayaan umat Islam selain hanya Life service semata. Kalau hanya sekedar pernyataan dan penegasan, siapa pun yang memimpin ketika situasi politik dunia mendukung akan aman dan prestise. Soal Pelarangan peredaran film itu apakah pemerintah sudah bergerak sementara banyak orang sudah menyaksikan film tersebut. Kemudian pencekalan terhadap Wilders nampaknya tidak akan berlaku efektif, toh ‘warga’ zionis Israel saja yang lalu lalang di Indonesia selama ini tidak ada tindakan apa pun dari pemerintah dan apa untungnya Wilders berkenan mengunjungi Indonesia?
Satu hal yang harus diapresiasi dari tuan Van Dam adalah beliau mampu berbahasa Arab dengan fasih karena memang lama malang melintang menjadi duta besar di Negara-negara Arab. Terutama saat beliau menyatakan bahwa bahasa Arab lebih mudah dibandingkan dengan bahasa lain serta mengakui bahwa bahasa Al-Qur’an adalah bahasa yang paling tinggi. Semoga pernyataan itu murni keluar dari kesadaran hati nurani dan semakin mendekatkan beliau kepada agama yang haq. Namun tanpa dinyatakan seperti itu pun Al-Qur’an dan Islam adalah ya’lu wa laa yu’la ‘alaih (tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya).
Di luar itu semua salut untuk tuan Van Dam yang mau membuka pintu dialog di saat pemimpin-pemimpin barat lainnya lebih mengedepankan aksi-aksi kekerasan terhadap umat Islam. Tentu dialog yang sama sederajat, tidak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Dialog yang tujuannya untuk mencari kebenaran yang satu, bukan menyatakan sama-sama benar atas dasar fanatisme, egoisme dan kebodohan. Karena sesungguhnya dengan kebenaran Islam itu sendiri, Islam tidak anti dialog bahkan menantang dialog dan pembuktian supaya jelaslah bahwa hanya Islam agama yang benar. “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah 2:23). Wallahu a’lam

Relevansi Ayatul Qur’aniyah dan Ayatul Kauniyah di Palestina

alhamdulillah israel laknatullah telah menarik pasukannya di gazza, dari perang - perang yang lalu setidaknya tercatat lebih dari 1400-an jiwa melayang dan limaribuan yang lainnya luka-luka. Mungkin banyak air mata yang mulai mengering, telinga menjadi panas, dan hati serasa jenuh mendengar pemberitaan korban di Gaza yang terus bertambah. Tapi kita memang harus terus bicara tentang Palestina.

Kita harus terus menyuarakan kegelisahan kita, menyampaikan kepedulian kita, atau setidaknya meneriakkan jeritan hati kita melalui takbir dan doa-doa yang terlantunkan. Tidak boleh ada perasaan bosan saat mendengar berita Palestina. Tidak boleh kita berputus asa dalam melantunkan doa-doa untuk saudara kita disana. Tidak boleh merasa doa kita sia-sia. Tidak boleh pula kita mengira bahwa zionis Israel akan dibiarkan dengan kesombongannya begitu saja. Karena Allah SWT berfirman :

” Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak ( QS Ibrahim 42)

Hari ini kita melihat pemberitaan yang begitu beragam tentang fakta-fakta yang terjadi di Palestina. Ada yang mengutuk kekejian Israel, ada pula yang memprotes keangkuhan Amerika, Ada pula yang mengkritik pemimpin Arab yang ‘jubana’ (pengecut), bahkan ada pula yang tetap konsisten memberitakan Hamas sebagai teroris dan biang kerok semua permasalahan ini. Semuanya begitu kompleks dan membingungkan, sehingga banyak orang yang begitu bersedih dan berempati dengan pemandangan gambar-gambar korban dan ledakan, namun sedikit yang mengetahui hakikat permasalahan dan fakta yang shohih atau ayat-ayat qur’aniyah yang berkesuaian dengan ayat-ayat kauniyah sebagai salah satu tanda kebesaran Allah di Palestina.

Karenanya, kita perlu memetakan lebih jelas tentang permasalahan Palestina. Saya ingin mengungkapkan fakta-fakta dalam al-Quran dalam memetakan masalah ini. Bahwasanya Al-Quran jauh-jauh hari telah menggambarkan fakta-fakta yang terjadi hari ini di Palestina melalui ayat-ayatnya yang mulia. Ini semua penting agar kita bisa berpikir lebih mendalam, lebih strategis dan lebih fokus dalam menyusun langkah kontribusi kita untuk Palestina. Agar kita tidak reaktif dan mudah terkejut, dan selalu shock dalam mendengar pemberitaan masalah Palestina.

Berikut fakta-fakta yang telah digambarkan Al-Quran, dan sekarang terjadi begitu nyata di Palestina.
Fakta 1 : Adanya Yahudi yang Sadis & Bengis terhadap orang muslim, serta senantiasa melanggar perjanjian Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.(Al-Maidah 82).

Ketika Al-Quran 14abad yang lalu telah jelas menyatakan fakta bahwa Yahudi menyimpan permusuhan yang amat keras terhadap umat Islam, maka hari ini kita menyaksikan dengan jelas gambaran permusuhan itu begitu nyata di depan mata kita. Jika ’sekedar’ menghitung angka korban jiwa dan luka-luka mungkin belum mewakili gambaran kebuasan mereka. Ada gambaran yang lebih buas dari hitungan angka-angka, saat Shadr seorang perempuan kecil berumur 4 tahun harus tewas menyongsong peluru tentara Israel di dadanya. Bahkan sang ayah tidak bisa menyelamatkan jasad putrinya, karena beberapa detik berikutnya datang sekumpulan anjing-anjing pelacak Israel untuk segera menyantap si kecil yang syahid itu. Seolah-olah tentara Israel itu memang membidikkan pelurunya untuk berburu makanan bagi anjing peliharaannya. Gambaran lain tak kalah mengerikannya adalah saat tubuh-tubuh yang tak bernyawa di tengah jalan harus remuk terlindas oleh tank-tank zionis yang bergerak memasuki gaza. Begitu pula penggunaan senjata fosfor putih oleh tentara Israel yang tidak pernah ditemukan dalam kamus kekejaman bangsa lainnya. Adakah kebiadabaan manusia yang melebihi gambaran di atas ? Fakta Al-Quran tentang kebengisan Yahudi ini membuat kita sadar, bagaimana cara terbaik menghadapi Zionis Israel.

Kemudian dalam ayat yang lain Allah SWT memberitahukan kepada Rasulullah SAW tentang karakter Yahudi :

” (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya”). (Al-Anfal 56). Inilah fakta lain tentang Yahudi yang sudah diungkapkan Al-Quran sejak awal risalah Islam. Karenanya akan sangat aneh jika masih ada pemimpin Islam yang berharap banyak untuk mengadakan perjanjian dengan Israel, seolah-olah lupa dengan Fakta Quran dan fakta sejarah kenabian. Jika kita membaca ulang sejarah Yahudi dalam Siroh Nabawiyah, maka akan ada kesimpulan utuh bahwa sejarah Yahudi adalah sejarah pembangkangan dan penghianatan.

Fakta 2 : Adanya kaum muslimin yang terusir dan terbunuh di Palestina karena keyakinan mereka berislam. Allah SWT berfirman :

” .. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” (QS Haj 40)
Al-Quran begitu jelas menggambarkan fakta adanya orang-orang yang terusir dan teraniaya ‘hanya’ karena mereka teguh memegang aqidah mereka. Penderitaan penduduk Palestina hari ini –dan sejak setengah abad yang lampau- adalah bukti riil fakta al-Quran di atas. Mereka teguh dengan agama mereka, yakin dengan kemuliaan Islam, karenanya mereka tidak rela Masjid Al-Aqsho dikuasai Zionis Israel. Maka merekapun bertahan, merekapun melawan, mempertahankan sejengkal tanah kemuliaan Islam dari jajahan zionis. Karena semua alasan mulia itulah hari ini banyak warga Palestina meregang nyawa.

Fakta 3 : Adanya Skenario Global di balik konflik Palestina . Allah SWT berfirman :

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka (Al Baqoroh 120)

Dibalik fakta keangkuhan Israel hari ini, adalah karena adanya dukungan setia Amerika. Bahkan kita lihat titik balik keberadaan negara Israel di Palestina, adalah karena kebaikan hati Inggris kepada kaum Yahudi, sekaligus kebencian mereka terhadap Islam. Dua negara besar ini selalu konsisten mendukung Zionis Israel. Bukan hanya teknis persenjataan yang selalu disuplai, tetapi juga kebijakan-kebijakan perdamaian dan juga ‘ pengkhianatan’ perdamaian yang selalu diamankan oleh Amerika. Resolusi PBB untuk gencatan senjata dua pekan lalu–dengan abstainnya Amerika- adalah salah satu keajaiban dunia yang menyalahi sejarah konsistensi dukungan Amerika terhadap Israel.

Biasanya Amerika akan dengan mudah memveto setiap kebijakan yang merugikan zionis, adik tirinya tersebut. Tapi tidak ada yang berubah dari Amerika, berita menyebutkan pertemuan dua Menlu AS-Israel ; Condolize Reece dan Tzipi Livni yang mengukuhkan kesepakatan untuk menghalangi sekuat tenaga masuknya dukungan persenjataan ke Palestina. Jadi, tidak ada yang salah dengan fakta Al-Quran.

Fakta 4 : Adanya Benih-benih kemunafikan yang mengganggu perjuangan Jihad. Allah SWT berfirman :

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.”(Al-Hasyr 11)

Fakta Al-Quran dan juga fakta sejarah kenabian selalu mengingatkan kita adanya bahaya dari dalam. Jangankan hari ini saat umat Islam dalam kondisi lemah dan terpecah, bahkan di barisan pasukan Rasulullah SAW di Madinah pun bercokol sekelompok munafik yang terus aktif menghasut dan menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Masih ingat bukan peperangan Uhud, saat 300 dari 1000 pasukan rasulullah SAW membelot mundur ke Madinah karena kecewa dengan keputusan Rasulullah SAW ?
Maka hari ini kita menyaksikan adanya dua negara arab besar yang memboikot KTT darurat Liga Arab di Dhoha, Qatar yang sedianya direncanakan menghasilkan keputusan yang ‘keras’ dan efektif untuk menghentikan kebiadaban Israel. Adakah ungkapan yang lebih halus untuk mengganti kata ‘kemunafikan’ bagi kedua bangsa tersebut ?.
Belum lagi masalah perbatasan Rafah yang masih saja ditutup oleh pemerintah Mesir. Sehingga dukungan kemanusiaan, apalagi mujahidin dan persenjataan tidak bisa menjangkau Gaza. Kisahnya sangat berkebalikan dengan yang terjadi di Afghanistan saat melawan Uni Soviet duapuluh tahun yang lampau, saat Pakistan membuka perbatasannya untuk masuknya mujahidin dan persenjataanya ke Afhanistan. Hari ini pemerintah Mesir menjadi ‘bemper’ pelindung Zionis Israel dari masuknya solidaritas muslim internasional. Begitu pula saat bicara dengan pemimpin-pemimpin Arab, Husni Mubarok sekuat tenaga meyakinkan teman-temannya untuk tetap lunak pada Israel. Tanpa sadar, nampaknya presiden ‘Husni Mubarok’ ingin mengulangi kelakuan Abdullah bin Ubay yang mati-matian membela Yahudi Bani Qainuqo’ saat Rasulullah SAW akan memberikan sanksi atas pengkhianatan yang mereka lakukan pada konstitusi Madinah. Nah, adakah ungkapan yang lebih halus dari ‘kemunafikan’ untuk menggambarkan sikap tersebut ?

Fakta 5 : Ada banyak kaum banyak kaum muslimin lemah tidak berdaya . Ada perubahan besar terjadi pada gaya hidup sebagian besar kaum muslimin paska tumbangnya kekhalifahan Utsmaniyah di Turki. Banyak negara muslimin dijajah oleh negara-negara Barat dan penduduknya pun mulai mengadopsi pemikiran dan gaya hidup Barat yang materialis. Akibatnya, cinta harta dan dunia mulai mengakar dalam kehidupan kaum muslimin.

Pada saat itulah, jihad yang membentengi kemuliaan Islam mulai tergerogoti. Al-Quran telah menggambarkan fakta tersebut dengan jelas .. Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit (At-Taubah 38)

Kelemahan inilah yang segera ditangkap oleh musuh-musuh Islam. Mereka kini lebih berani dalam menganiaya dan menginjak-injak negeri Islam karena merasa ‘aman’ dengan lemahnya semangat kaum muslimin dalam berjihad. Lihat saja penyerangan secara sistematis pada negeri muslim dalam dua warsa terakhir ini. Dari mulai Afghanistan, Irak, Palestina, hingga negara-negara yang masuk dalam daftar tunggu penyerangan seperti ; Iran, Sudan dan Suriah.

Gambaran seperti inilah yang juga terjadi di Palestina, keangkuhan Israel dalam membombardir Palestina dengan penuh percaya diri, salah satunya karena mereka yakin tidak ada satu negara muslim pun yang berani mengirimkan pasukannya membela Palestina atas nama jihad. Negara-negara muslim dalam kondisi lemah dan takut menghadapi balasan Amerika dan sekutunya face to face. Akhirnya Israel melenggang begitu nyamannya dalam menebar bom cluster di bumi Palestina. Tidak ada pembelaan dari negara-negara muslim tetangganya. Hizbullah Libanon pun malu-malu untuk mengirimkan roketnya ke wilayah Israel. Bahkan Iran yang sempat ‘berkoar-koar’ pun belum sekalipun mengarahkan roketnya ke Israel. Sudan yang dipimpin oleh Jenderal Mujahid pun harus berdiam diri karena sibuk dengan konflik Darfur yang juga disutradari Amerika.

Inilah kenyataan hari ini, dan ini pulalah yang sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, bahwa umat Islam akan menjadi santapan bangsa-bangsa lain di akhir zaman. Bukan karena jumlah mereka yang sedikit, bahkan banyak, tapi bagaikan buih yang terombang ambing lemah tak berdaya. Semua ini karena umat Islam terjangkiti sindrom wahn, yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW : ” Cinta dunia dan takut mati ” (HR Abu Daud)

Fakta 6 : Ada kelompok yang senantiasa mengusung tinggi jihad untuk menegakkan kalimatullah tanpa ragu dan gentar. Allah SWT berfirman :

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya) (QS Al Ahzab 23).

Al-Quran, menyebutkan fakta akan adanya golongan yang senantiasa ’setia’ untuk memperjuangkan kejayaan Islam. Bahkan meskipun diantara mereka banyak yang telah berguguran, tidak sedikitpun membuat komitmen mereka untuk berjihad mundur dan luntur. Hari ini tidak bisa dipungkiri bahwa Hamas tampil sebagai gambaran riil fakta Al-Quran tersebut. Tuduhan organisasi teroris tidak membuatnya gentar sejengkalpun. Termasuk tuduhan bahwa Hamas tersusupi orang dan faham Syiah Rafidhah jelas harus dibuktikan oleh si penuduh. Karena itulah yang digariskan Nabi kita “si penuduh harus mendatangkan bukti dan tertuduh harus bersumpah”. Adakah sekarang para penuduh itu memberikan bukti yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan? Petinggi Hamas Kholid Meshal dalam banyak kesempatan senantiasa mengulang-ulang sikap Hamas yang tidak akan mundur dalam mempertahankan Gaza. Pemborbardiran Zionis Israel disambut dengan perlawanan sekuat tenaga.

Logika mana yang bisa menjelaskan Hamas yang awalnya adalah sebuah organisasi massa Islam, kini bertarung dengan gagah melawan Zionis Israel yang mempunyai kekuatan militer terkuat di Timur Tengah ? . Kesimpulan paling mudah yang kita tangkap adalah ‘ konsistensi’ Hamas dalam berjihad, itulah yang membuat mereka tetap eksis dan terus melawan. Ruh Jihad menjadi semacam jaminan bagi kekuatan sekecil apapun untuk melawan kekuatan sebesar apapun. Bukankah Allah SWT berfirman :

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.(QS Al-Baqoroh 249)

Akhirnya, semua ungkapan dan isyarat kekaguman dan penghormatan, entah itu pekikan takbir, standing avocation, apllause, angkat topi, hormat tangan, atau apa saja yang bisa mengungkapkan kekaguman sangatlah layak diberikan pada Hamas. Setelah kagum, tentu saja kita juga harus menjadi bagian yang mendukung perjuangan jihad tersebut. Siapa yang bisa menahan keinginan untuk tidak bergabung dalam barisan pembela kebenaran yang telah dijamin eksistensinya oleh Rasulullah. Tidaklah berlebihan, jika dikatakan fenomena Hamas hari ini adalah bukti riil keberadaan kelompok jihad abadi di muka bumi ini, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : ” Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak memperjuangkan kebenaran, dan mereka tidak akan terpengaruh dengan orang-orang yang memusuhi dan memerangi mereka “. (HR Muslim). Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh sahabat tentang siapa mereka itu ?. Maka beliau menjawab : ” di sekitar masjid al-Aqsha”. Subhanallah

Dan fakta mengapa Allah Menghendaki Terjadinya Perang Palestina vs Israel

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali- Imran:142)

Berbicara tentang Yahudi, sama saja dengan membicarakan tingkah polah suatu kaum yang tidak akan pernah habis-habisnya. Kelakuan kaum Yahudi bukan hanya sekedar suatu kebetulan. Kelakuan mereka yang cenderung meremehkan kaum lain yang ada di sekitar mereka, sudah sering terjadi sejak dulunya, bahkan di dunia Islam sepak terjang kaum hina ini dicatat dalam surat tersendiri di dalam Al-Qur’an, yaitu Surat Bani Israil (Al-Israa’, surat ke-17).

Seperti apakah sebenarnya bangsa Yahudi itu? Lalu apakah bangsa yang telah ditakdirkan menjadi bangsa yang cerdik itu akan terus menguasai dunia? Bagaimana dengan kaum muslimin?

Sejak berlangsungnya diaspora (bercerainya kaum Yahudi ke seluruh penjuru dunia), mereka telah menjalani babakan sejarah yang amat pekat. Mereka bertebaran di muka bumi, hidup hanya mengandalkan belas kasihan bangsa-bangsa lain. Mereka tinggal di perkampungan tertutup yang dinamai ghetto. Akan tetapi mereka termasuk bangsa yang tidak tahu membalas budi, sehingga bangsa-bangsa yang menerima kehadirannya merasa gundah dan terancam. Keadaan tersebut membuahkan perasaan anti Yahudi yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. Pengusiran, pengejaran, teror, dan pembunuhan menjadi warna hidup sehari-hari Yahudi. Kita mencatatnya, bagaimana di bawah kekuasaan Nebuchadznezar misalnya, bangsa Babilonia menumpas habis setiap orang Yahudi di wilayahnya. Begitu pula kejadian yang menimpa mereka pada abad VII M, yaitu ketika Romawi menggulung orang-orang Yahudi di atas bumi Romawi.

Untunglah, dengan munculnya Kekhilafahan Islam, eksistensi mereka terselamatkan (karena semua negara sudah memusuhi mereka) untuk sementara. Namun keadaan tersebut tidak berarti sikap, tabiat, dan sifat-sifat yang mejadi ciri khas bangsa Yahudi sejak dahulu hilang (berubah). Malah dengan terang-terangan mereka menyebarkan intrik politik dan sosial, keresahan ekonomi, dan berbagai macam racun masyarakat ke tengah-tengah kaum muslimin.

Persekongkolan Yahudi dengan para Imperialis Barat dan permusuhannya terhadap kaum muslimin berlanjut sepanjang sejarah, tidak pernah patah di tengah jalan, apalagi berhenti. Di awal abad ini bersama-sama kekuatan lain yang memusuhi Islam, mereka berjaya menggulingkan Kekhilafahan Islam di Istanbul, negara yang sebelumnya melindungi mereka dari kematian dan kepunahannya.

Kejadian yang paling tragis yang menimpa mereka adalah, pembantaian menjelang Perang Dunia II terhadap lebih dari enam juta orang Yahudi di Jerman oleh Nazi Jerman di bawah kekejaman Hitler. Memang tidak ada satu bangsapun di dunia ini mengalami penderitaan begitu lama dan penghinaan yang menginjak-injak martabat mereka sebagai manusia (penyiksaan yang teramat kejam) selain bangsa Yahudi. Tetapi pada dasarnya, perlakuan yang tidak simpatik dan tindakan lainnya yang dilakukan oleh setiap bangsa terhadap mereka tidak lain adalah merupakan akibat ulah mereka. Merekalah kaum yang berani mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu fakir dan kami adalah kaum yang kaya” (QS. Ali Imran 181) dan, “Tangan Allah itu terbelenggu (kikir)” (QS. Al Maidah 64). Begitu murkanya Allah kepada mereka sehingga sebagian dari mereka dikutuk menjadi babi dan kera, sesuai firman Allah SWT:

“…yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi…” (QS. Al Maidah 60, lihat pula QS. Al Baqarah 65).
Mahabenar Allah SWT dengan segala firmanNya: “Maka, Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan (melaknat dan mengutuk mereka) disebabkan mereka melanggar perjanjian itu dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar” (QS.An Nisaa’ 155)
“…lalu ditimpakanlah kepada mereka (kaum Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapatkan kemurkaan dari Allah. Hal itu terjadi karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar…” (QS. Al Baqarah 61).
Kehinaanpun akan meliputi mereka dimana-mana, firman Allah SWT:
“Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada,…dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah…” (QS. Ali Imran 112).

Tidaklah berlebihan kiranya apabila mereka dijadikan lakon dalam sejarah peradaban manusia. Bahkan Al Qur’an pun memberikan nama salah satu suratnya dengan surat Bani Israil (Al Israa’), surat ke-17, karena peran dan kedudukan mereka dalam sejarah manusia. Surat itu juga yang kemudian menegaskan kehancuran atas kesombongan mereka. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya kamu (Bani Israil) akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan kamu pasti akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman kejahatan yang pertama dari kejahatan itu, Kami mendatangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar, lalu mereka mencarimu keluar masuk kampung ke seluruh negeri. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana” (QS. Al Israa’ 4-5).

Bila kita perhatikan ayat di atas yang membahas tentang pengrusakan yang dilakukan oleh orang Yahudi, maka muncul pertanyaan: apakah mereka sudah melakukannya (sebelum ayat-ayat tersebut turun) atau belum? Perlu diketahui bahwa ayat tersebut turunnya di Makkah, jauh sebelum kaum muslimin mempunyai kekuasaan dan kekuatan di Madinah.
Menurut catatan sejarah, bangsa Yahudi telah berkali-kali mengalami kehancuran sebelum datangnya Islam dan sebelum turunnya ayat-ayat di atas. Mereka pernah menelan pil pahit yang nyaris merenggut keberadaan bangsa Yahudi di masa peradaban Babilonia dan Romawi (seperti yang telah disampaikan di alinea sebelumnya), begitu pula yang dilakukan bangsa-bangsa lain sebelum Islam datang. Bukan hal yang perlu dipungkiri jika kesombongan dan kerusakan yang lebih besar lagi akan mereka ulangi di masa yang akan datang sampai akhirnya Allah SWT akan melenyapkan mereka dari permukaan bumi ini.

Apabila kita mendalami ayat-ayat tersebut di atas dengan cermat (dengan menggunakan kaidah Bahasa Arab), akan kita temukan bahwa kata tufsidunna dan ta’lunna merupakan bentukan fi’il mudhari’ (kata kerja yang berlaku untuk masa akan datang (pasti terjadi) atau sekarang), sedangkan ‘lam’ di awal kedua kata tersebut memastikan bahwa kata tersebut merupakan bentuk karta kerja akan datang (future) bukan sekarang (present). Dengan demikian, makna lafadz latufsidunna berarti ‘kamu pasti akan melakukan kerusakan’ dan lafadz lata’lunna berarti ‘kamu pasti akan melakukan kesombongan’. Lafadz ‘latufsidunna’ diberi penjelasan bahwa akan terjadi dua kali, sedangkan ‘lata’lunna’ mendapat penegasan dengan lafadz ‘ulluwan’ yaitu suatu kesombongan yang bersifat kabiiran (besar) dan ditambah lafadz ‘kabiiran’ itu sendiri; berarti kesombongan yang sangat besar. Kemudian ayat berikutnya disambung dengan lafadz ‘idzaa’ yang berarti ‘apabila’ dan ‘fa’ sebelumnya yang merupakan penghubung yang menunjukkan suatu kejadian yang terjadi segera setelah keadaan sebelumnya terpenuhi.

Dari pengertian bahasa, maka kita fahami bahwasanya bangsa Yahudi melakukan kerusakan yang pertama setelah ayat tersebut turun. Kemudian disusul dengan penghancuran yang menimpa mereka tanpa menunggu waktu yang lebih lama (sesuai dengan kata hubung ‘fa’ tadi). Allah SWT melanjutkan firmanNya:
Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar, lalu mereka mencarimu keluar-masuk kampung di seluruh negeri” (QS. Al Israa’ 5).
Lafadz ‘ibaadan lanaa’ yang berarti hamba-hamba Kami, merupakan suatu kehormatan bagi orang-orang tersebut yang akan menghancurkan hegemoni Yahudi. Siapakah sesungguhnya yang dimaksud hamba-hamba Kami? Tidak lain adalah kaum mu’minin, sekelompok kaum yang pantas mendapat predikat ‘ibaadan lanaa’, sebagaimana pernyataan ayat:

Dan hamba-hamba Ar Rahmaan yang berjalan di muka bumi, (memiliki sifat) rendah hati dan apabila mereka ditegur sapa oleh orang-orang jahil, mereka mengucapkan selamat (salam)” (QS. Al Furqon 63).

Sudah barang tentu gelar kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Allah SWT tersebut tidak sesuai dengan sifat-sifat bangsa Babilonia atau Romawi yang pernah menghancurkan bangsa Yahudi sebelumnya. Penghormatan dan kemuliaan itu lebih berhak disandang oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang hijrah ke Madinah, negeri tempat kekuasaan, politik, dan ekonomi bangsa Yahudi waktu itu. Tak aneh apabila Rasulullah SAW pertama kali sampai di Madinah langsung menyusun resolusi dan perjanjian politik antara kaum muslimin dengan bangsa Yahudi.

Tetapi bangsa, yang telah mendapat laknat Allah, itu telah melanggar dan merusak perjanjian yang sebelumnya mereka sepakati. Oleh karena itu, Allah SWT mendatangkan kepada mereka hamba-hambaNya (kaum mu’minin) yang mempunyai kekuatan besar, lalu mencari Yahudi keluar masuk kampung ke seluruh pelosok negeri. Berakhirlah kedigjayaan, kepongahan, dan kekuasaan bangsa Yahudi di Madinah, Khaibar, dan kawasan Taima. Bahkan tidak kepalang tanggung, hancurlah seluruh pengaruh dan impian mereka untuk bercokol di bumi Arab. Maha benar Allah SWT dengan firmanNya:
Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir dari ahli kitab itu dari negeri-negeri mereka pada waktu pengusiran yang pertama kali. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar, dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan mampu mempertahankan mereka dari hukuman Allah…” (QS. Al Hasyr 2).

KAPAN KEHANCURAN YAHUDI YANG TERAKHIR ?
Pengusiran dan kehancuran Yahudi yang pertama mengakibatkan tersebarnya koloni-koloni mereka ke seluruh penjuru (diaspora) di masa Rasulullah SAW beserta sahabatnya masih hidup. Inilah rahasia lafadz terakhir ayat tadi (Al Israa’ 5), yaitu wa kaana wa dan maf’uulaa yang berarti ‘dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana’. Ayat berikutnya menggambarkan babakan kedua dari kesombongan dan kepongahan mereka:
“Kemudian kami berikan giliran padamu untuk mengalahkan mereka kembali, dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak (keturunan), dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” (QS. Al Israa’ 6).

Ayat ini mengisyaratkan bahwasanya Allah SWT akan memberikan giliran kepada bangsa Yahudi untuk mengalahkan “mereka”. “Mereka” pada ayat ini berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu orang yang pernah mengusir dan mengejar Yahudi keluar masuk kampung di seluruh negeri. Ayat ini diawali dengan lafadz tsumma yang berfungsi sebagai kata penghubung, yang menghubungkan kejadian pertama dan kejadian kedua dengan memberikan jeda (waktu atau kurun) yang agak lama. Berbeda dengan lafadz fa.
Mahabenar Allah SWT yang menunjukkan kepada kita saat ini Kebesaran dan KeagunganNya dengan mengukir kemenangan bangsa Yahudi atas kaum muslimin. Bangsa Yahudi berhasil membalas sakit hatinya dengan menduduki kembali negeri-negeri Syam dan Palestina, serta mengalahkan pengaruh kaum muslimin di wilayah itu.

Pada ayat di atas tercantum lafadz ‘al karrata’, yang dapat diartikan pula dengan ‘kekuasaan’, disambung dengan ‘dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak (keturunan), dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar’. Kebenaran ayat ini juga tak perlu disangsikan lagi, dengan melimpahnya bantuan ekonomi maupun politik terhadap bangsa Yahudi Israel serta dengan mengalirderasnya arus imigran Yahudi dari segala penjuru dunia ke bumi Palestina, tanpa bisa dicegah lagi oleh kaum muslimin. Kekuatan ekonomi dan militer Barat hampir seluruhnya berdiri di belakang Yahudi, sebagai konsekuensi bagi mereka yang telah melahirkan negara Israel pada tahun 1948. Karenanya, kesombongan dan kepongahan mereka pun meningkat, sesuai dengan derajat kesombongan kedua yang dilukiskan dalam Al Qur’an. Sejarah modern pun mencatat lembaran hitam kaum muslimin akibat ulah bangsa Yahudi, sebagaimana dipaparkan di bawah.

Tanpa mengindahkan kekhawatiran dunia, bangsa Yahudi melompati batas-batas wilayahnya, menduduki kawasan lain yang dapat memeliharanya dari bencana dan kemarahan orang-orang Arab (baca: kaum muslimin), melakukan teror dan pembunuhan, perburuan dan penyiksaan yang belum pernah ditemui dalam sejarah kekejian manusia. Berapa banyak anak-anak kaum muslimin menjadi yatim piatu, wanita yang menjadi janda, orang tua kehilangan anak-anaknya, wanita yang direnggut kehormatannya, rumah-rumah milik kaum muslimin yang dihancurkan, tanah penduduk yang dirampas, tanpa ada balas budi atas kebaikan kaum muslimin di masa lampau terhadap mereka (di masa Kekhilafahan Turki Utsmani bangsa Yahudi kebanyakan menjadi Ahludz Dzimmah*)). Malahan dengan biadab mereka merusak dan membakar Masjidil Aqsha (tahun 1969), merobek-robek Kitab Suci Al Qur’an, dan membunuh jama’ah yang sedang melakukan shalat. Kalaulah kita ingin mencatat kebiadaban mereka, maka akan masih banyak lagi daftar panjang kebiadaban bangsa Yahudi terhadap kaum muslimin.
Benar, bahwasanya perbuatan biadab dan kekejian yang mereka lakukan, sesungguhnya hanyalah akan mempercepat datangnya siksaan dan hukuman Allah SWT sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Al Qur’an:

Dan apabila tiba saatnya hukuman bagi (kejahatan) yang kedua. (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-mukamu (Bani Israil), dan untuk memasuki masjid sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali yang pertama, dan untuk membinasakan habis-habisan apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Israa’ 7).
Dalam ayat ini Allah SWT telah memastikan akan lenyapnya bangsa Yahudi dari permukaan bumi ini. Seperti ayat ke-5, Al Qur’an kembali menggunakan lafadz ‘fa’ bukan ‘tsumma’. ‘Fa’ menunjukkan ‘athaf’ yang berarti segera akan terjadi (bersusulan) begitu keadaan sebelumnya telah terpenuhi (terjadi).

Mahasuci Allah yang memberitahukan kepada kaum muslimin bahwasanya kita akan memasuki Masjidil Aqsha, sebagaimana dahulu (di masa pemerintahan Umar bin Khaththab RA yang menaklukan bumi Palestina). Lafadz ‘wa liyutabbiruu’ berarti kita (kaum muslimin) akan menghancurleburkan apa saja yang berembel-embelkan Yahudi. Dengan teramat indah, ayat tadi menjanjikan tentang kedua kejadian. Peristiwa pertama, telah dilakukan oleh pasukan kaum muslimin yang dipimpin Abu Ubaidah bin Jarrah RA. Sedangkan peristiwa kedua adalah penaklukan terakhir yang akan meluluhlantakkan bangsa Yahudi sampai kedasar-dasarnya tanpa sisa dengan kemenangan kaum muslimin yang gilang-gemilang.
Pada saat kehancuran Yahudi pertama kali, kaum muslimin sedang berada dalam keadaan yang dilukiskan oleh Al Qur’an sebagai ‘hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar’. Dengan demikian, maka lafadz ‘sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali yang pertama’, memiliki relevansi (hubungan) yang amat kuat dengan keadaan yang pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kaum muslimin baru akan menghancurkan Yahudi pada kali yang kedua setelah memiliki kekuatan, setidak-tidaknya menyamai kekuatan dan kekuasaan kaum muslimin di masa sahabat RA.

Lalu, muncul dalam pikiran kita, apakah saat ini kaum muslimin mempunyai kekuatan? Kaum muslimin yang mana yang akan melakukannya? Apakah penguasa-penguasa kaum muslimin saat ini, yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin, khususnya di kawasan Timur Tengah, yang akan menghancurkan kepongahan Yahudi? Jawabnya tentu saja tidak.
Memang kaum muslimin saat ini memiliki bilangan jumlah yang teramat besar, tetapi mereka ibarat macan kehilangan taringnya, ibarat sleeping giants, ibarat buih yang mengapung dan terombang-ambing di lautan. Dan para penguasanya duduk di atas buih-buih tadi dan diam dalam kelezatan dunia, mereka membiarkan saja kekejaman yang dilakukan Yahudi atas sesama saudara seaqidah mereka di Palestina, walaupun itu dilakukan di depan hidung mereka. Malah mereka menjerumuskan diri, rakyat, serta negeri mereka di bawah telapak kaki bangsa Yahudi.

Ayat Al Qur’an di atas juga menjanjikan bahwa yang akan mengalahkan bangsa Yahudi (berdasarkan relevansi tadi) adalah ‘ibadan lanaa’ yang memiliki sifat-sifat mulia. Sekarang, apakah kaum muslimin saat ini beserta para penguasanya telah memiliki sifat-sifat sebagaimana yang digambarkan dalam Al Qur’an? Anda semua bisa menjawabnya. Kenyataannya saat ini, sebagian besar umat hanyut dalam pesta pora. Gaya hidup pria-wanitanya yang nista. Apakah dari perempuan-perempuan liar seperti itu akan lahir generasi mujtahid dan mujahid yang kemudian akan menegakkan Islam?
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya kaum muslimin yang memiliki sifat-sifat mulia-lah yang akan mengalahkan bangsa Yahudi, dan mereka akan memperoleh kemenangan di bawah kekuasaan, kekuatan, dan naungan Daulah Islamiyyah (Khilafatan Raasyidatan alaa min haajin Nubuwah) yaitu Khilafah yang menerapkan Syari’at Islam secara keseluruhan. Hanya Daulah Islam yang menerapkan Syari’at Islam secara totalitas inilah, tentunya dengan izin Allah SWT, yang akan menghancurkan eksistensi bangsa Yahudi.
Pada akhir surat Al Israa’ terdapat ayat yang berhubungan dengan janji Allah ini:

“Dan Kami berfirman sesudah itu kepada Bani Israil: ‘Diamlah kamu di negeri ini’. Maka apabila telah datang janji terakhir, niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur.” (QS. Al Israa’ 104).

Lafadz ‘wa’dul akhirah’ yaitu ‘janji terakhir’ mengacu pada janji Allah tentang musnahnya bangsa Yahudi pada kehancurannya yang kedua pada ayat ke-7 surat yang sama. Lafadz ‘faa’ di akhir ayat di atas (QS. 17:104) berarti berkelompok-kelompok dan bercampur-baur. Ini melukiskan realita saat ini, tatkala imigran-imigran Yahudi dari segala penjuru dunia memasuki wilayah Palestina (terutama imigran Yahudi dari Rusia).

Kejadian demi kejadian berlalu, semakin hari semakin menambah dan mempertebal keyakinan kita akan datangnya kemenangan itu. Namun untuk mempercepat apa yang telah dijanjikan Allah SWT kepada kaum muslimin, maka hendaknya kita berhenti sejenak untuk berintrospeksi diri dengan tingkah polah kita, untuk merenungkan sejauh mana kita sebagai kaum muslimin telah berusaha mendekat menuju gambaran sifat-sifat ‘ibadan lanaa’. Lebih penting dari itu adalah sejauh mana kepedulian kita untuk membangkitkan umat ini dan sekaligus merubahnya menjadi suatu kekuatan yang maha dahsyat? Inilah salah satu syarat untuk mewujudkan kemenangan yang pasti diraih kaum muslimin. Kiranya sabda Rasulullah SAW perlu kita renungkan:

“Belum akan tiba kiamat sehingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi. Kemudian mereka akan diperangi oleh kaum muslimin sehingga batu dan pohon sampai berkata: ‘Hai kaum muslimin, wahai hamba Allah, inilah seorang Yahudi tersembunyi di belakangku, datangilah dan bunuhlah”. (Seluruh alam akan berkata begitu), kecuali pohon Al Gharghad. Sebab, sesungguhnya ia (pohon itu) tergolong pohon (simpatisan) kaum Yahudi” (HR. Bukhari & Muslim).

Kaum muslimin saat ini hidup pada kurun sejarah sebelum hari kiamat. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, pada masa itu akan terjadi serangkaian peristiwa yang akan menimpa bangsa Yahudi akibat kebengisan dan kesombongan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Mereka adalah satu-satunya bangsa yang telah berani membunuh para Nabi dan Rasul serta mencela Allah SWT. Merekalah satu-satunya umat yang dikutuk Allah SWT dengan menjadikannya babi dan kera. Mereka jugalah satu-satunya umat yang diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, merasakan pahit getirnya penderitaan yang teramat hebat. Itulah siksa dan azab yang menimpa mereka pada masa lalu. Mereka seolah-olah menjadi satu bangsa yang telah ditakdirkan untuk menderita, karena kekejaman yang mereka lakukan terhadap para nabi dan kaum muslimin melampaui batas-batas yang dilakukan golongan manusia lainnya. Pada golongan agama lain selain Yahudi, walaupun mereka juga tidak ingin melihat Islam tumbuh dan berkembang (QS. Al Baqarah 120), tapi mereka tidaklah sebiadab bangsa Yahudi dalam membenci Islam. Bahkan sejarah mencatat, bahwa yang mempunyai rencana untuk menyalib Isa AS dan kemudian menyalib orang yang diserupakan Allah dengan Isa AS (QS. An Nisaa’ 157) adalah bangsa Yahudi juga. Kemurkaan Allah SWT terhadap mereka tersurat dengan jelas dalam Al Qur’an:

“Dan ingatlah ketika Rabbmu memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia pasti mengirim kepada mereka (kaum Yahudi) sampai hari kiamat, orang-orang yang akan menimpakan adzab kepada mereka dengan yang seburuk-buruknya” (QS. Al A’raaf 167).

Serangkaian ayat-ayat dan hadits yang diungkapkan di atas mengisyaratkan bahwa negara Israel yang dikuasai Yahudi tidak akan lama lagi usianya. Negara itu akan hilang dari peta dunia, dan kepunahannya merupakan hal yang pasti, walaupun seluruh kekuatan di muka bumi memberikan kepada mereka ramuan panjang umur untuk mempertahankan eksistensinya. Namun kemusnahan bangsa Yahudi tidak bisa diwujudkan hanya dengan do’a saja, atau hanya dengan tafsir terhadap ayat-ayat dan hadits yang berkaitan dengan hal itu.

Aqidah Islam tidak mengajarkan keyakinan seperti itu. Sedang Rasulullah SAW sendiripun yang dijanjikan kemenangannya tidak berpangku tangan dan berdo’a saja dalam memerangi kaum kafir. Beliau bahkan harus mengorbankan harta, air mata, darah, bahkan nyawa kaum muslimin. Generasi muslimin pada masa dahulu bahu-membahu menyusun kekuatan, menggalang persatuan, memproklamirkan suatu kekuatan baru yang siap mengorbankan aspek-aspek materi/fisik untuk mencapai tujuan menegakkan kalimat Allah SWT serta hidup secara Islam di bawah naungan Syari’at Islam yang agung. Mereka berhasil memperoleh kemenangan tatkala mereka mengikatkan diri mereka di jalan Allah, dan akan menderita kekalahan dan kehinaan tatkala melanggar jalan Allah SWT.
Kini, saat umat Islam menghadapi berbagai krisis yang menentukan hidup dan matinya, sedang mengalami ujian yang tiada tolok bandingnya. Membanjirnya musuh-musuh Islam yang menghanyutkan sendi-sendi Syari’at dan masyarakat Islam, yang menyisakan kotoran dan lumpur kesesatan dan kemunafikan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan hukum pemerintahan, dan mengibarkan berbagai bendera kekafiran, serta berdirinya berbagai bentuk negara. Musuh-musuh Islam itu ada yang menyamar menjadi kaum muslimin dan menyerang dari dalam dan menggerogoti umat dengan merusak sendi-sendi syari’at yang telah qath’i nashnya. Para penguasanya hanya diam, buta dan tuli terhadap kejahatan dan kesewenangan yang berada di hadapan mereka. Sedang umat telah tenggelam di majelis-majelis, mengaji kesana kemari, berdo’a dan asyik memohon kepada Allah SWT agar banjir kesesatan dan kekafiran yang melanda umat segera berlalu. Tanpa bangkit berusaha dengan kekuatan fisiknya. Yang jika Khalifah Umar bin al-Khattab masih hidup akan dicambuknya orang-orang semacam itu.

Setelah sekian lama umat hanyut diombang-ambing dalam ketidakpastian, sekaranglah saatnya untuk membangun kembali puing-puing yang telah hancur dilanda air bah, menyusun kekuatan, merapikan barisan, memperindah bangunan peradaban Islam dengan sifat-sifat mulia, berdo’a, dan bertawakkal. Hanya dengan jalan itu, pastilah kemenangan itu akan dengan cepat dan mudah diraih, insyaAllah. Tinggallah sekarang, apakah umat ini mau melakukan pilihan yang justru akan menentukan hidup mati mereka? Juga, apakah umat saat ini mau membangun dan merancang kembali bangunan Islam yang dulu pernah tegak? Atau, malah umat akan turut hanyut bersama air bah kesesatan dan kekafiran? Mahabenar Allah SWT dengan segala firmanNya:

Maka bersabarlah kamu. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, dan janganlah sekali-kali orang yang tidak meyakini ayat-ayat Allah itu berhasil menakut-nakuti kamu.” (QS. Ar Ruum 60). wh