7.21.2009

TERORISME ISLAM: UPAYA “PENYETANAN ISLAM”

Seorang bajak laut tertangkap oleh Kaisar Alexander Agung.
“Mengapa kamu berani mengacau lautan?” tanya Alexander Agung.
“Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia?” si bajak laut balik bertanya. “Karena aku melakukannya hanya dengan perahu kecil, aku disebut maling. Kamu, karena melakukannya dengan kapal besar disebut Kaisar.”
(Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional)


Demonologi Islam

Berakhirnya perang Salib tidak berarti dendam Barat (Kristen) terhadap Islam dan umatnya berakhir begitu saja. Dendam kesumat yang berkepanjangan itu akhirnya dapat mereka lampiaskan ketika Eropa (Barat) melalui Columbus dapat mengetahui dan membuka pintu jalur perjalanan dan perdagangan ke dunia Timur dan dunia Islam.

Dengan dalih mencari rempah-rempah, mereka melakukan penjajahan terhadap dunia timur pada umumnya dan Islam pada khususnya. Selain membawa panji-panji gold (emas) dan glory (kebanggaan), mereka pun mengibarkan panji gospel (penyebaran Injil), dengan tujuan utama menyebarkan berita Injil dan sekaligus mengkristenkan dunia Islam serta menenggelamkannya ke titik nadir kehidupan manusia. Bagi dunia Timur dan Islam, misi ini bukan membawa glory, tetapi justru gory (berlumuran darah).

“PENYETANAN ISLAM” barangkali tepat untuk menerjemahkan istilah “Demonologi Islam”, meskipun terdengar sangat kasar. Penggunaan istilah demonologi Islam hanyalah sebagai penyederhanaan istilah bagi sebuah proses rekayasa sistematis kaum kuffar Barat yang terus-menerus memburukkan citra Islam di mata dunia. Pemburukan itu dilakukan dengan menciptakan label-label negatif dan menyeramkan, seperti; fundamentalis, teroris, ekstremis, fanatik, dan sebagainya yang dilekatkan pada seorang atau sekelompok aktivis pergerakan Islam.

Istilah “demonologi” (demonology) mungkin masih terasa asing di telinga kita. Ia bukanlah istilah populer. Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily mencantumkan kata demon yang berarti; setan, iblis, jin dan orang yang keranjingan sesuatu. Demonologi bisa diartikan studi tentang setan atau semangat kejahatan.

Untuk memahami atau memaknai istilah demonologi secara kontekstual dan faktual, Noam Chomsky mengartikan “demonologi” sebagai “perekayasaan sistematis untuk mendapatkan sesuatu agar ia dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan” dan karenanya ia harus dimusuhi, dijauhi, dan bahkan dibasmi.

Dalam dunia ilmu komunikasi, “demonologi” barangkai dapat dimasukkan ke dalam wacana “teori penjulukan” (labelling theory). Teori tersebut menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya.

Dalam hal “demonologi Islam” kita dapat mengartikannya sebagai pengkajian tentang “penyetanan Islam” atau “penghantuan Islam”, yakni penggambaran atau pencitraan Islam sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Kita dapat mendefinisikan demonologi Islam sebagai “perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.”

Hal itu dilakukan oleh pihak Barat (kaum Zionis Yahudi dan Salibis) yang memandang Islam sebagai ancaman bagi kepentingan dan eksistensi mereka. Demonologi Islam menjadi bagian dari strategi Barat untuk meredam kekuatan Islam, yang mereka sebut sebagai the Green Menace (Bahaya Hijau).

Demonologi Islam yang sasarannya bukan hanya masyarakat Barat melainkan juga masyarakat Islam agar mereka anti dan menjauh dari agamanya sendiri, berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan para pejuangnya, melalui berbagai penjulukan-penjulukan “fundamentalisme Islam” (Islamic Fundamentalism), “terorisme Islam” (Islamic Terorism), dan “bom Islam” (Islamic Bomb), yang dipopulerkan media massa.

Dengan cara itu, Barat berupaya menenggelamkan citra Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan sistem hidup (way of life) terbaik bagi umat manusia, membuat masyarakat dunia memusuhi dan memerangi Islam (menumbuhkan Islamophobia-ketakutan terhadap Islam), sekaligus mencegah dan melindas isu kebangkitan Islam (The Revival of Islam).

Pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat –khususnya negara adikuasa Amerika Serikat-menata dunia menurut kepentingan mereka. Barat mengklaim diri sebagai pemegang supremasi kebenaran, sedangkan semua yang mengancam kepentingannya-dalam hal ini Islam atau komunitas Islam-atau bahkan tidak bersepakat dengannya dianggap berada di jalan yang sesat. Media massa sekedar sarana pembentuk makna. Kesan buruk mengenai Islam perlu diciptakan agar penindasan Islam dapat dilakukan dengan persetujuan khalayak.

Jadi, terbentuknya opini publik (public opinion) tentang bahayanya Islam atau Islam sebagai ancaman akibat pemburukan citra Islam tersebut, dapat memberikan semacam legitimasi dan justifikasi bagi Barat dan antek-anteknya untuk membasmi siapa saja dan kelompok apa saja yang mengusung bendera Islam dalam perjuangan politiknya. Bahkan, “Serangan terhadap ekstremis muslim-yaitu fundamentalisnya pers populer-dengan mudah berubah menjadi serangan terhadap seluruh umat Islam!”.

Terorisme Islam

Terorisme Islam atau teroris Islam merupakan label paling keji yang dialamatkan Barat kepada Islam dan kaum muslimin. Sebagai bagian dari upaya demonologi Islam, label tersebut dipopulerkan media massa Barat dan pro Barat (cermati pemberitaan media-media nasional akhir-akhir ini terkait bom Mega Kuningan) sebagai konsep untuk memahami aksi-aksi kekerasan bernuansa politis yang melibatkan kalangan Islam atau aktivis gerakan Islam, sekaligus membuat image dan public opinion bahwa Islam dan kaum muslimin itu penumpah darah, keji, barbar, sadis dan pembunuh.

Label ini, selain untuk menumbuhkan Islamophobia juga sekaligus untuk membatasi ruang gerak dan meredam aktivitas perlawanan bersenjata (perjuangan militer) gerakan-gerakan Islam sebagai reaksi atas penindasan atau operasi militer pemerintah terhadap mereka. Dengan istilah terorisme Islam pula, Barat hendak meredam semangat jihad fi sabilillah para pejuang muslim, sekaligus mendiskreditkan dan mengaburkan makna konsep jihad dalam Islam.

Terorisme sendiri merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuwan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian istilah yang kesannya mengerikan itu. Tidak ada satu pun definisi “terorisme” yang diterima secara universal. Yang jelas-dan ini pasti disepakati-terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive).

Banyak analis sepakat bahwa terorisme memiliki cara yang khas, yaitu pengunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodenya adalah pemboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: aksi kekerasan bersenjata.

Dr. Knet Lyne Oot, mendefinisikan terorisme sebagai:
1.Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material
2.Sebuah pemaksaan tingkah laku lain
3.Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas
4.Tindakan kriminal bertujuan politis
5.Kekerasan bermotifkan politis, dan
6.Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis

Jika definisi tersebut dipakai, perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki “biang teroris atau mbahnya teroris” karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti nuklir.

Istilah terorisme, menurut Chomsky mulai digunakan pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah itu diterapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh individu atau kelompok. Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat.

Kisah bajak laut dengan Alexander Agung di atas menggambarkan dengan sangat akurat hubungan antara Amerika dan berbagai aktor kecil di panggung terorisme internasional dewasa ini. Lebih luas lagi, kisah di atas mengungkapkan makna terorisme internasional dalam penggunaannya di Barat dan menyentuh inti kebiadaban menyangkut peristiwa tertentu yang hari-hari ini dirancang dengan sinisme yang paling kasar sebagai “selimut kebiadaban barat”.

Terakhir, tudingan terhadap kaum muslimin sebagai pelaku teror, di satu sisi menunjukkan adanya “rasa bersalah” (guilty feeling) sekaligus “pengakuan” Barat khususnya Amerika terhadap dunia Islam. Pemerintah Washington bisa jadi merasa bahwa aksi-aksi kekerasan yang terjadi selama ini sebagai ulah kaum muslimin yang marah terhadapnya, karena selama ini Amerika dan sekutu-sekutunya selalu mendukung pembasmian “fundamentalisme Islam” dan menjegal naiknya kelompok muslim “garis keras” ke tampuk kekuasaan di berbagai negeri muslim, termasuk “dosa besar” Amerika yang menopang dan menjadi “centeng” setia Israel, musuh bersama dunia Islam.

Allahumma Tsabbit Qolbana ‘Ala Dinika

2 komentar:

  1. RENDAH DIRI KAUM WAHABI
    Dalam sebuah diskusi di Paramadina beberapa waktu lalu, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut kelompok Islam Wahhabi sebagai kelompok Islam yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi. Kelompok ini kemudian menutupi rasa rendah dirinya dalam bentuk mental mudah tersinggung, gampang mengkafirkan orang, dan aksi-aksi kekerasan. Mereka menganggap diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas kebenaran sejati. Kelompok-kelompok lain adalah kafir, penghuni neraka, dan kalau perlu harus dimusuhi bahkan dibasmi.
    Belakangan, ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, dan pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat. Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka segelintir saja.
    Ideologi yang dikembangkan kelompok yang gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat ini sangat mirip dengan ideologi Islam yang sekarang dianut kerajaan Arab Saudi, Wahhabisme. Bahkan kebanyakan pengamat mengatakan bahwa hampir semua gerakan Islam garis keras dewasa ini merupakan bagian dari, atau setidaknya dipengaruhi oleh, kelompok Wahhabi. Ideologi inilah yang dianut secara resmi oleh Taliban di Afganistan dan jaringan al-Qaidah yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.
    Gus Dur menyebut kelompok Wahhabi memiliki rasa rendah diri yang sangat besar karena ideologi ini berasal dari satu wilayah pinggiran di jazirah Arab, yaitu Najd. Kota Najd adalah satu wilayah yang dalam sejarah Islam tidak pernah memunculkan intelektual atau pemimpin Islam yang diakui. Wilayah ini malah terkenal sebagai wilayah yang kerap melahirkan para perampok suku Badui. Nabi sendiri mengakuinya dalam salah satu hadis. Orang-orang Najd juga adalah kelompok orang yang paling akhir masuk Islam. Bahkan Najd melahirkan tokoh oposan terhadap nabi Muhammad yang amat terkenal: Musailamah al-Kazzab (Musailamah Sang Pembohong). Musailamah mendeklarasikan diri sebagai nabi pesaing untuk menandingi popularitas kenabian Muhammad saat itu.

    BalasHapus
  2. Bos, orang gila ente percaya. Nampaknya hanya orang gila yang bisa ngerti fatwa gilanya orang gila.....kekekekekekkkkkk.

    BalasHapus