Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dalam Refleksi Imlek 2561 menegaskan partainya tetap menjadi penjaga pluralisme dan kebhinekaan (Republika, 13/2). Kembali persoalan pluralisme diangkat untuk membenarkan mengikuti perayaan ibadah agama lain sebagai bentuk perwujudan toleransi, tanpa mempelajari dengan cermat bahwa ada beda antara pluralisme dengan toleransi.
Sebagai sebuah partai yang mengklaim lahir dari rahim Nahdlatul Ulama dan memperjuangkan aspirasi warga Nahdliyin, nampaknya PKB perlu mencermati ulang apakah aspirasi keagamaan warga NU terapresiasi secara benar atau tidak, sebab warga NU terikat oleh Khittah Nahdlatul Ulama sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan serta dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berlandaskan faham Ahlussunnah wal jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali (Nahdlatul Ulama Kembali Ke Khittah 1926, hal, 117 yang tercantum juga dalam anggaran dasar NU pasal 3 tentang Aqidah). Nampaknya tidak ada satu pun dari keempat madzhab itu yang menganjurkan untuk menghadiri perayaan ibadah agama lain. Apakah sikap PKB di atas yang diwakili Ketua Umumnya sebagai salah satu warga NU adalah cerminan dari kesetiaan terhadap khittah NU atau tidak, dapat dilihat dari seberapa konsisten ia mengamalkan Khittah NU tersebut.
Komitmen PKB Terhadap Paham Ahlussunnah wal Jama’ah
Dalam draft bai’at pengurus Partai Kebangkitan Bangsa tertulis; kami selalu setia kepada garis perjuangan partai yaitu; pengabdian kepada Allah SWT, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Ahlussunah Waljamaah.
Juga tercantum dalam bai’at tersebut bahwa sebagai Dewan Pengurus Wilayah/Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Provinsi/Kab/Kota, pengurus harus senantiasa mengikuti garis perjuangan Nahdlatul Ulama dan As-Salafus Shalih dalam melaksanakan ‘amar ma’ruf nahi munkar.
Apabila ini secara konsisten dijalankan, maka PKB tidak perlu menjalankan politik pragmatis-hipokrit mengelabui umat Islam khususnya warga NU bahwa sebenarnya PKB telah keluar dari garis perjuangan Ahlussunnah wal Jama’ah, artinya tidak lagi secara utuh memperjuangkan aspirasi warga NU. Apalagi harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sementara menyokong pluralisme adalah sikap yang jelas-jelas keliru.
Adapun bicara soal toleransi, pada dasarnya toleransi dalam Islam sudah selesai, artinya Islam telah secara konseptual dan faktual mengamalkan toleransi dalam sejarah peradaban dunia yang tiada bandingannya. Adalah ahistoris bagi salah seorang pemimpin bangsa yang tidak kenal bagaimana begitu luar biasa tolerannya Islam dan kaum muslimin sepanjang sejarah kehidupan manusia pasca Rasulullah saw diutus. Namun tidak sekalipun Rasulullah saw menunjukkan toleransinya dalam bentuk ikut campur dalam praktek perayaan ibadah agama lain begitu pula para Sahabat dan Ulama Salafus shalih, termasuk Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. MUI-sebagai kumpulan para ulama Indonesia yang di dalamnya banyak para Kyai NU- pun sudah mengeluarkan fatwa haramnya menghadiri perayaan ibadah agama lain.
Khittah Nahdlatul Ulama Di Bidang Aqidah
Dalam dasar-dasar faham keagamaan Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa “Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi (Ibid, hal, 118). Sebagaimana juga ditetapkan dalam Anggaran Dasar NU pasal 3 tentang Aqidah “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah dan mengikuti salah satu madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali.” Jelas dan sangat tegas seharusnya tidak satupun warga NU hatta orang besarnya sekalipun menyimpang dari khittah ini.
Nampaknya Bang Muhaimin perlu membaca ulang fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tetang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Dalam fatwa itu dibedakan antara pluralisme dan pluralitas. Jika kehadiran Bang Muhaimin di acara refleksi Imlek itu dianggap sebagai penghormatan terhadap pluralitas maka praktek tersebut telah masuk ke wilayah pluralisme agama sebagaimana dikatakan sendiri oleh Bang Muhaimin. Artinya bisa jadi Bang Muhaimin meyakini bahwa Konghucu dan Islam adalah sama. Islam bukan agama yang paling benar serta umat Islam akan hidup berdampingan dengan umat Konghucu di surga.
Namun mudah-mudahan kita berharap pluralisme yang dimaksud adalah pluralisme sosiologis bukan teologis sebagaimana diistilahkan oleh KH. Hasyim Muzadi yang mengomentari pluralismenya Gus Dur. Namun masalahnya benarkah pemikiran Gus Dur dan Bang Muhaimin selaku muridnya bukan pluralisme teologis? Bukankah menghadiri dan ikut merayakan Imlek merupakan perkara teologis, lalu fa biayyi haditsin ba’dahu yu’minuun?
Beda Puralisme dengan Toleransi
Pluralisme, menurut Dr. Anis Malik Thoha (Mustasyar NU Cabang Istimewa Malasyia), pluralisme adalah ideologi asing sebagaimana democracy, humanism, liberalism, dsb yang tidak bisa dimaknai seenaknya saja. Ia memandang seringkali pluralisme dipahami secara simplistis sebagai toleransi.
Bagi Anis, anggapan bahwa “pluralisme agama adalah toleransi agama” adalah anggapan subyektif yang jelas-jelas ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Seperti Diana L. Eck dalam “What is Pluralism?”, Albert Dondeyne dalam “faith and the World” dan Arnold Toynbee dalam “An Historian’s Approach”, yang memiliki pandangan miring terhadap toleransi (Republika, 14/01). Pendapat-pendapat mereka dapat disimpulkan bahwa pluralisme itu lebih dari sekedar toleransi, menurut mereka seorang pluralis perlu melampaui toleransi menuju pemahaman yang konstruktif. Yakni jika hanya sekedar saling memahami dan menghargai maka toleransi adalah kebaikan yang menipu dan sebuah eksfresi ketidak toleranan yang sistematis. Dalam Istilah lain, toleransi dengan begitu hampir sinonim dengan intoleransi yang moderat.
Anis Malik Thoha menggaris bawahi bahwa bagi kalangan pluralis sejati, pluralisme tidak hanya sekedar kesetaraan dalam hak politik, sosial dan ekonomi semata. Tetapi lebih kepada “kesamaan’ dan “kesetaraan” dalam segala hal, termasuk “beragama”. Dimana setiap pemeluk agama harus memandang kebenaran yang sama pada semua agama dan pemeluk-nya. Hal inilah yang selama ini disalah pahami oleh kalangan pluralis di Tanah Air.
Maka jika menghadiri perayaan ibadah agama lain dianggap oleh PKB sebagai menjaga pluralisme, tecapailah apa yang diinginkan para penganjur pluralisme di atas. Karena toleransi sebenarnya cukup dengan memahami dan membiarkan bukan turut campur, jika turut campur yang dilakukan, namanya bukan lagi toleransi tetapi intervensi.
Sementara dalam penjelasan tentang sikap toleran (tasamuh) Khittah NU, menegaskan bahwa “Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.” Oleh karena itu tegas bahwa tidak ada toleransi dalam perkara aqidah yang sementara ikut hadir dalam perayaan agama lain adalah haram karena termasuk pelanggaran aqidah sebagaimana fatwa MUI tentang itu.
Kerukunan antar umat beragama tidak harus dengan saling menghadiri acara keagamaan masing-masing. Tetapi upaya saling memahami dan menghargai harus terus diserukan secara simultan tanpa harus menggadaikan aqidah masing-masingnya pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar