"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS An Nisaa' 4: 36)
Salah satu yang harus kita nikmati dalam hidup adalah bagaimana rukun dengan tetangga kita. Kita tidak bisa memilih tetangga yang selalu sesuai dengan keinginan kita.
Tetapi kita harus bisa menyikapi setiap tetangga dengan sikap terbaik kita. Kelebihannya kita sikapi dengan sikap terbaik, sehingga menjadi ladang yang kita syukuri. Kita bisa mendapatkan manfaat dari tetangga yang banyak kebaikan. Demikian pula kekurangan tetangga pun harus menjadi ladang amal bagi kita. Karena, dia juga adalah saudara kita, yang harus kita bantu menjadi lebih baik dalam hidupnya.
Kita pun harus senang untuk melupakan, jangan merasa berjasa, merasa lebih. Karena, kalau kita banyak berharap dari tetangga kita, akan banyak terluka hati kita. Karena ingin dihargai, ingin dihormati, ingin dipuji, maka akan makin tertekan diri kita. Pendek kata merdekakan diri ini dengan banyak berbuat, bukan banyak berharap dari tetangga-tetangga kita.
Kita tidak akan pernah rugi dengan situasi apapun jika kita selalu bersikap benar di jalan yang Allah sukai. Tapi kita akan rugi kalau kita menjadi zalim kepada orang lain. Kalau kita berbuat kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita.
Tetapi, kalau kita berbuat keburukan, maka keburukan itu pula yang akan kembali kepada kita. Mudah-mudahan dengan latihan hidup rukun dalam bertetangga, lingkungan akan bisa kita nikmati di dunia ini dan bisa menjadi amal untuk kelak di akhirat nanti.
Alangkah beruntungnya jika kita hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang mulia. Walaupun rumah sempit, kalau tetangganya baik, akan terasa lapang. Dan, alangkah ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.
Memang sungguh nikmat jika kita memiliki tetangga-tetangga yang baik ahlak, ramah, dan penuh perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk bersikap baik terhadap siapapun.
Musik yang bagus berawal dari suara dan tangga nada yang berbeda-beda, namun kalau dipadukan akan menjadi indah. Artinya, kita tidak bisa mengharapkan tetangga-tetangga kita persis sama dengan kita. Bisa jadi perbedaan keadaan tetangga malah memperindah ahlak kita. Ada tetangga yang melimpah rizkinya, ada yang kurang rizkinya, ada yang berkedudukan tinggi, ada yang tidak berkedudukan, ada yang rumahnya di gang sempit (berdempet-dempet), ada yang bertipe menengah, perumnas, atau BTN, bahkan ada yang besar luas sampai tidak tahu tetangga kanan kiri. Ini adalah sebuah simponi yang kalau disikapi dengan niat yang indah, niscaya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya."
Inilah keadaan rumah Rasul, ketika beliau memasak maka tetangga yang mencium bau masakan tersebut ikut mendapat makanan. Namun, yang paling penting, kita melihat bahwa kebahagiaan kita itu bukan soal kita mendapat sesuatu atau tidak dari tetangga. Yang harus kita latih, kenikmatan bertetangga bukan mengharapkan sesuatu dari tetangga, tapi berupaya agar kita bisa berbuat yang terbaik untuk tetangga.
Kita akan tertekan ketika kita berharap banyak. Sebab, yang namanya rizki tidak selalu bermakna apa yang telah kita dapatkan, melainkan apa yang bisa kita lakukan. Jangan sampai gorden rumah kita copot gara-gara terlalu sering melihat tetangga. Makin sering nengokin tetangga, bisa jadi akan semakin menderita, sebab kedengkian kita kepada tetangga tidak akan mempengaruhi rizki tetangga, sebab yang membagikan rizki adalah Allah.
Sialnya jika kita dengki sama tetangga namun tetangga tambah nikmat. Tentu kita tambah menderita. Tetangga makin pulas, kita nggak bisa tidur. Mau keluar rumah susah, mau masuk juga susah. Bagaimana tidak, sosok tetangga yang kita dengkikan itu terus muncul di depan kita.
Maka di sini kita harus mampu mengemas kehidupan bertetangga menjadi ladang amal kita. Kalau kita punya tetangga kaya, sukses, jangan iri hati dan jangan suka mengintip. Apabila tetangga memperoleh kesuksesan atau keluasan rizki, belajarlah senang dengan kesuksesan orang. "Alhamdulillah, dia ternyata sekarang dititipi rizki. Mudah-mudahan barokah, mudah-mudahan bisa banyak manfaat."
Kalau ada tetangga kita yang kekurangan, harus menjadi ladang amal bagi kita. Tidak termasuk orang yang beriman kalau kita kenyang dan pada saat yang sama tetangga kita lapar. Tidak akan miskin dengan menyantuni tetangga. Jika beras cukup, sisihkan sebagian untuk tetangga. Baju bekas anak-anak yang masih layak pakai, kalau belum sanggup memberikan baju bagus, berikan pada anak tetangga. Panci kita sudah agak penyok-penyok, berikan pada tetangga yang membutuhkan, kalau kita belum sanggup memberinya panci yang bagus. Tentu saja, jika mampu, berikanlah barang-barang yang berkualitas terbaik.
Di sinilah sebenarnya hasil ibadah kita akan terlihat, karena alat ukur ibadah kita bukan ketika sedang shalat saja, tapi bagaimana sesudahnya. Misalnya, shalat itu 5 x 10 menit atau 50 menit, dibulatkan menjadi sekitar 1 jam sehari, sedangkan 1 hari 24 jam. Bagaimana mungkin yang 1 jam baik, sedang yang 23 jam jelek semuanya?
Tidak akan rugi berbuat baik pada tetangga. Makin tetangga merasa nikmat dengan kita, dengan sendirinya mereka akan ikut membela kita. Sehebat apapun kita, tetap butuh tetangga. Misalnya, kita punya saudara dokter, tapi saat anak sakit yang duluan menolong pasti tetangga. Punya saudara anggota pemadam kebakaran, jika kompor di rumah meletus, yang lebih dulu membantu memadamkan pasti tetangga. Punya saudara jendral atau polisi, datang maling ke rumah, lantas kita teriak, yang duluan ngejar juga tetangga.
Maka kalau punya tetangga, terus perhatikan. Setiap kebahagiaannya, kita ikut bahagia. Anaknya lulus, alhamdulillah. Anaknya dapat kerjaan, alhamdulillah. Anak tetangga dapat jodoh, alhamdulillah. Insya Allah, kita akan bahagia terus. Hidup penuh kesyukuran kepada Allah Yang Maha Pemurah.
Makin tetangga sayang kepada kita, makin berbahagia hidup kita. Karena itu, bersilaturahmi dengan tetangga itu jangan cuma sisa waktu. Maksudnya, luangkan waktu, tenaga, fikiran untuk terus bersilaturahmi memperhatikan tetangga. Kalau mereka ingin maju, majulah bersama-sama. Karena, kalau kita maju sendirian dan tetangga tidak ikut maju, bisa jadi muncul kecemburuan sosial. Hal ini tentu akan merusak iklim pergaulan sosial di sekitarnya.
Jika kita jadi orang kaya namun tinggal di lingkungan perumahan sederhana, kemudian bikin rumah lima lantai sendiri tapi di sekelilingnya gubuk, tentu bisa menimbulkan sakit hati. Usahakan kalau kita punya rumah jangan sampai terlalu menyolok, membuat orang lain dengki. Seperti kata Rasul, jangan sampai menutupi cahaya, kecuali kalau mereka ridha. Kalau tidak, berikan kompensasi yang memadai. Pokoknya jangan berbuat yang membuat tetanga tidak suka kepada kita.
Pertanyaannya, bagaimana kalau tetangga kita yang kurang baik ahlaknya? Ini juga bisa jadi ladang amal. Kalau dalam satu RT ada tetangga yang ahlaknya kurang bagus, kita jangan meladeni dengan hal yang sama, sebab nanti di tempat itu jadi ada dua yang sama jeleknya: dia dan kita.
Tetangga yang kurang baik, yang kurang bijaksana, harus menjadi ladang amal bagi kita. Kita berkewajiban memberi contoh bagaimana sikap bertetangga yang baik. Sikap emosional, sikap membalas dendam, hanya akan membuat kehidupan bertetangga bagai api disiram bensin.
Bila kita sudah berusaha berbuat baik terhadap tetangga kita, namun ternyata tetangga kita berbuat sebaliknya, misalnya dia kurang mengetahui etika bertetangga, kita perlu pahami bahwa orang berbuat salah, berbuat jelek, belum tentu orang itu ingin berbuat zhalim. Ada orang berbuat salah karena dia merasa hal itu adalah benar menurut standar dia. Dia belum tahu, maka tugas kita adalah memberi tahu. Ada yang sudah tahu, tapi masih susah menghilangkan kesenangannya, maka kita bantu agar secara pelan tapi pasti dia bisa mengganti kesenangannya tanpa merugikan orang lain.
Sebagai pelajaran, hati-hati dalam berbuat. Jangan sampai tetangga merasa teraniaya. Yang paling penting adalah jangan hadapi tetangga dengan kebencian, karena kalau kita sudah benci kita akan cenderung menjatuhkan, menyakiti, membeberkan aib, dan semua ini tidak menjadi solusi.
Tetangga memang orang terdekat dengan kita. Menurut Imam Syafi'i, mereka adalah empat puluh rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah. Tetangga adalah orang terdekat dengan kita. Orang tua bilang, mereka adalah 'andalan' untuk segala suasana.
Rasanya, kita senantiasa harus melakukan instrospeksi terhadap diri pribadi. Apakah tetangga kita menyukai kehadiran kita atau jangan-jangan mereka malah terganggu dengan kehadiran kita. Maka sudah saatnya kita menebarkan salam, senyum, pada orang yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Menjaga perasaan mereka, mengulurkan bantuan sekuat tenaga.
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya." (HR Muslim).
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa kita tolak. Manusia, bukan semata-mata personal-being (makhluk individu), tapi juga merupakan social-being (makhluk sosial). Seseorang tidak bisa hidup secara sendirian atau menyendiri. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama. Ini merupakan hukum sosial. Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjama'ah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Isyarat hidup berjama'ah dalam kebaikan dan harus senantiasa memeliharanya, misalnya termaktub dalam surat Al-Maidah ayat 2, yang artinya sebagai berikut;
"Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya."
Dalam menumbuhkan dan mensosialisasikan budaya kebaikan dan taqwa itu, tetangga merupakan objek yang patut didahulukan (setelah anggota keluarga tentunya). Ini hirarki penyebaran kebaikan sebagaimana diarahkan Al Qur'an.
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur itu suatu kebaikan. Akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.".
Bahwa urutan kebaikan menurut ayat di atas adalah, setelah beriman (dalam pengertian menyeluruh), maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang sehat. Jadi Islam menginginkan budaya kesalehan itu tidak terbatas pada sekup personal (pribadi), tapi juga terciptanya kesalehan secara sosial. Maka, dalam konteks ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangga menjadi sangat penting dan wajib.
Rasul memerintahkan kita untuk selalu menghormati tetangga jika kita benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir, seperti termaktub dalam hadits beliau di bawah ini;
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya." (HR Bukhori)
Anjuran untuk menghormati tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya jika dia benar-benar butuh pertolongan kita. Rasululullah saw misalnya, melarang kita berbuat gibah (menjelek-jelekkan kehormatan) pada tetangga kita. Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah gibah itu?" Beliau menjawab; "Engkau menyebut sesuatu yang tidak disukai dari saudaramu." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Nabi saw bersabda; "Jibril senantiasa menasihatiku mengenai tetangga, sehingga aku mengira dia akan mewariskannya." (Muttafaqun 'Alaih)
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan; "Memelihara hubungan dengan tetangga, termasuk bagian dari kesempurnaan iman." Paralel dengan pernyataan ini, Syeikh Yusuf Qorodhowi menyebutkan, seorang tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya. Bahkan, seorang tidak dikatakan beriman jika dia tidak bisa memberi rasa aman pada tetangganya.
Karena itu dalam salah satu fatwanya Yusuf Qorodhowi mengatakan, hukuman bagi pelaku zinah itu berat. Akan tetapi, bila pelaku zinah itu ternyata adalah tetangga korban sendiri, maka hukumannya harus lebih berat lagi.
Ya Allah 'Azza wa Jalla, jadikanlah kami warga yang baik bagi tetangga kami.
Mohon ijin untuk memuat tulisannya...
BalasHapusMohon izin untuk memuat tulisannya...
BalasHapus