Oleh;
Nizar A. Saputra
Sudah menjadi kebiasaan di sebagian umat Islam, terutama di Indonesia, pada malam 17 Ramadhan memperingati nuzul al-Quran. Biasanya dalam peringatan tersebut diisi dengan ceramah-ceramah dan siraman religi yang ada kaitannya dengan al-Quran. Memang, salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah diturunkannya al-Quran. Al-Quran sendiri mengabarkan kepada kita tentang ini;
Bulan Ramadhan (adalah bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Al-Baqarah; 185
Ayat tersebut tidak merinci kapan atau tanggal berapa Ramadhan al-Quran itu diturunkan. Informasi yang diberikan al-Quran sendiri, tentang nuzul al-Quran, juga tidak hanya dalam satu ayat. Di ayat lainnya, al-Quran menginformasikan bahwa al-Quran diturunkan pada malam yang penuh berkah (inna anzalnahu fi lailatin mubarakah). Apa lailatun mubarakatun itu? Jawabannya tentu adalah lailah al-Qadr, ini sesuai dengan firman-Nya, Inna anzalnahu fi lailat al-Qadr (Qs. Al-Qadr: 1).
Dengan demikian, bagi orang yang meyakini bahwa al-Quran diturunkan pada malam 17 Ramadhan, dia juga meyakini bahwa malam tersebut (17 Ramadhan) sebagai malam lailah al-Qadr.
Jika merujuk kepada sumber-sumber hadits, tentunya pendapat yang meyakini bahwa al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan agaknya kurang tepat. Kekurang tepatannya, menurut penulis, dimulai dari anggapan yang salah tentang lailah al-Qadr. Seandainya mereka merujuk berbagai hadits, lailah al-Qadr itu terjadi pada sepuluh malam terkahir Ramadhan. Abu Sai’id al-Khudri sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, menceritakan bahwa Rasulullah pernah bermimpi tentang lailah al-Qadr, lalu beliau menyeru; ”carilah malam lailah al-Qadr itu pada malam kesepuluh terakhir di bulan Ramadhan, dan carilah pada setiap malam ganjil. Dalam riwayat Anas, Ibnu Umar, Abu Hurairah radiyallahu ’anhum matannya juga sama.
Dengan keterangan-keterangan hadits di atas, jelaslah bahwa tidaklah tepat kalau seandainya kita meyakini bahwa al-Quran itu diturunkan pada malam 17 Ramadhan. Sebab, lailah al-Qadr sebagaimana dijelaskan hadits-hadits yang shahih, ternyata ada di malam kesepuluh terakhir yang ganjil. Bisa malam ke 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan.
Ibnu Abbas ketika ditanya oleh seorang shahabat tentang nuzul al-Quran berkenaan dengan ayat Qs. Al-Baqarah; 185 dan al-Qadr; 1, menjawab bahwa al-Quran itu diturunkan pada malam 25 Ramadhan.
Menyikapi Nuzul al-Quran
Sebenarnya, memperingati nuzul al-Quran jika dilihat secara fiqih, tentunya merupakan sesuatu yang baru (muhdats), sebab Nabi dan para sahabat tidak pernah menganjurkan dan melakukannya. Yang dilakukan Nabi saw dan para sahabat ketika datang Ramadhan adalah muraja’ah hafalan al-Quran. Nabi saw biasanya didatangi Jibril untuk mua’radah hafalan al-Qurannya. Bahkan Jibril datang dua kali di bulan Ramadhan diakhir hayat Nabi. Menurut al-Qhattan, pada mura’jaah terakhir Nabi dengan Jibril, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit ikut menyaksikannya.
Karenanya, di bulan Ramadhan ini alangkah baiknya seandainya kita melakukan Qira’at al-Quran, mempelajari dan mentadaburinya, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah yang telah menurunkan al-Quran yang menjadi pedoman dan petunjuk kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Ada yang lebih penting untuk disadari oleh umat Islam berkaitan dengan al-Quran. Sejatinya kita jadikan momentum nuzul al-Quran untuk melakukan intropeksi sikap kita terhadap al-Quran. Mengingat banyaknya hujatan-hujatan, penistaan-penistaan yang dilancarkan oleh para musuh Islam. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, hujatan dan penistaan terhadap al-Quran datang dari kalangan umat Islam sendiri.
Sekedar contoh. Mungkin kita masih ingat kejadian di Penjara Guantanamo beberapa tahun ke belakang. Tentara Amerika meneror para tahanan Muslim dengan membuang dan menginjak-injak al-Quran di toilet. Jauh sebelumnya, Salman Rusdi menulis novel satanic Versus yang intinya menyebut al-Quran sebagai ayat-ayat syetan, bukan firman Allah. Di Indonesia sendiri, konon di IPDN, sebagaimana dituturkan salah satu dosennya, pernah terjadi penginjakan terhadap al-Quran oleh mahasiswa. Informasi terbaru terkait dengan penistaan al-Quran. Seperti hangat diberitakan di media massa, di Amerika, tepatnya di Florida, di tengah gencarnya isu dan pro-kontra pembangunan Mesjid di bekas gedung WTC, ada rencana propokasi untuk membakar al-Quran berskala internasional. Rencananya, pada 11 September 2010, bertepatan dengan tanggal dan bulan hancurnya menara WTC, atas gagasan World Dove Outreach Centre di Gaines Ville dengan tokohnya Terry Djones, mengajak dunia internasional untuk membakar al-Quran secara serentak. Rencana biadab yang tak berprikemanusiaan tersebut, penulis sebut tak berprikemanusiaan karena melanggar hak asasi manusia, bahkan bukan saja tak berprikemanusiaan, tapi tak berpriketuhanan, sejatinya menjadi perhatian utama kaum muslimin sedunia. Apalagi, sebenarnya, jika diukur dari kwantitas, umat Islam merupakan penduduk terbesar kedua di dunia. Tentunya, besarnya jumlah pemeluk agama Islam tersebut, seharusnya bisa menjadi sebuah kekuatan dan tekanan bagi mereka yang ingin melakukan penistaan terhadap al-Quran, agar mengurungkan niatnya tersebut.
Itu penistaan secara fisik. Yang lebih bahaya penistaan al-Quran secara ideologi yang sangat sulit diketahuinya kecuali oleh para ulama dan cendekiawan. Kini, termasuk di Indonesia, banyak para pemikir muslim yang menghujat dan menghina al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd, liberlis dari Mesir yang divonis murtad oleh para ulama di Mesir, menganggap al-Quran sebagai produk budaya. Bagi oarang awam statment Abu Zaid tersebut mungkin hanya biasa-biasa saja, tidak ada masalah. Namun jika ditela’ah secara mendalam, konsekuensinya sangatlah fatal. Dengan pernyataan tersebut, al-Quran nantinya tidak akan dianggap sebagai firman Allah, melainkan buatan Muhammad.
Selain Abu Zaid, Arkoun, pemikir dari Tunisia yang juga kolega Abu Zaid, hampir sama dengan Abu Zayd. Dia sudah tidak mau lagi mengakui kesakralan al-Quran. Baginya yang sakral hanya di Lauh Mahfudz, sedangkan yang ada di tangan kita sekarang tidaklah jauh berbeda dengan buku-buku lainnya. Lebih parahnya lagi, Arkoun menganjurkan kita untuk bermain-main dengan al-Quran.
Kedua pemikir tadi banyak diikuti oleh kalangan pelajar (mahasiswa) muslim di Indonesia. Di Semarang bahkan ada jurnal kampus yang khusus mendekonstruksi asas-asas yang prinsipil dalam Islam, termasuk menggugat keotentikan al-Quran. Mereka sudah tidak percaya lagi dengan orisinalitas al-Quran. Mereka menganggap bahwa al-Quran yang ada sekarang adalah hasil rekayasa Utsman dan kabilah Quraisy.
Mengapa mereka sampai berani melakukan seperti itu? Ini tidaklah lain karena sikap kita yang tidak begitu peduli terhadap al-Quran. Kita mengaku muslim, tapi berapa banyak waktu yang kita luangkan untuk mempelajari al-Quran. Jangankan mempelajarinya, sekedar membacanya saja mungkin sangat jarang sekali. Mari kita budayakan membaca, menatadaburi, memahami dan merealisasikan al-Quran dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar