Titik tolak pembaharuan pemikiran Islam masa Orde Baru, bermula dari pidato menyimpang Nurcholish Madjid (Cak Nur) di awal tahun 1970 yang kemudian menimbulkan kehebohan di kalangan umat Islam. Dawam Rahardjo memberikan keterangan, tak sedikitpun Cak Nur – berniat membuat heboh. Bahkan ceramahnya itu hanya “kebetulan” saja: ia menggantikan Dr. Alfian. Dan Cak Nur tidak menyangka, bahwa pemikirannya akan sejauh itu dampaknya. Pemikirannya yang terkenal dengan slogan “Islam Yes. Partai Islam No”. sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebut “sekulerisasi”.
Apakah karena kebetulan seaspirasi dengan Cak Nur tentang : “Islam Yes, Partai Islam No”. ataukah pengaruh pemikiran Cak Nur dan kawan-kawan yang jelas pemerintah Orde Baru melakukan “deideologi” partai Islam, dan kemudian diganti dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas seluruh orsospol .
Budhi Munawar-Rachman menjelaskan bahwa ada tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia yaitu (1). Islam Rasional dengan tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi dengan membawa pandangan-pandangan Mu’tazilah (2) Islam Peradaban yang diantara tokohnya Cak Nur dan Kuntowijoyo dan (3) Islam Transformatif dengan tokohnya Adi Sasono, M. Dawam Rahadjo.
Gerak pembaharuan pemikiran Islam pada tahun 1970-an dilaksanakan oleh pemikir-pemikir individual yaitu pemikir yang tidak terlalu terikat oleh organisasi seperti NU, Muhammadiyah, SI dan lainnya. Dahulu ketika melempar isu pembaharuan islam pada tahun 1970-an, Cak Nur relatif single fighter, tetapi sepuluh atau duapuluh tahun kemudian- pada decade 1980-an apalagi 1990-an- Cak Nur sudah tidak lagi sendirian.
Gagasan-gagasan Cak Nur dan kawan-kawan di rentang akhir tahun 1980-an dan sepanjang tahun 1990-an banyak dipublikasikan dalam buku-buku yang diterbitkan secara luas diantaranya oleh Mizan, Jurnal Ulumul Qur’an dan Islamika juga Paramadina sendiri.
Buah Pemikiran Cak Nur dan sahabat-sahabatnya banyak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam, diantara yang menghangat adalah perseteruan konsep-konsep pemikiran Islam melalui tulisan antara Ulumul Qur’an dengan Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah. Turut andil pula lembaga-lembaga kajian yang menghasilkan kader-kader muda lewat Paramadina (diantaranya).
Di tahun 2000-an pemikiran Islam diramaikan oleh kader muda Islam diantaranya Ulil Absar ‘Abdala sebagai “Cak Nur Muda” yang menggagas Islam Liberal. Model pemikiran Islam Liberal-nya Ulil tidak jauh berbeda dengan pembinanya Nurcholis Madjid.
Gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh kalangan liberal ini berupaya mendekontruksi teks-teks syariat dan warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Metode yang ditempuh adalah dengan merombak dan membongkar seluruh bangunan pemikiran klasik (turats), setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar selalu yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan ahistoris menjadi historis.
Menurut Adian Husaini ada beberapa tantangan pemikiran Islam kontemporer yang memerlukan penanganan sangat serius dari umat Islam yang datang langsung dari para pemikir Barat maupun para pemikir muslim secular-liberal yang terpengaruh pola pikir barat, di antaranya:
1. Tantangan Peradaban Barat.
2. Masalah Kristenisasi
3. Masalah Kolonilaisme/ imperialism modern
4. Masalah Orientalisme
5. Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an
6. Studi agama-agama
7. Pluralisme Agama
Keprihatinan Seorang Natsir
Dalam Salah satu catatan akhir pekannya di Radio Dakta Bekasi, Adian Husaini menyebutkan bahwa Natsir sangat sedih dan khawatir atas merebaknya destruktifikasi Islam oleh kalangan yang mengaku sedang melakukan pembaruan Islam. Namun sebelum lebih jauh membedah sikap dan antisipasi natsir terhadap gerakan ini, latar belakang pemikiran Islam Natsir penting dielaborasi untuk menentukan seberapa kompeten Natsir menyikapi fenomena di atas.
M. Natsir, menurut salah satu muridnya, Yusril Ihza Mahendra memandang bahwa tulisan-tulisannya, yang seluruhnya ditulis sebagai respons intelektual terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinannya. Tulisan-tulisan itu dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun kesadaran baru terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya, dan kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa, baik di masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya memang telah menjadi fokus perhatian Natsir sejak awal. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam menjadi bahan polemik berkepanjangan dalam masyaratnya.
Memasuki awal abad ke dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin menguat di Minangkabau, dan hal ini menjadi sumber polemik pula. Natsir – karena latar belakang keluarganya – memilih Islam sebagai jalan hidup.
Dengan memilih Islam, Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap Islam, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi dan universal. Dalam konteks ini Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang menempatkan dirinya sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran, tetapi juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para akademisi umumnya menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia karena pengaruh dari berbagai gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia Selatan.
Buya Hamka dalam orasi penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di tahun 1962, menyebutkan pengaruh yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh kepada gerakan pembaharuan di tanah air. Buya Hamka menyebutkan hampir semua tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh dari Mohammad Abduh. Dari berbagai dialognya, Yusril berkesimpulan bahwa Natsir sampai kepada cita pembaharuan Islam itu, bukanlah karena pengaruh pemikiran dari Timur Tengah, melainkan berangkat dari keprihatiannya sendiri.
Natsir secara khusus sangat terkesan dengan tafsir al-Manar karya mohammad Abduh, baik karena interpretasi-interpretasinya yang sangat maju dalam menjelaskan Islam sebagai suatu sistem. Ia juga sangat terkesan dengan argumen-argumen Abduh dan Rasyid Ridla tentang kebajikan-kebajikan Islam yang dapat berkembang dalam dunia modern, bukan hanya dengan pemurnian Islam sendiri, melainkan juga melalui dorongan untuk memahami ilmu pengetahuan barat.
Natsir kemudian menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang ditempuhnya untuk menelaah berbagai literatur dengan kritis. Yusril menyebutkan, baru di masa belakangan Natsir membaca Tafsir Al-Manar dan karya-karya Mohammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya dari Timur Tengah. Namun Natsir mengaku telah membaca berulangkali karya Ali Abdurraziq yang kontroversial, Al-Islam wa Uhulul Hukm, ketika berpolemik dengan Sukarno. Sebelumnya Natsir banyak berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di Persatuan Islam Bandung), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Natsir, pada dasarnya adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.
Natsir berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal. Islam menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai orientasi yang benar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas dasar iman kepada Allah Yang Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari akhir akan mendorong ketaatan setiap insan kepada kaidah-kaidah etika, karena Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya. Ibadat harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Natsir menulis buku tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan melaksanakannya.
Mengenai soal hukum, Natsir berpendapat syari’at Islam sangatlah luas dan mempunyai fleksibelitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun manusia, menurutnya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat keterbatasan pengetahuan manusia dan relativitas temuan ilmu-pengetahuan. Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Natsir atas tulisan-tulisan Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.
Salah satu sumbangan besar Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat ditransformasikan dan diformulasikan ke dalam sebuah rumusan untuk dijadikan sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik. Rumusan itu bersifat eksplisit, tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk mencapainya. Rumusan seperti itulah yang disebut sebagai ideologi.
Peran M. Natsir Dalam membendung Gerakan pembaruan Islam Menyimpang
Natsir memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting untuk membangun kesadaran umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan eksistensi dirinya. Di zaman Belanda, natsir sangat prihatin dengan ketimpangan kebijakan Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah dan pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Natsir terhadap kegiatan missi Kristen terus berlanjut sampai wafatnya.
Namun Natsir mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian Natsir kepada pendidikan, telah muncul sejak usia muda. Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan tinggi Islam di tanah air. Natsir melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan menjadi lebih baik, jika pendidikan dibenahi. Natsir juga mengirim banyak generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai negara.
M. Natsir saat menjadi Perdana Menteri pertama RI 1950-an mengeluarkan rekomendasi kepada sejumlah mahasiswa untuk belajar ke luar negeri khususnya di Timur Tengah.
Di antara universitas di Timur Tengah yang dijadikan tempat belajar oleh mahasiswa Indonesia adalah : (1) Universitas Islam al-Madinah Al-Munawarrah, Arab Saudi, (2) Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi dan (3) Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir.
Azyumardi Azra mengutip hasil penelitian Mona Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Timur Tengah khususnya di Al-Azhar. Menurutnya mahasiswa Indonesia di Timur Tengah terbagi pada dua kelompok secara umum yaitu mahasiswa sebelum tahun 1970-an yang cenderung memiliki pemikiran “Islam Liberal” seperti Hassan Hanafi atau Zaki Najib Mahmud dan mahasiswa setelah tahun 1970-an pemikirannya bernada “Islam Fundamentalis”. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi Timur Tengah itu sendiri dari semangat liberalisme berubah kepada arus fundamentalisme .
Annis Matta Lc (salah seorang lulusan Timur Tengah) , menyatakan bahwa semangat pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimun telah merasuk di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Saudi Arabia sejak tahun 1980-an, perpustakan untuk pemikiran Islam semuanya diisi oleh buku-buku yang dikarang para tokoh IM, maka menurutnya secara otomatis pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin terbawa oleh para mahasiswa yang belajar disana.
Sepulangnya belajar di luar negeri, bila lulusan Barat (AS) membawa “oleh-oleh” Islam Ilmiah (Pembaharuan Pemikiran Islam) sedangkan lulusan Timur Tengah membawa “oleh-oleh” Islam Harakah (Islam pergerakan-khususnya Al-Ikhwanul Al-Muslimun).
Tercatat beberapa nama diantaranya Ustadz Abu Ridha Lc, Ustadz Rahmat Abdullah Lc, Ustadz Hilmi Lc., Ustadz Saeful Islam Mubaraq Lc., dll, yang gencar mendakwahkan pemikiran-pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin dengan membentuk gerakan dakwah Tarbiyah.
Geliat dakwah lulusan Timur Tengah ini mendapat respon luar biasa di kampus-kampus seperti UI, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, UNPAD, UGM , dll di antara tahun 1980-1998 yang kemudian bermetamorfosis menjadi PK selanjutnya PKS.
Liberalisme dan Sekularisme
Paham ‘kebebasan’ merupakan konsep yang sangat penting dalam worldview sekuler. Dalam pandangan paham ini jagad raya tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada surga dan neraka. Dalam pandangan alam sekuler, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan dunia saja, tidak ada ukhrawi. Serta alat untuk mencapai kesejahteraan duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka.
Menurut Wan Daud, prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melewati pengalaman yang amat memilukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini kemudian digeneralisasikan sebagai suatu hukum tetap perkembangan manusia, seperti yang diungkapkan Max Weber dan lain-lain. Yakni, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, mereka sangat memerlukan Worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama untuk menguraikan segala fenomena alam dan menafsirkan jatuh bangun roda kehidupan yang tidak menentu.
Paham ‘kebebasan’ (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, equality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Ustmani.
