Semoga menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan....
Syaikh Bakar bin ‘Abdullah Abu Zaid, salah seorang anggota Lajnah Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyan wal Ifta’ Saudi Arabia, menulis dalam kitabnya La Jadida fi Ahkami ash-Sholah terkait perilaku berlebihan dalam mengamalkan sunnah meluruskan shof sebagai berikut:
Beliau menyebutkan bahwa dalam meluruskan shof, ada tiga sunnah yang perlu diperhatikan:
1. Meluruskan shof, menegakkan dan menyejajarkannya.
2. Mengisi celah-celah, di mana tidak ada celah-celah dalam shof tersebut.
3. Menyambung dan menyempurnakan shof pertama, lalu shof berikutnya.
Beliau katakan, di antara tata cara baru yang bekaitan dengan shof sholat tanpa ada dasarnya berupa mengejar orang yang berada di sebelah kanannya bila ia berada di sebelah kanan shof dan mengejar orang yang berada di sebelah kiri bila ia berada di sebelah kiri shof. Juga, membengkokkan kedua tumitnya agar kedua mata kakinya menempel dengan kedua mata kaki orang yang ada di sebelahnya. Beliau sebut semua ini merupakan tata cara tambahan terhadap apa yang sudah diriwiyatkan, di dalamnya mengandung sifat berlebih-lebihan dalam menerapkan sunnah.
Terkait menyejajarkan antara bahu, mata kaki dan leher (An-Nasai: 814), Syaikh Bakar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah berbaris, saling sejajar, segaris dan mengisi celah-celah, bukanlah berarti “menempelkan”. Sebab, menempelkan leher dengan leher orang lain sangat mustahil dilakukan.
Mengharuskan bahu menempel dengan bahu orang lain setiap kali berdiri juga merupakan tindakan memaksa diri secara nyata.
Demikian pula, menempelkan lutut dengan lutut orang lain sangat tidak mungkin dilakukan. Sedang dalam menempelkan mata kaki dengan mata kaki orang lain adalah terlalu memaksakan dan menyusahkan diri.
Oleh karena itu, menurut beliau, jelaslah bahwa menyejajarkan empat anggota tubuh: leher, bahu, lutut dan mata kaki adalah termasuk satu masalah. Bahwa yang dimaksud dari perintah itu adalah anjuran agar meluruskan shof, saling sejajar, segaris dan menempel di satu garis, tanpa ada kebengkokan dan celah-celah. Bukan menempelkan leher, bahu, lutut dan mata kaki kita dengan orang lain secara hakiki. (kalimat yang digaris bawahi dari saya).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rohimahullahu Ta’ala berkomentar, “ Maksud meluruskan shof adalah orang-orang yang berdiri dalam shof tersebut di atas satu garis, atau maksudnya adalah mengisi celah-celah yang ada dalam shof tersebut. “ (Fathul Bari/II/247)
Syaikh Bakar juga mengambil pemahaman sahabat Nu’man bin Basyir terkait perintah meluruskan shof, yaitu; lurus dan mengisi celah-celah, bukannya menempelkan dan melekatkan bahu dan mata kaki.
Sahabat Nu’man bin Basyir berkata, “Aku pernah melihat seorang laki-laki dari kami yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” Maka Al-Hafidzh Ibnu Hajar berkomentar, “Maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shof dan mengisi celah-celahnya.” (Fathul Bar/II/247)
Syaikh Bakar menegaskan, menempelkan lutut dengan lutut sangat sulit dilakukan. Maka, jelaslah bahwa maksudnya adalah anjuran untuk mengisi celah-celah, meluruskan dan mengatur shof, bukannya menempelkan dan melekatkan.
Oleh karena itu, Khottobi Rohimahullahu Ta’ala berkomentar tentang arti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia bertutur: Rasulullah shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bahu-bahunya paling lentur dalam sholat.” (HR. Abu Dawud)
Khothtobi berkomentar yang konteksnya sebagai berikut, “Artinya, selalu tenang dan tumakninah dalam sholat, tanpa menoleh-noleh dan menggosokkan bahunya dengan bahu temannya.”
Kutipan selesai...>>>>>
Maka saya berpendapat:
1. Maksud meluruskan shof dalam sholat bukan merapatkan empat anggota tubuh; leher, bahu, lutut dan mata kaki, karena hal itu mustahil dilakukan.
2. Berdalil dengan Fattaqullaha mas’tathotum adalah untuk hal-hal yang realistis, sebab tidak realistis dan mustahil menempelkan empat anggota tubuh itu.
3. Apabila ada perbedaan dalam memahami hadits yang sama, maka spirit syariah adalah ambil yang termudah.
4. Apakah mungkin Nabi saw memerintahkan sesuatu yang mustahil dilaksanakan? Apakah kita akan terus terbelenggu memahami syariah secara dzahir semata?
5. Adakah yang mempraktekkan itu sekarang? Justru yang banyak orang praktekkan sekarang adalah saling menempelkan pinggir dampal kaki, apakah itu sesuai sunnah? Padahal yang ‘diperintahkan’ adalah ‘menempelkan’ leher, bahu, lutut dan mata kaki.
Semoga bermanfaat bagi orang-orang yang berfikir....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar