Tulisan dibawah sempat populer di kompasiana.com karena jika dilihat
dari judul dan isinya, apabila benar maka sangat hebat permainan
sandiwara para petinggi negara kita ini. Berdoa saja semoga semuanya
terselesaikan dengan baik.
sumber :
http://politik. kompasiana. com/2009/ 11/15/fakta- di-balik- kriminalisasi- kpk-dan-keterlib atan-sby/
Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang sebenarnya,
tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang bertujuan
mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu
mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan
orang-orang yang sudah dipilih oleh "sang sutradara", akibatnya,
meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita
telusuri mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang
baru, menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar
biasa. Dia main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan
Presiden SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati (PDIP), ini tidak
pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi langsung disikat.
Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya masih menggantung
pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri, dinilai Jaksa Agung Hendarman
sebagai bentuk balasan dari sikap Kejaksaan Agung yang tebang pilih,
dimana waktu Hendraman jadi Jampindsus, dialah yang paling rajin
menangkapi Kepala Daerah dari Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses
menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP, dan orang-orang yang dianggap
orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka Hendarman pun dihadiahi
jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu
banyak pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan
banyak konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di
Kejaksaan dan Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu
saja hal ini sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim,
karena selama ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para
aparat Kejaksaan dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui
Bareskrim adalah supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira
polisi lainnya.
Sikap Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY
sangat marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena
dia harus menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati
Pemilu, dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh
orang-orang dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan
kampanye, bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas
korupsi. SBY terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa
Pohan , suka menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa
Agung untuk mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk
"melenyapkan" Antasari. Tak hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri
juga membawa konglomerat hitam pengemplang BLBI [seperti Syamsul
Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong, dan lain-lainnya) , dan
konglomerat yang tersandung kasus lainnya seperti James Riyadi (kasus
penyuapan yang melibatkan salah satu putra mahkota Lippo, Billy Sindoro
terhadap oknun KPPU dalam masalah Lipo-enet/Astro, dimana waktu itu
Billy langsung ditangkap KPK dan ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong
dan Sisminbakum yang selama masih mengantung di KPK), Tommy Winata
(kasus perusahaan ikan di Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK),
Sukanto Tanoto (penggelapan pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat
lainnya].
Para konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun
mereka minta agar kasus BLBI , dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani
KPK. Jalur pintas yang mereka tempuh untuk "menghabisi Antasari
" adalah lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari- Maret 2008
semua wartawan Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah
wartawan brodex – wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di
Hotel Bellagio Kuningan. Ada dana yang sangat besar untuk membayar
media, di mana tugas media mencari sekecil apapun kesalahan Antasari.
Intinya media harus mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan
menggusur Antasari.
Nyatanya, tidak semua wartawan itu "hitam", namun ada juga
wartawan yang masih putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari
lewat media tidak berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri
dan Jaksa Agung yang di back up SBY untuk menjatuhkannya. Antasari
bukannya malah nurut atau takut, justeru malah menjadi-hadi dan terkesan
melawan SBY. Misalnya Antasari yang mengetahui Bank Century telah
dijadikan "alat" untuk mengeluarkan duit negara untuk membiayai
kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar skandal bank itu. Antasari
sangat tahu siapa saja operator –operator Century, dimana Sri
Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari kas negara, kemudian
Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra Sanpurna) bertindak
sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan dana di Century,
sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang digunakan untuk biaya
kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam
kapasitasnya sebagai Bendahara Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy
Baskoro plus Djoko Sujanto (Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara
Tim Sukses SBY. Modus penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus
melibatkan orang bank (agar terkesan Bank Century diselamatkan
pemerintah), maka ditugaskan lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri),
yang kabarnya akan dijadikan Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh
Sumaryono (pejabat Bank Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk
memimpin Bank Century saat pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke
Bank Century.
Antasari bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam
akan membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan
oleh perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah
menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga
Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle SBY.
Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui para
intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk menggunakan
menjerat Antasari.
Orang pertama yang digunakan adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang
cukup dekat Antasari sejak Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih
menjadi pegawai. Maklum Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus
(Makelar Kasus). Dan ketika Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin
melaporkan kalau ada korupsi di tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia
(induk Rajawali Putra Banjaran). Antasari minta data-data tersebut,
Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan catatan Antasari harus menjerat
seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan merekomendasarkan ke Menteri
BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT RNI, begitu jajaran direksi
PT RNI ditangkap KPK.
Antasari tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan
Nasrudin ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga
Antasari belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi
yang mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk
bergabung untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan
dilaporkan ke Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka
skenario pun disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti
untuk menjebak Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan, yang diikuti
Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari hanya dengan
umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari sangat lemah. Oleh
karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan Nasrudin, dimana dibuat
skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar lebih sempurna, maka
dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono. Mengapa polisi dan
kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin, Sigit adalah kawan
Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh Antasari dalam kasus
penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp 400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini ternyata menggelapakan
dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar. Sebagai teman, Antasari,
mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku, sehingga tidak harus
"dipaksa KPK". Nah Sigit yang juga punya hubungan dekat dengan
Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di situlah
kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta untuk
memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar
tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait
dengan "terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga
Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah menyangka, bahwa
akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk melengserkan Antasari
selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun skenario yang sekarang
seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau jujur, eksekutor
Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan polisi, tetapi
seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Bibit dan Chandra. Lalu bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian
dan Kejaksaan berpikir dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah.
Dalam kenyataannya, tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang
rajin meneruskan pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari
ditangkap, Antasari pesan wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada
dirinya, maka penelusuran Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah sebabnya KPK terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus
melakukan penyadapan-penyadap an. Nah saat melakukan berbagai penyadapan,
nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp
10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau
180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran
Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu
biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari
hasil jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa
dipahami, soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara
melalui Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah dua pimpinan KPK yang intens akan membuka
skandal bank Bank Century. Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno
pun ditugasi untuk mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui
seorang Markus (Eddy Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra
mengeluarkan surat cekal untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian
dibuat Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang.
Nah, saat masih dituduh menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan
Chandra bersama para pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat
lemah, maka disusunlah skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah
Antasari dibujuk dengan iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap
(dihukum tapi tidak berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa
Bibit dan Chandra melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang memang dibidik KPK, dijanjikan
akan diselsaikan masalahnya Kepolisian dan Jaksa, maka disusunlah
berbagai skenario yang melibatkanAnggodo, karena Angodo juga selama ini
sudah biasa menjadi Markus. Persoalan menjadi runyam, ketika media mulai
mengeluarkan sedikir rekaman yang ada kalimat R1-nya. Saat dimuat media,
SBY konon sangat gusar, juga orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan
Chandra sangat tahu kasus Bank Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon
ditegur habis Presiden SBY agar persoalan tidak meluas, maka ditahanlah
Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa diduga, rupanya penahaan Bibit dan
Chandra mendapat reaksi yang luar biasa dari publik maka Presiden pun
sempat keder dan menugaskan Denny Indrayana untuk menghubungi para pakar
hokum untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah SBY, Jaksa Agung,
Kapolri, Joko Suyanto, dan para kongloemrat hitam, serta innercycle SBY
(pengumpul duit untk pemilu legislative dan presiden). RASANYA ENDING
PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP.
Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk penyumbang Pemilu yang
paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun
berani menagkap Anggodo!
Oleh : Rina Dewreight
Tidak ada komentar:
Posting Komentar