2.15.2009

Valentine menurut Islam


Bantahan terhadap tulisan Muhibin AM ‘Valentine dalam Islam’

Oleh: Wildan Hasan

Muhibin AM menulis dalam Republika (14/02) pro kontra umat Islam terhadap Valentine. Saya akan coba membuat bantahan per paragraf dan kalau mungkin per kalimat terhadap tulisannya Muhibin tersebut.

Pertama, Muhibin mengatakan, yang tidak menolak Valentine adalah mereka yang diwakili kaum muda borjuis perkotaan yang tidak memiliki fanatisme agama berlebihan. Perkataan Muhibin ini sangat kacau, fanatik terhadap kebenaran agama adalah wajib bagi setiap muslim. Apa maksud dari istilah fanatisme agama yang berlebihan versi Muhibin? Apakah yang dia maksud adalah orang Islam yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dan senantiasa memurnikan keyakinannya dari kebudayaan-kebudayaan yang tidak Islami? Jika demikian, sungguh Muhibin telah melecehkan Nabi dan Agamanya sendiri, karena begitu banyak ayat Allah maupun hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta larangan dari melakukan hal-hal yang akan mengotori aqidahnya.

Kemudian, siapa kalangan muda borjuis perkotaan? Kita tanya sama Muhibin, tahu apa kaum muda borjuis perkotaan tentang fanatisme agama? Bisa jadi jangankan fanatisme agama berlebihan, agamanya pun mereka tidak kenal (maaf tanpa bermaksud men-genelarisir). Memangnya kaum muda seperti apa yang selama ini memperingati Valentine seperti yang dimaksud Muhibin? Apakah mereka yang rajin sholat tepat waktu, rutin mengaji, berbakti sama orang tua, menutup aurat, suka menundukkan pandangan pada lawan jenis, dan tekun sholat malam? Atau sebaliknya. Kalau justru yang dimaksud adalah kaum muda yang sebaliknya, apakah mereka itu yang disebut tidak memiliki fanatisme agama berlebihan? Jika benar maka wajar saja.

Kedua, tidak perlu kita berpanjang kalam terkait hukum Valentine kepada Muhibin. Basi akhirnya bicara hukum kepada orang yang tidak percaya kepada hukum itu sendiri. Dari tulisannya, keberpihakan Muhibin kepada Valentinian sangat kentara. Selain Muhibin tidak paham betul sejarah ideologis Valentine dan ideologi Islamnya (jika Muhibin seorang muslim), ia juga ikut melegitimasi kebolehan sesuatu atas dasar logika ‘asalkan’. Muhibin mengatakan ‘Dan, menurut mereka, sah-sah saja merayakan valentine asalkan tidak merusak keyakinannya.” Istilah ‘asalkan tidak merusak akidahnya’ itu mana standarnya, apa kategorinya, bagaimana batasannya? Inilah repotnya kita bicara dengan pemikir Liberal yang tidak punya standar, karena liberal adalah inkonsisten, jika konsisten justru bukan liberal (baca artikel ‘Islam Liberal’ di www.wildanhasan.blogspot.com).

Keyakinan seperti apa sih yang dimiliki oleh mereka sehingga dengan pede menyatakan valentine tidak akan merusak keyakinan? Apakah artinya mereka tetap beragama Islam dan tidak akan berpindah agama? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, sementara merayakan valentine itu sendiri menunjukkan keyakinan mereka terhadap Islam telah rusak. Jika yakin Islam adalah agama yang sempurna, yang tidak perlu ditambah dan dikurang, jika yakin Islam telah memberi makna dan cara yang paling indah untuk mengeksfresikan kasih sayang, lalu kenapa harus merayakan valentine yang tidak diajarkan Islam? Bukankah hal itu diakibatkan oleh keyakinan yang rusak.

Ketiga, Muhibin mengatakan ‘benar tidaknya ketika kita menolak dan menerima budaya valentine ini tergantung pada penilaian diri kita masing-masing’. Mari kita tanya lagi Muhibin, sejak kapan umat manusia sepakat bahwa valentine adalah budaya? Jangan asbun, bagi kalangan Gereja dan Kristen fanatik valentine adalah ritual, namun mereka menutupinya agar valentine ini dirayakan oleh umat lain dengan dalih bahwa ‘kasih sayang’ adalah universal. Perkataan Muhibin tentang benar atau tidak valentine tergantung pada penilaian masing-masing, mengisyaratkan Muhibin berpaham relativisme kebenaran. Relativisme adalah salah satu aqidah pokok kalangan liberal. Maka tidak sulit menyebut Muhibin adalah salah satu pengasong liberalisme di negeri ini. Apalagi kalau kita cermati profil lembaga ‘tadah hujannya’ LeKAS Yogyakarta itu.

Prinsip dasar Islam saat bersentuhan dengan kebudayaan adalah Islamlah yang melahirkan kebudayaan bukan Islam bagian dari kebudayaan. Jadi Islam di atas kebudayaan. Islam tidak bisa dinilai atau dikritik dari kacamata kebudayaan manusia. Islamlah yang terus menilai dan mengkritisi kebudayaan manusia, karena Islam sempurna sementara manusia tidak sempurna. Budaya manusia ataupun budaya agama lain yang secara ideologis berbeda dengan Islam, dibungkus dengan bungkusan apapun, apakah aroma kemodernan atau aroma keprimitifan tidak lantas menjadikannya sesuai dengan Islam. Kita sama-sama sadar bahwa saat ini, aroma kemodernan sebenarnya berbau busuk kejahiliyahan yang sangat menyengat. Dan bau kejahiliyahan inilah yang sedang ditawarkan oleh Muhibin lewat jalan tengahnya.

Apakah antara haq dan batil ada jalan tengah? Jelas tidak ada. Halal dan haram sudah jelas, di antaranya keduanya ada syubhat. Dan pesan Nabi saw yang syubhat ini juga harus ditinggalkan agar kita tidak terjerumus ke dalam kebatilan.

Kenapa kita harus bersusah payah berupaya melegitimasi ‘kehalalan’ valentine, sementara kita termasuk Muhibin belum pernah secara total mengamalkan ajaran Islam yang penuh kasih sayang ini? Sama pertanyaan ini kita ajukan kepada orang yang berpeluh basah merubah hukum agar dibolehkannya menikah beda agama, seolah-olah sudah tidak ada lagi wanita atau laki-laki muslim di dunia ini.

Keempat, jalan tengah yang ditawarkan Muhibin adalah qiyas (analogi) dengan dakwah para Wali. Qiyas Muhibin ini jelas batil, sebab la qiyasa ma’al fariq (tidak ada qiyas terhadap perkara yang berbeda). Konteks para Wali meyikapi kebudayaan lain (Hindu Budha) jelas berbeda dengan kaum muda borjuis menyikapi valentine. Motif para Wali adalah dakwah dan hasilnya sukses mengislamkan umat Hindu Budha waktu itu. Sedangkan motif kaum muda borjuis adalah hedonisme, materialisme, dan permisifisme. Kemudian apakah kaum muda borjuis itu berhasil mengislamkan orang-orang Kristen?
Di sisi lain kebudayaan Hindu Budha adalah ritual peribadatan sama dengan valentine. Tidak bisa disamakan sebuah kebudayaan murni hasil akal manusia dengan ritual peribadatan sebuah agama. Muhibin tidak bisa membedakan itu sehingga logika yang dia gunakan adalah logika ‘akal-akalan’.

Kelima, Prof. Dr. Rasyidi menuliskan dalam salah satu bukunya bahwa para Wali pernah berkumpul dan berdiskusi panas terkait metode dakwah yang memanfaatkan kebudayaan (ritual) Hindu Budha. Mereka khawatir amalan-amalan itu selanjutnya akan dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam oleh umat Islam. Namun salah satu Sunan mengatakan ‘Suatu saat kita akan memurnikannya setelah masyarakat masuk Islam dan mencintai agamanya. Jika pun tidak oleh kita, maka pemurnian agama akan dilakukan oleh anak cucu kita’. Allah menaqdirkan para Wali tidak sempat mewujudkan niatnya itu karena perhatian mereka beralih untuk menghadapi dan melawan para penjajah yang datang. Maka tidak heran kita mendapati banyak di antara pejuang kemerdekaan yang masih memakai jimat dan jampi-jampi untuk kekuatan dan kekebalan.

Siapakah anak cucu kita yang akan memurnikan ajaran Islam itu? Siapa lagi kalau bukan kita termasuk Muhibin yang harus punya tanggung jawab dakwah mewujudkan niat para Wali tersebut. Seharusnya muhibin menuturkan sejarah secara mendalam dan menyeluruh, tidak mengambil bagian-bagian yang hanya akan mendukung teorinya saja.

Tentu berbicara metode dakwah harus melihat realita yang ada (Waqi’iyah). Namun bukan berarti boleh mencampur adukkan haq dan batil. Contoh yang paling layak diteladani adalah sikap Rasulullah saw yang tegas menolak untuk melakukan pergiliran ibadah sehingga turun surat al-Kafirun. Padahal saat itu Rasulullah dan para sahabat dalam kondisi sedikit dan tertekan.

Oleh karena itu akan membingungkan bagaimana merumuskan sifat inklusif asalkan nilai-nilai keislaman dapat masuk ke dalamnya seperti yang dikatakan Muhibin. Logika ‘asalkan’ kembali dipakai oleh Muhibin dengan menghalalkan valentine sebagai ajang memadu kasih antara dua orang kekasih ‘asalkan’ tidak sampai bunting…

Keenam, paragraf terakhir Muhibin makin menunjukkan kepada kita bahwa Muhibin orang yang mengidap penyakit sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) yang diharamkan MUI. Ukuran kebenaran bagi pengidap sepilis adalah pertimbangan manfaat dan mudarat menurut akalnya semata bukan menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab bagi kita Al-Qur’an dan As-sunnah pasti manfaat tidak ada mudaratnya, sementara ukuran manfaat atau mudarat menurut akal manusia belum tentu benar. Manfaat Islam adalah universal sementara manfaat manusia bersifat lokal dan terbatas. Jelas, yang lebih tahu tentang manfaat dan mudarat adalah Allah swt bukan manusia ciptaan-Nya. Artinya, jika kita mampu memahami Islam dengan benar, mengapa harus blasak-blusuk mati-matian membela yang tidak benar.

1 komentar:

  1. ibarat komputer nu seeur virusna saking susahna di hilangkeun' nya...komputer na we...h nu di lembiru' tp masalahna inimah orang jd ga bisa gtunya' Klw ada Virus mesti ada anti Virusna' na...h sebarkeun,perkuat anti virus ka semua jalmi'Insya Allah. ni tugas sadayana ikhwan yu sama2' Insya Allah

    BalasHapus