Judul tulisan saya ini diambil dari penggalan kalimat dalam Buletin Dakwah yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia edisi 523 Tahun XVI. Memang cukup provokatif, tetapi saya mengerti sekali mengapa kalimat tersebut muncul. Ada sejumlah data maupun bukti empiris yang membuktikan ide pluralisme itu palsu.
Bahwa aktivis pluralisme, kelompok liberal, termasuk tokoh agama non-muslim mempolitisir kasus yang dianggap mengganggu kebebasan menjalankan ibadah. Mereka itu tidak mengerti akar permasalahan mengapa sejumlah orang, kebetulan mayoritas umat Islam, yang dianggap sebagai “pengganggu”.
Aktivis pluralis, kelompok liberal, maupun tokoh agama non-muslim tersebut sesungguhnya kelompok minoritas. Mereka itu mencoba mempropagandakan kezaliman umat Islam, seolah umat Islam tidak toleran atau tidak menghargai kebebasan beragama. Apakah mereka tahu akar permasalahannya?
Kalau Anda tahu akar permasalahan kasus kampung Ciketing, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi, tempat dimana terjadi bentrokan antara jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan warga, pasti Anda tidak akan menuduh Front Pembela Islam (FPI) sebagai dalang kerusuhan. Maaf, saya bukan anggota FPI, lho!
Kasus Monas I Juni 2008 saat terjadi bentrokan antara kelompok AKKBB dan umat Islam dalam rangkaian pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiah juga dipolitisir sebagai isu tidak menghargai kebebasan beragama. Apakah Anda umat Islam benar-benar tahu Ahmadiah? Bagi kaum pluralis, kelompok liberal, maupun tokoh agama non-muslim, tak akan peduli Ahmadiah itu aliran Islam atau sesat atau mensekutukan Allah. Yang mereka tahu kebebasan.
Kita sebagai umat Islam akan dibuat pusing dengan isu-isu pluralisme ini. Apalagi media-media sekarang juga cenderung liberal. Mereka dengan berbagai cara memprovokasi. Di buletin tersebut mencontohkan artikel “Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan” (Detik.com) atau “Kebebasan Beribadah Terancam” (Media Indonesia).
Tahukah Anda? Kepala Litbang Departemen Agama, Atho Mudzar mengungkap, sejak 1977 sampai 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen malah lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode itu meningkat hanya 64,22 persen, sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan gereja Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen.
Terus terang, data-data tersebut baru saya tahu. Jadi saya pikir mana yang disebut tidak menghargai kebebasan beribadah ya? Tapi itulah media yang selalu tidak mau mengungkap fakta. Begitu hebatnya aktivis pluralis, kelompok liberal, maupun tokoh agama non-muslim menyimpan data itu dan lebih menonjolkan sisi kriminal, sehingga orang awam seperti saya terkontaminasi dengan isu pluralisme. Jadi tidak salah kalau Hizbut Tahir Indonesia dalam buletin dakwahnya mengeluarkan pernyataan: Ide Pluralisme itu Palsu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar