2.24.2009

Ketetapan Syar’i dan Realitas Politik

Saat menantikan voting tahap III pemilihan wakil presiden di gedung MPR RI Juli lalu, muncul interupsi dari seorang anggota sidang. Dengan tegas ia menyatakan agar fraksi-fraksi yang pernah mengharamkan presiden wanita, segera mencabut keputusan itu. Interupsi itu berkaitan dengan persetujuan fraksi-fraksi Islam mengangkat Megawati Soekarno Putri menjadi presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid.

Wajar, karena Hamzah Haz merupakan kandidat kuat wapres dari PPP yang sebelumnya dikenal tidak merekomendasikan bolehnya presiden wanita. Interupsi tersebut barangkali dimaksudkan untuk mengusik kepekaan anggota FPDIP supaya tidak terjebak. Sebab, kelompok inilah yang dulu menggagalkan Megawati dari tampuk kekuasaan.

Namun, idiom politik “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi,” mendapatkan bukti pada kemenangan Hamzah Haz. Tentu hamzah Haz tidak mungkin terpilih kalau tidak mendapat dukungan suara dari FPDIP. Namun tidak lantas mengubur klaim bahwa PDIP anti PPP. Konflik politik yang pada pemilu lalu sangat tajam, langsung mencair karena adanya kepentingan bersama tersebut.

Lantas, bagaimana dengan status hukum presiden wanita haram yang dulu diusung PPP? Bagi sebagian orang ini sangat membingungkan. Mereka menyimpulkan bahwa ‘pengakuan’ itu menunjukkan sikap inkonsistensi (hipokrit/munafik) PPP. Padahal fatwa yang dianggap mutlak keabsahannya itu tidak bisa disingkirkan begitu saja hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Setidaknya saya memahami dua hal yang bisa dijadikan sarana memaklumi keputusan kelompok Islam menurunkan Abdurrahman Wahid dan menaikkan Megawati sebagai presiden. Pertama, dalam Islam masalah kepemimpinan dan pemerintahan sebuah negara merupakan bagian dari muamalah (duniawi) yang mendapat perhatian besar dari syariat dan harus dilakukan melalui proses musyawarah (QS. 3:159, 42:38), dengan memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan umat.

Untuk mewujudkan hal tersebut dan menyikapi permasalahan di atas, setidaknya ada tiga poin yang harus dipertimbangkan sebagai dasar pembentukan undang-undang fikih Islam dan penjabaran kaidah-kaidah ushulnya. Pertama, adlaruratu tubihul mahdzuratu (Jika dalam situasi sangat terpaksa, dibolehkan melakukan yang dilarang). Kedua, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih utama daripada mengejar kemaslahatan). Ketiga, la tadfa’ul munkarat bilmunkaraatil akbar (tidak boleh menghilangkan kemunkaran dengan kemunkaran yang lebih besar).

Dari ketiga kaidah ushul di atas, kita dapat memahami bahwa Allah swt tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya (QS. 2:286).

Dalam hal ini, pengangkatan Megawati sebagai presiden bagi kelompok Islam ditempatkan secara fikih publik sebagai adlarurat (situasi serba sulit) yang tidak ada jalan lain untuk mencapai kemaslahatan umat keseluruhan kecuali dengan melakukan hal tersebut. Sebab, jika kelompok Islam di MPR RI waktu itu tidak menurunkan Abdurrahman Whid dan menaikkan Megawati sebagai gantinya, dikhawatirkan akan timbul gelombang kemarahan rakyat yang tidak terkendali, keterpurukan ekonomi dan kekacauan sosial politik yang lebih dahsyat dari sebelumnya yang pada saat itu sangat mungkin terjadi.

Jadi, menurut hemat saya, secara syar’i fatwa presiden wanita haram tidak jadi batal dengan naiknya Megawati sebagai presiden. Persoalannya adalah bagaimana kita menyikapi secara tepat berbagai kondisi di masyarakat tanpa harus mengubur nash-nash qhot’i.

Kedua, bahwa semua peristiwa terjadi tidak lepas dari izin Allah. Sebab, jika Ia tidak mengizinkan maka usaha sehebat apapun tidak akan menghasilkan apa-apa. Selain tidak ada yang kebetulan dalam setiap keputusan-Nya (QS. 3:191, 64:11).
Yang terpenting bagi kita sekarang ialah mengevaluasi diri apakah izin Allah tersebut disertai ridlo-Nya atau tidak? Tiada jalan lain bagi kita selain berusaha semaksimal mungkin memperbaiki keadaan demi kemaslahatan umat, sambil tetap mengharap ampunan dan petunjuk-Nya. Wh

(Pernah dimuat dalam rubrik Opini Anda majalah Saksi No. 24 Tahun III, 4 September 2001)

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. Mas Wildan tolong masukkan Partner Link Blog http://jihaddandakwah.blogspot.com

    BalasHapus