Paham ini kemudian merasuk ke jantung dunia Islam dan merusak tatanan syariah yang sudah mapan. Menurut Adian Husaini, secara sistematis liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu:
1. Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2. Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
3. Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an
Dalam pembahasan epistemologi, salah satu pembahasan yang paling penting adalah mengenai jawaban dari sebuah pertanyaan: ”apa yang bisa diketahui?” Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, manusia dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiyaar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan yang salah, yang haq dan yang baathil, yang sejati dan yang palsu, yang ma’ruf dan yang munkar, yang berguna dan yang berbahaya. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, mengetahui itu tidaklah mustahil.
Hal ini berlawanan dengan pemikiran kaum Sofis yang cenderung relativistik. Menurut mereka, kebenaran itu relatif. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu dibenarkan oleh yang lain. Sebagian diantaranya bahkan mengatakan bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui kebenaran, sedangkan manusia takkan pernah mencapai pengetahuan itu.
Sekularisme adalah aliran pemikiran yang sepenuhnya diimpor dari Barat. Oleh karena pengalaman masa lalu Barat yang dipenuhi dengan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, maka mereka pun membedakan antara science (ilmu pengetahuan) dan knowledge (pengetahuan). Ilmu-ilmu yang sifatnya fisik dan dapat dibuktikan secara empiris dimasukkan dalam kelompok science, sedangkan sisanya, termasuk ilmu agama, tidak dianggap ilmiah. Tidak heran jika dari pemikiran yang semacam ini muncul pemikiran bahwa untuk menjadi ilmuwan yang baik harus melepaskan diri dari agama.
Kaum sekuler seringkali beretorika dengan mengatakan bahwa karena agama itu tinggi, maka ia tidak dilibatkan dalam mengatur kehidupan manusia. Ungkapan ini sering dijadikan pembenaran untuk menjauhkan agama dari urusan-urusan sosial dan politik. Sebaliknya, Islam justru mengingatkan manusia akan ketinggian derajatnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, dan sebagai makhluk yang hanya boleh menghamba pada-Nya. Konsekuensinya, manusia diajarkan untuk mencintai segala hal yang baik, suci dan mensucikan, luhur dan terhormat. Oleh karena itu, agama justru dilibatkan dalam setiap aspek kehidupannya.
Para pengekor Barat di Indonesia secara terang-terangan mendukung sekularisasi Indonesia, bahkan secara nyata menyatakan persetujuannya pada kemaksiatan. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL), telah menyatakan bahwa ”Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular... sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” Dengan demikian, persetujuan terhadap negara sekuler ternyata berdampingan dengan sikap membiarkan kemaksiatan; sebuah sikap yang sangat tercela bagi seorang Muslim.
Jika sekularisme mencegah agama memasuki ranah sosial-politik, maka liberalisme memaksanya untuk tetap dalam ruang privat. Kebebasan manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing, yang diyakini sebagai hak asasi manusia, ditarik lebih jauh lagi sehingga agama itu sendiri tak memiliki batasan yang jelas. Konkretnya, setiap orang bebas menyatakan dirinya menganut agama apa saja, baik mengikuti secara konsekuen agama-agama yang ada, memodifikasi agama untuk dirinya sendiri, atau bahkan menciptakan agama yang benar-benar baru.
Menurut kalangan sekularis-liberalis, tidak ada orang yang berhak menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah. Setiap penafsiran keagamaan harus dianggap relatif. Oleh karena itu, mereka selalu membela aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan sebagainya.
Salah satu tokoh liberalis ini, yaitu Abdul Munir Mulkhan, memiliki pandangan yang sangat simplistis:
Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan dialog pemeluk agama berbeda jadi mungkin.
Cara pandang yang menyamakan semua agama inilah yang disebut pluralisme. Baik sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah ideologi yang setali tiga uang. Konsekuensi dari tindakan mendukung sekularisme adalah juga harus mendukung liberalisme dan pluralisme. Ketiganya telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pandangan Natsir terhadap ‘kebebasan berfikir’
Pada prinsipnya M. Natsir memandang Islam telah menempatkan akal pada tempat yang tinggi dan terhormat. Islam dengan tegas melarang taklid buta kepada paham dan i’tikad yang tidak berdasar kepada wahyu Tuhan, yaitu yang hanya mengikuti paham-paham lama secara tradisional tanpa kajian dan analisis tentang benar atau tidaknya. Dalam Islam akal tidak ditindas dan dipaksa, tetapi dipergunakan dan diberi jalan, disalurkan untuk ketinggian dan keluhuran manusia.
Kebebasan berfikir (akal merdeka) menurut Natsir, bagai dua sisi mata pedang yang sama tajamnya. Kebebasan berfikir akan memperkokoh keimanan namun dapat pula merusak keimanan, bisa membuka jendela berfikir yang bersih namun bisa pula membuat fikiran kotor. Kebebasan berfikir bisa terdapat pada diri orang pintar dengan kepintarannya bisa pula ada pada diri orang bodoh dengan kebodohannya. Begitupula dengan taklid dan fanatisme bisa terdapat pada diri orang jahil maupun intelek.
Kemudian Natsir mengajukan pertanyaan mendasar, ‘Maka sekarang betapa kita akan berhakim kepada akal merdeka semata?!’
Islam datang membangunkan akal dan mendorong manusia memakai akal dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah. Islam datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, tidak menyimpang dan meleset ke mana-mana. Islam datang bukan untuk melepaskan akal dan membiarkannya liar.
Menurut Natsir, dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung kekuatan akal yang tidak dapat mencapai hal yang lebih tinggi lagi. Seseorang yang mengaku bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya bukanlah orang yang telah menggunakan akal dengan benar dan bukanlah orang yang akalnya merdeka, tetapi orang yang terikat oleh semacam taklidisme modern yang bernama ‘rasionalisme’.
Natsir dengan sangat yakin berpendapat bahwa antara akal dan wahyu ada tempatnya masing-masing. Akal tidak mungkin dapat melangkahi wahyu Karena memiliki gelanggangnya masing-masing, supaya tidak keliru menempatkan sesuatu dimana akal bisa digunakan dan dimana posisi wahyu.
Natsir mencontohkan Ibnu Sina sebagai seorang rasionalis besar, tetapi ia tidak melewati batas-batas hukum dalam Islam. Ia tidak salah menentukan mana yang ‘spirit of Islam’ dan mana yang ‘spirit of Hellenisme’.
Secara filosofis Natsir membedakan syariat mana yang harus sami’na wa a’tho’na bila kaifa dan mana yang di situ masih ada ruang untuk ijtihad memberdayakan akal. Natsir melihat Islam diturunkan untuk mengatur semua itu secara pas dan komprehensif tanpa cacat. Dimana Islam tidak mengekang akal dan membebaskannya di lapangan yang sudah disediakan selama tidak melanggar pokok-pokok syariat.
Demikianlah Natsir secara luas dan mendalam mengupas hubungan akal dengan agama sebagai sesuatu yang integral saling mengisi dan mendorong selama didasari oleh niat baik dan keimanan kepada Allah swt. Seringkali masalah orang-orang rasionalis-liberalis lebih kepada ketidakmampuan untuk beriman dan berbaik sangka kepada syariat Allah swt daripada keilmuan mereka yang ternyata keliru juga.
Maka adalah wajar Natsir selaku tokoh umat merasa khawatir dan bersedih menyaksikan para intelektual muda Islam bermain-main dengan sakralitas wahyu Tuhan tanpa beban dosa, mencampur adukkan antara akal dengan wahyu bahkan menempatkan akal di atas wahyu sampai pada tingkat menuhankan akal dan menafikan wahyu.
-----------------
Footnote:
Pembaruan Islam yang selama ini diklaim dan dipahami oleh kalangan sekuler-liberal adalah pembaruan yang salah kaprah. Menurut Dr. Adian Husaini dalam makalahnya Untuk Apa Belajar Islamic Worldview? Menyebutkan, bahwa pembaruan Islam (tajdid) bukanlah membuat-buat hal baru dalam Islam sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh Cak Nur dan kawan-kawan. Tetapi merupakan upaya untuk mengembalikan kemurnian Islam dengan kembali kepada AlQur’an dan As-Sunnah melalui metode para Ulama yang telah teruji kebenarannya.
Sebenarnya dalam Islam hanya dikenal ‘Reaktualisasi’ dengan pengertian tajdid (pembaruan), bahwa Allah mengutus mujaddid (pembaru), barangkali seorang atau lebih, pada penghujung setiap seratus tahun untuk mengadakan pembaruan dalam agama (Sunan Abu Dawud, Kitab Al Malamih, 1/109). Namun pembaruan yang dimaksudkan di sini bukanlah dalam arti ‘mengaktualkan lagi ajaran Islam yang kelihatan ketinggalan zaman’, tetapi mengembalikan pemahaman agama yang tertutup oleh ‘debu zaman’ kepada pemahaman asli seperti diajarkan oleh Rasulullah saw.
Nurcholish Madjid (lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939; wafat di Jakarta, 29 Agustus 2005) adalah dosen di almamaternya, IAIN Jakarta dan Rektor Universitas Paramadina. Cak Nur dikenal sebagai tokoh intelektual yang liberal dan pluralis. Gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan destruktifisasi Islam. Cak Nur dipandang berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya.
pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Kurzman ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang ciri-cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancaman, tapi justru reinventing Islam untuk ‘meluruskan’ modernitas Barat; membuka peluang bagi bentuk tertentu ‘otonomi duniawi’ dalam berbangsa dan bernegara, dan; cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif. Cak Nur, memandang bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Inilah dasar-dasar paling penting dari pemikiran sosial kemodernan Islam yang ditanamkan Cak Nur dalam keterlibatan Islam membangun Islam modern.
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/12/16/benang-kusut-gerakan-dakwah-di-indonesia-bagian-1/
M. Abid al-Jabiri, at-Turas wa al Hadasah Dirasah wa Munaqayah (Beirut: Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1991), hlm. 48, seperti yang dikutip oleh Khudori Soleh dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, 2003)
Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat dan penulis buku-buku kontra sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Adian Husaini, Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, (makalah)
Prof. Dr. Yusril Ihza mahendra, ahli hukum Tata Negara, Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang, mantan Mensesneg dan Menteri Hukum dan HAM RI. Yusril semasa masih menjadi mahasiswa di UI intens menemani dan berdikusi dengan pak Natsir.
Diperbarui sekitar 8 bulan yang lalu. http://www.facebook.com/note.php?note_id=103985995768
Mestika Zed, Mohammad Natsir, Negarawan, Pemikir Islam, dalam 100 Tahun Mohammad Natsir, Republika, 2008, hal. 97
pelajar pertama Indonesia yaitu Hasan Langgulung alumnus pertama Pesantren Persis Bangil untuk belajar di Universitas Al-Azhar.
Sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014.
Wawancara Islamia dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (Republika, 11/02/2010)
Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta dan Data, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2006, hal. 11
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 202-203.
http://www.islam-insights.com/index.php?option=article&article_rf=204
Adian Husaini, “Liberalisasi Islam, Tantangan Bagi Peradaban Melayu”, dari Zarkasyi, Hamid Fahmy, Adnin Armas dan Adian Husaini, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam, Surabaya: Khairul Bayan, 2004, hlm. 71, dikutip dari Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Fatwa tersebut dapat diunduh di http://www.mui.or.id/content/fatwa-tentang-pluralisme.
M. Natsir, Capita Selekta, Percetakan Abadi, Jakarta, 2008, hal. 281
Ibid, hal. 282
Ibid, hal. 284
Ibid, hal. 285
Ibid
Ibid, hal. 287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar