LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA
OLEH: DR. H. ADIAN HUSAINI
1. Pendahuluan
Dalam artikelnya di Harian Kompas (18/11/2001) yang berjudul ”Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam”, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar
Abdalla mengawali tulisannya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup;
sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan
manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang yang dipahat pada abad ke-7
Masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh disentuh tangan
sejarah.”
Penulis artikel tersebut telah menggariskan sebuah hukum baku dalam proses
“liberalisasi agama”, yakni menjadikan agama sebagai bagian dari sejarah. Agama harus
tunduk kepada perubahan sejarah. Agama apa pun. Islam tidak terkecuali. Sebab, menurut
pandangan liberal, tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri – satu
pandangan yang tentu saja sangat berbeda dengan pandangan Islam, yang telah menegaskan
bahwa Islam adalah agama wahyu, agama yang telah sempurna sejak awal, dan agama yang
tidak tunduk oleh sejarah. (QS 5:3).
Jika ditelusuri dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, liberalisasi Islam sudah
ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi, secara sistematis, dari dalam tubuh
organisasi Islam, Liberalisasi Islam di Indonesia, bisa dikatakan dimulai pada awa tahun
1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan
sekularisasi Islam. Dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan:
“… pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa
depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus
diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi.
Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada
sekarang ini...” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan
saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai
kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’.
Nurcholish Madjid juga menekankan, bahwa organisasi-organisasi pembaruan Islam seperti
Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad sudah tidak mampu lagi menangkap semangat pembaruan,
yaitu unsur progresivitas. Lebih jauh dia katakan:
Di Indonesia kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi pembaharuan
seperti Muhammadiyah, al-Irsyad dan persis. Tetapi sejarah mencatat pula dan harus kita
akui dengan jujur bahwa mereka itu sekarang telah berhenti sebagai pembaharu-pembaharu.
Mengapa? Sebab mereka pada achirnya telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 2
tidak sanggup menangkap semangat dari pada ide pembaharuan itu sendiri, yaitu dinamika
dan progresivitas. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu Kelompok Pembaharuan Islam
baru yang liberal.
Demikian seruan liberalisasi Nurcholish Madjid, di awal 1970-an. Sejak itu, banyak
pihak memanfaatkan semangat dan pemikiran itu untuk menggulirkan ide-ide liberal lebih
jauh di Indonesia. Kemudian, peristiwa-peristiwa tragis dalam dunia pemikiran Islam susulmenyusul
dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi. Dan kini, di tengah-tengah
era liberalisasi dalam berbagai bidang, liberalisasi pemikiran Islam juga menemukan medan
yang sangat kondusif, karena didukung secara besar-besaran oleh negara-negara Barat.
Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish
Madjid ketika itu mulai membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam
Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Bagi banyak kaum Kristen, sekularisasi dianggap menjadi satu keharusan yang tidak
dapat ditolak. Harvey Cox membuka buku terkenalnya, The Secular City, dengan bab “The
Biblical Source of Secularization”, yang diawali kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich
Gogarten: “Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on
history.” Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap
sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas
kepada sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan penciptaan
(Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum
Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai
Covenant).1
Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan
metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is
the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention
away from other worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata
Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi
merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah
menyokong dan memelihara sekularisasi. (Far from being something Christians should be
against, secularization represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than
oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it). 2
1 Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New York: The
Macmillan Company, 1967), hal. 19-32. Di Indonesia, sejak awal, gagasan sekularisasi Islam Nurcholish
Madjid telah mendapat perhatian serius dari para tokoh Islam ketika itu. Pada 1 Juni 1972, dilakukan
pertemuan tokoh-tokoh di kediaman M. Natsir. Semula, pertemuan itu bukan untuk membahas fenomena
gagasan Pembaharuan, tetapi akhirnya hal itu menjadi pembahasan pokok ketika Natsir mengungkapkan
masalah tersebut. Meskipun mengaku sudah menganggap Nurcholish Madjid seperti “anak sendiri”, tetapi
Natsir mengaku risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah
dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim
(Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, dari
judul aslinya “Muslim Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia, yang merupakan
disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS. Respon yang sangat keras terhadap gagasan
sekularisasi Nurcholish Madjid juga diberikan oleh tokoh DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972, Rasjidi
menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid,
(Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi
bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
2 Harvey Cox, The Secular City, hal. 15.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 3
Buku “The Secular City” termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini
dicetak tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan
pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan
lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya
utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty,
beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas
lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3
Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta,
pada akhir dekade 1960-an, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi
Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City”
nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo,
Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. 4 Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu
berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan
dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat
pengaruhnya.
Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid
secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar
Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh
tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail
Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia".
Seperti diketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras
dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan.
Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan
semakin liar. Penyebaran paham “pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi
Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam –
sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan
merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.
Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan
misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme
sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia,
Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan
3 Lihat Martin E. Marty, “ Does Secular Theology Have a Future” dalam buku The Great Ideas Today, (New
York: Encyclopaedia Britannica Inc, 1967).
4 Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques
Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85. Steenbrink
menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young
students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama
terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita
sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.”
Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. Ketika itu ia sudah menyatakan dirinya
sebagai penganut pluralisme, sama dengan Romo Stolk. Wahib juga membahas tentang sekularisme dan
sekularisasi. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79. Tentang pengaruh
Harvey Cox terhadap Nurcholish Madjid, lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1999).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 4
sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian
Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also
the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme
yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen
internasional.5
2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang
politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya, termasuk bidang agama. Agama
Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi
Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Dalam situsnya,
www.ulps.org, kaum Yahudi Liberal menjelaskan, bahwa Yahdudi Liberal (Liberal
Judaism) mulai muncul pada abad ke-19, sebagai satu upaya untuk menyesuaikan dasardasar
ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (Enlightenment)
tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Kaum Yahudi liberal berharap mereka
dapat menyesuaikan agama mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga
percaya bahwa Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) – termasuk Taurat – adalah upaya
manusia untuk memahami Kehendak Tuhan, dan karena itu, mereka menggunakan Kitabkitab
itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan
kemungkinan kesalahan Kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan diluar Kitab
agama mereka. (Liberal Judaism believes that the Hebrew Scriptures including the Torah
are a human attempt to understand the Divine Will, and therefore uses Scripture as the
starting point for Jewish decision making, conscious of the fallibility of scripture and of the
value of knowledge outside of Scripture).
Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan,
agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari peradaban Barat.
Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin
mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk
memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara
oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi
diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sektesekte
Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang.
Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa,
meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi, jika
dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa – asal persebaran Kristen –
cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal
Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas
kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme,
modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.
5 Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society,
1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan antiliberal.
Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang
menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui
Yesus Kristus.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 5
Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen.
Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak
terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen
penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri
kebaktian di gereja seminggu sekali.
Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46
persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di
Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di
Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar
kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan
kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu
dengan Jerman Timur -- terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun
klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi
jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi
serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan
hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja,
arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik
homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul
“Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi
pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan
pria atau wanita dengan wanita.
Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah
mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undangundang
serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai
kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan
sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua
serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.
Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya
bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat.
Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para
pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup
homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan
terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan
homoseksual.
Di Indonesia, sejumlah sarjana syariah dan profesor di kampus Islam, juga sudah
melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Kristen.
Ini bisa dibaca pada bagian selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan
Kristen telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.
3. Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal
tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1)
liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 6
bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep
wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.
Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton,
memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya
konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c)
Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama
dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. 6
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan
program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran
paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena
membenarkan semua tindakan syirik –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui
berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek
liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.
3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama.
Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama
sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan
yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama
adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya –
maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri
yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil)
adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya
sendiri. 7
Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para
tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan
mereka:
a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember
2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,
semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat
dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002,
dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)
Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antaragama,
yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam
artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin
6 Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina,
dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).
7 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002)
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 7
beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
relevan lagi.”
b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal
Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul “Basis Teologi
Persaudaraan Antar-Agama” (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. Ia
menulis bahwa “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran
semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang
beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”.
Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.”
Budhy menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam
penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang
beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena,
Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” 8
c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan
yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa
melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini
kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.” 9
d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang
dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif
(Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa
terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan
yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain
berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau
“Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya
Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai
contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di
8 Lihat Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53.
9 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002),
hal. 44. Dalam bukunya yang berjudul Satu Tuhan Beribu Tafsir, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), Mulkhan juga
menulis: ”Mereka bisa masuk surga dan berbuat saleh dengan cara mereka sendiri dan paham keagamaan yang
banyak dipengaruhi tingkat sosial dan ekonomi masing-masing. Dari sini mungkin bisa dibayangkan ”kamarkamar
surga” yang berbeda-beda, sesuai cara, media dan paham keagamaan setiap orang dan kelas sosialnya.
Karena itu, bisa jadi ada ”kamar surga” bagi Muhammadiyah yang berbeda dengan ”kamar surga” pengikut
NU, pengikut Syiah ataupun Ahmadiyah. Bahkan, bisa dibayangkan ”kamar surga” bagi pemeluk agama
berbeda dan partai politik yang berbeda. Rasionalisasi kesurgaan atau keagamaan di atas, mungkin dipandang
”main-main”. Namun hal itu penting dan strategis bagi pengembangan tafsir keagamaan di tengah
kemungkinan lahirnya ”agama baru”. Melalui tafsir baru akan terbuka menghindari konflik akibat beda paham
keagamaan yang terus melanda negeri ini dan juga berbagai belahan dunia lainnya.” (hal. 124-125).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 8
Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat
roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial
juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh
karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".” 10
Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah
Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari." 11
f. Dr. Alwi Shihab menulis:
“Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orangorang
yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak
memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai
Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain,
eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran
tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” 12
g. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham
Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004):
“Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agamaagama.
Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif
terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan
bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster,
maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan
pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi,
seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the
One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu,
mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum
Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita
melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap
positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”
h. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian
Kompas:
“Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur
shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa
dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan
10 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.
11 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.
12 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-
109.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 9
hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya,
perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak
terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa
menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa
batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)
i. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta:
“Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk
mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau
memaki-maki.” 13
j. Dr. Abd Moqsith, menulis dalam disertasinya di UIN Jakarta:
”Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu [QS 2 :62] tak
ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman
kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka
orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani,
dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal
shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan
memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan
Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan
bukan ungkapan al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan
bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi
Muhammad.”
Kesimpulan disertasi seperti itu sangat aneh. Apalagi, kalangan liberal sering sekali
mengutip pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar. Padahal, jika ditelaah dengan
seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan ditemukan, bahwa QS
2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi
Muhammad saw tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman
kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahlul Kitab yang dakwah Islam sampai
kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk
keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni
iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang
mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad.
Karena itu, sangat disayangkan, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis
Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapatpendapat
Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad saw sudah menegaskan:
”Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar
dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani,
kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam
neraka.” (HR Muslim).
13 Lihat buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 10
Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan
Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat,
seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam
penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang
diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia
Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban
Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini
secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum
pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.
Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan
laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:
“Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau
menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan
reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim),
yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti
dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang
salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan
intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang
pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak
menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat
toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap
radikal Islam.” 14
Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis:
“Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan
kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang
begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang
kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya
keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau
tidak seagama adalah “lawan” secara aqidah. 15
Salah satu istilah yang juga sedang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah
istilah ‘’Multikulturalisme’’. Pada 11 Desember 2007, Badan Litbang Departemen Agama
mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para
Da’i”. Paham ini kini dijejalkan ke masyarakat Muslim Indonesia dengan alasan bahwa
paham ini dapat mereduksi konflik antar umat beragama. Oleh penelitian ini, soal konflik
tersebut dijelaskan sebagai berikut :
14 Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme,
Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.
15 M. Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan
Metode Pendidikan Agama, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. Sebagai rektor UIN Yogyakarta,
Prof. Amin Abdullah juga tercatat sebagai perintis berdirinya program studi doktor lintas agama (Interreligious
PhD program) hasil kerjasama UIN Yogya, UGM, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).
Program studi lintas agama ini dipimpin oleh Prof. Bernard Adeney Risakotta, seorang Kristen asal Amerika
Serikat. Program ini baru dibuka tahun 2007. (Lihat website ICRS:www.icrsyogya.net).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 11
“Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan
masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang
antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan
alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah
dan dianggap sesat.”
Asumsi tersebut adalah jelas keliru. Sebab, keyakinan setiap umat beragama pada
agamanya masing-masing – disertai dengan keyakinan bahwa agama lain adalah salah –
adalah faktor yang sah-sah saja dalam soal keyakinan. Keyakinan eksklusif bukanlah
pemicu konflik antar-umat beragama. Apalagi, parameter yang digunakan dalam menilai
seseorang telah memeluk paham Multikulturalisme adalah sangat aneh. Misalnya, dalam
penelitian tersebut ditunjukkan hasil penelitian tentang ”Kecenderungan Perilaku Da’i
terhadap Nilai-nilai Multikultural”. Hasilnya, ternyata dalam sejumlah indikator dinilai
masih buruk. Diantaranya adalah: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda
agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di
sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di
daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun
rumah ibadah di daerah Muslim.
Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah:
”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan
berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan.
Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang
yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak
akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil
dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama
mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan
kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah
sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang
berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama
mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun
rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai
orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang
berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan
mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat
kegembiraan.”
Paham ’Multikulturalisme’ kini sangat gencar disebarkan ke tengah kaum Muslim
melalui berbagai LSM di Indonesia, sampai ke pelosok-pelosok pesantren, seperti yang
dilakukan oleh lembaga International Center for Islam and Pluralism (ICIP), yang
mengkhususkan diri ’menggarap’ pondok-pondok pesantren, khususnya di wilayah Jawa
Barat. Lebih dari itu, juga sudah mulai dilakukan proyek-proyek Pendidikan Agama yang
berwawasan Multikultural. Misalnya, dalam pengantarnya pada sebuah buku berjudul
”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural” (2005), Prof. Azyumardi Azra
menekankan pentingnya dikembangkan jenis Pendidikan Agama semacam ini. Padahal,
dalam buku ini jelas-jelas ada gagasan untuk membangun persaudaraan universal tanpa
membedakan lagi faktor agama. Misalnya ditulis:
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 12
”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat
manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita
bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna
kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-
Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah
menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan
kami... Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas
kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong
kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan
dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan
setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).
Bagi yang memahami tafsir al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang
kalimatun sawa’ semacam itu tentulah aneh. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya,
yakni mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya): ”Katakanlah: Hai
Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Tuhan selain daripada Allah.”
Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham
Multikulturalisme. Tapi, itulah faktanya. Karena menjadikan paham Multikulturalisme
sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan
maknanya. Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah
syirik. Karena itu, Allah sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai
”kezaliman yang besar” (zhulmun ’azhimun). Allah pun sangat murka karena dituduh
mempunyai anak (QS 19:88-91).
Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini,
justru keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang:
”Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan
klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen
permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama
yang mempunyai corak pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan
mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan
anehnya semua mengatasnamakan Tuhan.” (hal. 48)
Penulis buku yang juga dosen sebuah kampus Islam di Surakarta, Jawa Tengah, ini
juga sangat berani dalam mengubah makna ”taqwa” dalam QS 49:13. Kaum Muslim
memahami bahwa makna ’taqwa’ adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi laranglarangan-
Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, ’tabwa’ diartikan sebagai
”yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat.” Dia terjemahkan
ayat tersebut sebagai berikut:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa,
agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang
paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan
menghargai perbedaan di antara kamu.”
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 13
Kaum Muslim yang berhati-hati dalam agamanya, tentu tidak berani menafsirkan al-
Quran secara sembarangan. Para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir
senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan al-Quran. Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan
tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit
manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui
tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang
mengucapkan (sesuatu) tentang al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa
yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi,
Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam
penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
3.1.1. Relativisme kebenaran
Banyak kalangan penyebar paham Pluralisme Agama yang menggunakan paham
relativisme akal dan relativisme iman sebagai dasar pijakannya. Banyak cendekiawan yang
sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini,
khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi
Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford
Foundation:
“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks,
Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi
mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa
dielakkan.” 16
Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:
“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan
demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir)
agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi
sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.” 17
Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme
epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :
‘’Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak
dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh
itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah
kebenaran sepihak. 18
Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:
16 Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150.
17 Ibid, hal. 58.
18 Ibid, hal. 58.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 14
‘’Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalanjalan
kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan
musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain.
Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik
budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik
simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’19
Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus
HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini,
maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini
lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya.
Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus
diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah
paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem
pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa
wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu
Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan
fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.
Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka terkadang
tampak sangat telanjang. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat
terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di
jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala
hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar
dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada
ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan
kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan
senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada
hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan
senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan
fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus.
Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah
keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi
dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan
akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada
wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran
sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:
"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-
Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan
kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan
meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk
sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).
19 Ibid, hal. 58-59.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 15
Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan
menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing
pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh.
Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari
perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an
intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization!
Lack of conviction is worse than slavery.” 20
Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya
besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat,
Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia
menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman
yang mendalam. 21
Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L.
Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”.
Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal
abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan
tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari
Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge
comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who
understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus
Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan
tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa
yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. 22
Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd,
1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan:
“relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. 23
Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk
menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran
Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang
disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan
haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan
mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Iesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan
menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan
Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24
20 Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72.
21 Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005),
hal. 32.
22 John L. Allen, JR, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), hal. 165-166.
23 Joseph Runzo, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), hal. 10.
24 Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor,
2004.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 16
Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat
serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada.
Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang
mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama,
filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu
pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu,
yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah
satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama
Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur
absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Bahkan, tulis Stevri Lumintang:
‘’...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu
domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut
mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan
sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan
agama baru....’’ 25
Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham
syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah
menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19);
dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di
Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan
dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain.
Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).
Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar
dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para
cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai
perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana
pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru
agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik
dan masyarakat.
3.2. Liberalisasi al-Quran
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di
Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen,
fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik
Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari
School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis
satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”.
Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton
Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks
25 Lihat sinopsis buku Theologia Abu-abu, di www.gandummas.com; dan buku Stevri Indra Lumintang,
Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama : Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen
Masa Kini (Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 17
Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the
Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk
“melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927,
Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham
Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks
terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely
come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the
Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras
untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka
tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia
dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme
agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak
boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga
dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim
hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek
kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim,
bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang
suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan
tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar
Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari
2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa
Pos, 11 Jan. 2004).
Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya
deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa al-Quran bukan kitab suci.
Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006,
Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20
mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia.
"Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput," ujarnya. Ia lalu
menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya
dengan sepatu. "Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,"
katanya setengah berteriak.
Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah
berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan: “Uraian dalam paragraf-paragraf
berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan
Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah
masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi
dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana
menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran.” 26
Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak
kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul
26 Lihat, makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di
Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 18
“Rekonstruksi Sejarah al-Quran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan
Mushaf Utsmani. 27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih
bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof.
Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish
menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan
ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”
Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga
menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul:
“Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam
bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya,
kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri
kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan
Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan
baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang
dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu
menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain,
Mushaf itu tidak sakral dan absolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan
absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses
pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut,
tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran
kita.” 28
Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep
dasar Islam tentang al-Quran:
“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya
(ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca
hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat
ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi
dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan
AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit),
dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.” 29
27 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FKBA, 2001).
28 Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123.
29 Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam
Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 1.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 19
Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-
Quran adalah perangkap bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-
Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang:
“Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap
bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi
“perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman
sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras
untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain.” 30
Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah
karangan Muhammad:
“Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu
eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non
verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu). 31
Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat
aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar
berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa
dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal
Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terangterangan
menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:
“Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik
historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan
bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah
mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan
berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas
Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak
kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam
memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak
kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad.
Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling
mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah
Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf
terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat
lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme
nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar
jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui
Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam].
Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan
30 Sumanto Al-Qurtubhy, “Membongkar Teks Ambigu”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam
Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 17.
31 Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/2005.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 20
hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa
Quraisy tersebut.” 32
Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul:
“Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi
kitab suci yang palsu.
Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal
yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di
lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-
Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan
mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu,
masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan
orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’
(istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif
menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar
dan lebih biadab dari para orientalis.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga
dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di
Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr
Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak
diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran
merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini
mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang
dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya
dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan
dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran
dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam
buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim
tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik
terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun
sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah
perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir
dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33
Kaum Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan ilmu
tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?
3.3. Liberalisasi Syariat Islam
32 Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang
melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa
Quraisy” oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”
oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”,
oleh Iman Fadhilah el-Barbazzy ErHa, dan sebagainya.
33 Paparan lebih jauh tentang masalah liberalisasi al-Quran di PerguruanTinggi Islam, lihat, Adian Husaini,
Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006). Tentang jawaban terhadap
tuduhan dan hujatan kaum liberal terhadap al-Quran, lihat Henri Shalahuddin MA, al-Quran Dihujat, (Jakarta:
GIP, 2007).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 21
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam
bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan
dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan
oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah
‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode
‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai
contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum
dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya
antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi
yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish
Madjid:
“Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang
terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk
melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan
sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk
melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran
al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan
historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan
bimbingannya.” 34
Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-
Quran menunjukkan bahwa risalah Islam – disebabkan universalitasnya – adalah selalu
sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah
disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus
selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan
saja.”
Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama
dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang
ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap
metode Nurcholish Madjid:
“Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada
tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar
berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan
penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang
cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan
kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” 35
34 Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal,
(Jakarta: Paramadina, 2003), hal. xi.
35 Ibid, hal.xii.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 22
Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam
oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish
sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan
dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya
mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk
menafsirkan al-Quran. 36 Misalnya, saat pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992,
Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab, dengan
mengataakan:
“Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla
sebagaimana dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab
tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas
dalam al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam
sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu
bentuk kitab suci.”
Pendapat Nurcholish ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya,
misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga
diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC,
Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak
pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak
hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali
tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam
soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama menulis:
“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah
ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat
itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar
agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang
lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa
wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda
agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran
kepercayaannya… Dan pernikahan beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang
mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahwa
tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (almawaddah)
dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama
saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun
36 Kritik yang komprehensif terhadap metodologi hermeneutika Fazlur Rahman dilakukan oleh Ahmad Bazali
bin Shafie dalam disertasinya di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, yang berjudul “A Modernist Approach to the
Quran: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman.” Disertasi ini disupervisi oleh Prof. Dr. Wan
Mohd Nor Wan Daud yang juga anak bimbing langsung Fazlur Rahman di Chicago University. Berbeda
dengan sejumlah murid Fazlur Rahman lainnya, seperti Nurcholish Madjid dan A. Syafii Ma’arif, Wan Mohd
Nor mampu keluar dari bingkai pemikiran Rahman dan mengkritik metodologi hermeneutika Fazlur Rahman
untuk penafsiran al-Quran. Sebuah buku yang cukup bagus dalam mengkritik metode liberal dalam penafsiran
al-Quran juga ditulis oleh pakar ushul Fiqih dari Muhammadiyah, Prof. Asymuni Abdurrahman melalui
bukunya yang berjudul Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, tanpa tahun).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 23
toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan
tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.” 37
Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori
Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan
yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan
legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif
terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka
kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang
sudah pasti (qath’iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, dosen di UIN Jakarta, juga melakukan
perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda
dengan buku Fiqih Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai
konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks “peperangan”
sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:
“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini
sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya.
Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir.
Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas
mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual.
Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan
sendirinya." 38
Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan
yang menggugat hukum perkawinan antar-agama:
“Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi
perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim… Isu yang paling
mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama. Red) adalah masalah sosial
politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka
konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh
hegemoni cara berpikir teologis.” 39
Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas Muslim, kaum Liberal berusaha keras
untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olan ada kebutuhan
mendesak kaum Muslim harus kawin dengan non-Muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian
Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal
ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.” Bahkan,
lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai ‘penghulu
swasta’ yang menikahkan puluhan – mungkin sekarang sudah ratusan -- pasangan beda
agama.
37 Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina&The Asia Foundation), 2004), hal. 164.
38 Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 63.
39 Lihat, buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 220-221.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 24
Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim
sudah menjadi Ijma’ ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10).
Buku Ensiklopedi Ijma’ yang diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz juga menyebutkan
bahwa soal ini termasuk masalah Ijma’ yang tidak menimbulkan perbedaan di kalangan
kaum Muslim. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan:
“Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang
teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap
muslimat.”
Demikianlah cara kaum liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah
metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri.
Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas.
Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka. Itu bisa dilihat dalam
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan
Gender Departemen Agama – yang telah dibubarkan – garapan Prof. Dr. Musdah Mulia
dkk. Ada beberapa gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial :
Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di
luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3
ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1).
Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim
disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri
(tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan
rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau
sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita
tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal
88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan
oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian
waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan). 40
Salah satu ide favorit kaum liberal di Indonesia yang sangat gencar disebarkan di
tengah masyarakat dan juga Ormas-ormas Islam adalah paham Kesetaraan Gender. Kucuran
dana untuk penyebaran ini sangat luar biasa.
Disamping paham Sekularisme, Libralisme, dan Pluralisme, salah satu proyek besar
yang kini dijejalkan kepada kaum Muslim adalah proyek KKG (Keadilan dan Kesetaraan
Gender). Dalam situs Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
(http://www.menegpp.go.id), disebutkan:”Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah
menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia
termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan
komitmen tersebut.”
Karena sudah menjadi proyek global, maka umat Islam kemudian dipaksa untuk
mengikutinya. Ketertinggalan perempuan dan rendahnya keterlibatan mereka dalam ruang
publik ini dijadikan sebagai sebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia/Human
Development Index (HDI) suatu negara. Tahun 1995, HDI Indonesia berada pada
peringkat ke-96. Tahun 1998, peringkat itu turun menjadi 109 dari 174 negara. Tahun 2003,
HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara. Maka, untuk menggenjot
40 Sejumlah pakar hukum Islam di Indonesia, seperti Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Prof. KH Ali
Yafie, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, Neng Djubaidah SH, MHum, Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan
Prof. Dr. Nabilah Lubis MA, telah memberikan kritik yang tajam terhadap CLD KHI versi Musdah ini. (Lihat,
Zaitunah Subhan dkk (ed), Membendung Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 25
peringkat HDI, dilaksanakanlah proyek-proyek KKG.
Jadi, sebatas pada konsep itu, seolah-olah tidak ada masalah yang serius pada isu
KKG. Tapi, jangan berhenti sampai di situ saja! Sebenarnya, dalam penentuan HDI versi
UNDP (United Nation Development Program), ada masalah yang sangat serius. Ukuran
keberhasilan pembangunan nasional yang diukur oleh UNDP adalah GDI (Gender
Development Index), yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan
hidup, pendidikan, jumlah pendapatan, serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang
mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan beberapa sektor lainnya. (Lihat, Ratna
Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender,
(Bandung: Mizan, 1999).
Dr. Ratna Megawangi memang sedikit diantara cendekiawan yang sangat tajam
dalam mengkritisi gagasan dan proyek-proyek KKG. Ia lulus S1 di IPB tahun 1982 dan
kemudian menjadi dosen di jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga di institut
yang sama. Tahun 1986, ia meraih gelar MSc dari Tufts University, Massachussets, AS.
Tahun 1991, dia meraih gelar Ph.D. bidang International Food and Nutrition Policy. Antara
tahun 1991-1993 ia melanjutkan postdoctoral program di Tufts University dalam bidang
keluarga, yang hasil penelitiannya bersama Prof. Marian Zeitlin kemudian dibukukan dan
diterbitkan oleh United Nation University Press, Tokyo, dengan judul Strengthening The
Family: Implications for Inernational Development.
Bagi para pegiat KKG, pemikiran Ratna Megawangi sangat penting untuk dijadikan
bahan kajian. Sebab, pada ujungnya, proyek ini bertujuan merombak tatanan keluarga dan
sosial Islam dan menolak peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Ide pembebasan
wanita dari citra sebagai ”ibu”, sudah digagas oleh John Stuart Mill, melalui bukunya, The
Subjection of Women (1869). Menurut Mill, pekerjaan perempuan di sektor domestik
(rumah tangga) merupakan pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Karena itu, Mill
meminta perempuan menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan
pekerjaan domestik agar ”kebahagiaan” tertinggi dapat dicapai.
Hal senada disampaikan oleh Sarah Grimke (1838) yang menyatakan bahwa wanita
yang menikah telah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran
(suami). Katanya: ”Man has exercised the most unlimited and brutal power over women in
the peculiar character f husband – a word in most countries synonymous with tyrant.”
”Analisis Grimke sejajar dengan teori Marx yang mengatakan kekuasaan adalah
identik dengan tiran, dan perempuan juga harus meraih ”kebahagiaan”. Jika perempuan
ingin meraih kebahagiaan, maka standarnya adalah kebahagiaan materialistis dan maskulin,
yaitu standar yang bersumber dari dunia publik dan aspek rasionalitas manusia,” tulis Ratna
Megawangi.
Kaum pegiat KKG ini juga sangat rajin dalam menggugat konsep poligami, sebab
konsep ini dinilai bertentangan dengan konsep ”kesetaraan” laki-laki dan perempuan.
Beberapa diantaranya bahkan secara terbuka lebih mendukung perzinahan daripada
poligami. Seorang aktivis feminis, Debra Yatim, saat diwawancara majalah Tiara (179,
23/3/1997), menyatakan: ”Saya lebih setuju lembaga perkawinan dilenyapkan sama sekali.
Open marriege jauh lebih sehat daripada poligami. Lebih bagus kita kenalan, jatuh cinta,
hidup bersama, membina suatu rumah tangga sampai kita tidak cocok lagi. Mau sampai
berapa tahun pun, kalau kita nggak cocok, kita cari lagi partner lain yang cocok...”
Jadi, secara konseptual dan juga faktual, ide KKG itu sendiri sudah sangat
bermasalah. Mitos kebahagiaan yang dikejar kaum pegiat KKG tidak selalu sejalan dengan
kebutuhan banyak perempuan di dunia. Tapi, program ini dijejalkan dan dipaksakan kepada
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 26
seluruh perempuan di dunia. Ratna Megawangi menunjukkan, bagaimana wanita-wanita
Jepang, misalnya, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka sebagai ”ibu rumah tangga.”
Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepang tahun 1992 menunjukkan bahwa
lebih dari 70 persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas
utamanya. Hasil polling kantor Perdana Menteri Jepang pada tahun yang sama juga
menunjukkan, 90 persen perempuan Jepang menganggap pekerjaan rumah tangga seperti
memasak dan mencuci adalah tugas perempuan.
Melihat kerancuan dan kejanggalan konsep dan gerakan Kesetaraan Gender, Ratna
Megawangi sampai pada kesimpulan: ”Oleh karena itu kesetaraan 50/50 yang diinginkan
kaum egalitis, adalah melibatkan perubahan struktur masyarakat, yang tentunya
menyangkut perubahan nilai, agama, dan budaya agar semuanya menjadi seragam. Maka,
ajakan UNDP (atau paling tidak para pencetusnya yang menjadi konsultan UNDP) untuk
mencapai perfect equality 50/50 antara pria dan wanita, adalah sarat muatan ideologis
dan politis.”
Banyak kalangan pegiat KKG memang ingin membuang jauh-jauh istilah
”pengabdian pada suami”, yang merupakan sumber kebahagiaan pada perempuan. Menurut
Ratna, konsep ini sering tidak dimengerti oleh masyarakat Barat. Ia mencontohkan banyak
teman Jepangnya yang berbahagia dengan konsep pembagian tugas yang jelas, bahwa suami
sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga yang
bertanggung jawab atas wilayah keluarga dan pengasuhan anak.
Tapi, karena ideologi kebencian pada laki-laki dan menganggap peran Ibu rumah
tangga sebagai ”penjara perempuan”, maka banyak pegiat KKG yang menggugat apa yang
mereka sebut sebagai dominasi laki-laki. Tahun 2004, Pusat Studi Wanita UIN Yogyakarta,
menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah yang menulis pada sampul belakangnya:
“Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam
sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam secara khusus, telah
dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki:
sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriakhisme dunia hingga
saat ini.”
Buku ini juga menggugat tugas seorang Ibu untuk menyusui dan mengasuh anakanaknya:
”Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti
mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati itu dapat
dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol),
membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga
keselamatan keluarga.” (hal. 42-43).
Bahkan, bagi sebagian aktivis KKG, lesbianisme dianggap sebagai sesuatu bentuk
kesetaraan yang ideal, dimana perempuan benar-benar bebas dari dominasi laki-laki. Gadis
Arivia, seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal
Perempuan (Maret, 2008), menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan
yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan
posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat
revolusi moral.” Lebih jauh, Gadis Arivia menulis tentang keindahan hubungan pasangan
sesama perempuan: ”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 27
Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan
kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta.”
Karena melihat perkawinan pasangan sejenis sebagai alternatif membentuk rumah
tangga yang bahagia, maka ada aktivis KKG yang geram dengan tradisi masyarakat dan
negara yang hanya mengakui perkawinan heteroseksual. Di jurnal yang sama, dosen UIN
Jakarta, Prof. Siti Musdah Mulia, misalnya, menuntut pengesahan perkawinan sesama jenis:
”Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan
lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang
dan kebahagiaan.”
Terhadap para aktivis KKG yang giat berusaha merombak pemahaman keagamaan
agar sesuai dengan paham KKG – dengan alasan selama ini penafsiran agama dikuasai
kaum laki-laki -- Ratna Megawangi mengingatkan, bahwa mereka yang melakukan
tindakan seperti itu, ”sesungguhnya terjebak dengan agendanya sendiri. Mereka
menafsirkan sesuai dengan tujuan mereka, yaitu mencapai kesetaraan gender 50/50.”
Jadi, ketika hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dirombak, maka terbukalah
pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Dari IAIN
Yogyakarta, seorang jebolannya yang bernama Muhidin M. Dahlan, pernah menulis buku
memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, yang memuat kata-kata berikut:
Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan
adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara
anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat
menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini.
Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam
diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas
menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang
berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki.
Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang.
Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa
kupercaya.” 41
Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi
perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama
Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah
kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004.
Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan
homoseksual di Indonesia:
“Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual
untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2)
memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum
homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan
kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi
41 Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah, SriptaManent dan Melibas,
2005, cetakan ke-7.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 28
tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum
homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang
mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” 42
Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang
tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang
Muslim pun:
“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang
abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih
apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum,
bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Mengikuti apa yang telah terjadi di dunia Barat, kaum liberal di Indonesia memang
mulai melakukan kampanye sistematis untuk melakukan legalisasi perkawinan sejenis. Prof.
Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, misalnya, termasuk yang secara terbuka menyatakan
dukungannya terhadap legalisasi perkawinan sesama jenis. Dalam satu makalahnya yang
berjudul Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta, ia menulis:
“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju
kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab,
menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati,
sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara
perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo,
baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian
tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Pembahasan tentang
hal ini bisa dilihat dalam Majalah Tabligh MTDK Muhammadiyah edisi Mei 2008)
Sebuah jurnal yang juga sangat aktif dalam mengkampanyekan legitimasi
homoseksual adalah Jurnal Perempuan, yang juga dimotori oleh aktivis liberal di Indonesia.
Pada no. 58, edisi Maret 2008, jurnal ini secara khusus mengangkat tema ”Seksualitas
Lesbian”. Para pendukung perkawinan sesama jenis ini biasanya menggugat kembali
penafsiran terhadap kisah kaum Nabi Luth a.s. yang dipahami telah diazab karena
melakukan praktik homoseksual. ”Di sinilah kita perlu pertanyakan kembali kesimpulan
tadi: benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja?” tulis
seorang penulis liberal... Saya juga menolak apabila ”azab” hanya dikaitkan dengan
persoalan moral dan keyakinan belaka...”
Jadi, dalam soal syariat Islam, kaum liberal telah menjadikan akalnya dan juga
norma-norma Barat yang relatif sebagai pedoman dalam menilai syariat. Ada yang
menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai ”kitab suci”,
sehingga dijadikan sebagai pedoman dalam merombak hukum-hukum Islam, seperti hukum
tentang perkawinan beda agama (pasal 16) dan hukum tentang murtad yang mereka anggap
bertentangan dengan pasal 18 DUHAM.
4. Faktor Dana Asing
42 Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual,
(Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005), hal. 15. Buku ini berisi kumpulan artikel di Jurnal
Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 29
Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus
terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh utama,
sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti
yang terjadi di Afghanistan. Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat harus menetapkan musuh
baru, sebagai pengganti komunisme. Maka, para aktivis neo-konservatif (kalompok Kristen
fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, dan ilmuwan neo-orientalis), berhasil
menjalankan agenda internasional pasca Perang Dingin. 43
Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam
dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai
daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program
yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di
Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi
bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program
Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.
David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta
dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi
juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui
strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk
mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS
secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah
Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang
mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of millions of
dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself…The white
house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first
time states that the US has a national security interest in influencing what happens within
Islam… In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic radio, tv
shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other
programs that promote moderate Islam). 44
Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan
pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). Untuk menanamkan
paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan Muslim Indonesia, TAF telah
mendukung berbagai kelompok berbasis Muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini
mendukung lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi
basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang
pendidikan warga kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan
gender, dan dialog antar-agama, TAF juga bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk
mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu
mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam,
pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya. 45
43 Tentang strategi Barat dalam menghadapi Islam pasca Perang Dingin, lihat, Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: GIP, 2005).
44 David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005.
45 http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html. Website The Asia Foundation
(www.asiafoundation.org) sampai dengan 24 Maret 2006, masih menulis tajuk pembukanya dengan kata-kata:
“REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.”
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 30
Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah
diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus
terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah memo:
“AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan
Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat
menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk
menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).
Program liberalisasi agama, khususnya paham Pluralisme Agama di Indonesia
memang melibatkan pandanaan yang sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk
mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional Barat seperti The Asia Foundation, dan
dari pemerintah AS sendiri. Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta
(http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-
AS.html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004 – 2005.” Dalam laporan yang ditulis dalam
website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan pluralisme agama tersebut,
disebutkan:
”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para
pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan
tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah
pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program
tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan
pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga mengirim 38 siswa dan
enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk mengikuti suatu Program
Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program Pertukaran dan Studi
Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program satu-tahun di
sekolah-sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari kira-kira 10
agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan perjalanan
pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multi-tahun membantu untuk
melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem
Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu lembaga
studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Hak Asasi Manusia
dan menyelenggarakan kursus-kursus yang meningkatkan toleransi. Bantuan juga
diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pelatihan dan pertukaran
penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat mediasi di lembaga-lembaga
Muslim.
Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat
juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional
dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual
dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 31
tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan
kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan
jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai
tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu
demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin
pesantren laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana
orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka
adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara
pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.”
Maka, dengan dukungan dana yang besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki
tangannya di Indonesia, baik LSM-LSM asing maupun lokal, mereka kemudian melakukan
program perubahan dan penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Secara moral,
mereka sebenarnya telah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak manusiawi dan
tidak beradab. Di tengah kemiskinan dan pemiskinan masyarakat Indonesia oleh kekuatan
imperialisme global, mereka bukannya menolong Indonesia untuk mengurangi beban
utangnya, atau membantu pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi, tetapi malah
menyebarkan racun paham Pluralisme Agama dan penghancuran syariat Islam, di tengahtengah
masyarakat Muslim Indonesia.
Jika mereka memang bermaksud baik, seharusnya, dana mereka itu digunakan untuk
membantu permodalan pedagang-pedagang kecil, mengurangi beban utang luar negeri,
beasiswa anak-anak miskin terlantar, pembangunan air bersih bagi pondok pesantren, dan
sebagainya, tanpa merusak aqidah dan keimanan kaum Muslim. Jika Barat penghargai
pluralitas dan perbedaan antar umat manusia, mestinya mereka tidak memaksakan ideologi
dan pandangan hidup mereka kepada umat manusia. Mestinya mereka menghargai
keberagaman dan membiarkan umat Islam hidup dengan pandangan hidupnya dan
syariatnya sendiri. Tetapi, sayangnya, Barat saat ini terlalu ketakutan terhadap Islam
(Islamofobia), sehingga apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga asing agen Barat di
Indonesia ini jauh lebih buruk dari apa yang dikerjakan oleh Belanda dan VOC di masa lalu,
yang tidak ikut campur tangan dalam kurikulum pondok pesantren.
5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor
liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution
melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN
Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan
perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.
Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit
Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib
rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib
diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.
Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya.
Sejumlah rektor senior mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap
dijalankan oleh pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena
ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan penanggung jawab IAINh
t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 32
IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan
ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah
menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag.
Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:
“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal
demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat
berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan
terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan
Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” 46
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya
mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada
umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku
Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution
tersebut.
Nasehat Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku
IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan fatal, baik
secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang hadis Nabi Muhammad saw,
Harun menulis : “Berlainan halnya dengan Al-Quran, hadis tidak dikenal dicatat tidak
dihafal di zaman Nabi… Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula,
tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul berasal dari Nabi dan
mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada kesepakatan kata antara umat Islam tentang
keorisinilan semua hadis dari Nabi.” 47
Sekilas saja mencermati kata-kata Harun tersebut jelas sangat keliru, sebab banyak
sahabat yang sejak awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi saw. Juga, tidak benar,
bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits Nabi. Kata-kata Harun
itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi sebagai pedoman kaum Muslim setelah
al-Quran. Sebenarnya, tidaklah benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat.
Prof. Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in Early Hadith
Literature” membuktikan proses pencatatan hadis sejak zaman Nabi, disamping proses
hafalannya.
Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan
tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya
sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi).
Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain,
yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun
menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’ -- ada
empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun,
merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun
46 HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya’,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.
47 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal. 29.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 33
menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi
kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahliahli
perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.” 48
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana
Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama
tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab?
Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah
memberikan kritik keras, bahwa: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian
ilmiyah sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin
dipudarkan keimanannya.” 49
Tetapi, kritik-kritik tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag
dan IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam mata kuliah
pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia. Padahal,
kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah, bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang
memuji-muji Harun Nasution secara tidak proporsional.
Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:
“Karena itu, beliau perlu diteladani oleh para intelektual maupun generasi
berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara
sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide
pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia. Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru
dimaksud diantaranya; Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin,
Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman
Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan
Kuntowijoyo…Harun sangat tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi
akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia. 50
Dalam disertasi doktornya yang berjudul “Islamic Rationalism: A Critical
Evaluation of Harun Nasution’s Thought” di Universitas Islam Internasional Malaysia
(2007), Dr. Mohd Shuhaimi bin Ishak menyimpulkan:
“For Harun Nasution, the idea of religious reform contains elements of liberalism
and relativism. As a liberalist, he considers Islam as neither dogmatic nor legalistic
religion but a religion that is open and free from being attached to any particular
school of thought. As a relativist, he considers Islam as a religion that can make the
necessary adjustments in relation to the times and needs of contemporary world.”
Secara kualitas dan teknik penulisan ilmiah, buku IDBA Harun Nasution sebenarnya
juga sudah perlu direvisi total. Tapi, sekali lagi, kesalahan yang fatal itu dibiarkan saja
selama 30 tahun lebih. Jika buku yang isinya mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan
secara terus-menerus dalam rentang begitu lama, bisa dipahami, jika kerusakan yang
diakibatkan ‘virus’ itu sudah semakin parah dan menular ke mana-mana. Entah kenapa,
masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh lembaga-lembaga Islam di
Indonesia.22.
49 HM Rasjidi, op.cit, hal. 24.
50 Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005), hal. xvi-xvii.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 34
Pengaruh Barat – melalui pusat-pusat studi Islam di Barat – diakui sendiri oleh
Departemen Agama, melalui penerbitan buku berjudul ”Paradigma Baru Pendidikan
Islam”, yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam – Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama RI tahun 2008. Ditulis dalam buku ini:
”Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif
dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang
tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling
menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan
tingkat grass root.” (hal. 6)
Tentang peran Harun Nasution dalam pembaratan IAIN ditulis dalam buku ini:
”Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan
multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh
pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STA
Ditulis dalam buku ini, bahwa pembaruan Islam perlu dilakukan, karena yang
menjadi masalah umat Islam Indonesia adalah bahwa sampai saat ini adalah kurang
berkembangnya pandangan pluralistik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat.
Pada zaman Harun, tulis buku ini, pengajaran keagamaan sangat normatif dan terpaku pada
salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang
tertentu dan sangat fiqih oriented. Model pendidikan yang seperti itu dapat dipastikan akan
menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit.
”Dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal
yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat.” (hal.
8).
Untuk melakukan pembaruan pemikiran Islam di IAIN, Harun Nasution mencari
akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepada
masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta.
”Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur
pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution
mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana
IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian
gagasan-gagasan keislaman yang baru.” (hal. 8).
Membaca buku ”Paradigma Baru Pendidikan Islam” yang diterbitkan Departemen
Agama ini bisa dipahami, bagaimana proyek pembaratan IAIN ini secara sistematis
dijalankan selama lebih dari 30 tahun. Pemuktazilahan IAIN seperti digambarkan dalam
pemikiran Harun hanyalah slogan, karena faktanya adalah pembaratan, seperti yang
dibanggakan sebagai bentuk kemajuan dalam pendidikan Islam. Inilah yang dikatakan
sebagai ”Paradigma Baru Pendidikan Islam”.
Jika kita membaca buku yang disusun para alumni Studi Islam McGill ini, yang
dikatakan sebagai ”Paradigma Baru” dalam pendekatan studi Islam tidak lain adalah
mengikuti pendekatan studi Islam yang menekankan pada pendekatan sejarah (historis) dan
bukan pendekatan normatif. Metode pendekatan sejarah ini digunakan antara lain karena
kekaguman Mukti Ali terhadap gurunya di McGill, yaitu Prof. Wilfred Cantwell Smith,
seperti ditulis dalam buku ini:
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 35
”Smith adalah sosok yang kemudian selalu dikagumi Mukti Ali karena sikap
ramahnya terhadap Islam dan metodologi yang dipakainya dalam mempelajari
Islam. Menurut Mukti Ali, Smith tidak hanya menarik dari sisi simpatiknya terhadap
Islam tetapi juga dari pendekatan holistik yang digunakannya. Bahwa Islam tidak
semata fenomena normatif, tetapi harus dipandang dari sudut lain, sebagai fakta
sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban
manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan kemanusiaan. Empiris
kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan
fenomena umatnya.” (hal. 10).
Perlu dicatat, Wilfred C. Smith adalah seorang pendeta Kristen yang mendirikan
Pusat Studi Islam di McGill University. Buku ”Paradigma Baru Pendidikan Islam” ini
sebenarnya menceritakan kesuksesan proyek kerjasama McGill dengan UIN Jakarta dan
UIN Yogya. Karenanya proyek ini akan diteruskan. Ada dua hal penting yang
dikembangkan dalam kerjasama ini. Yaitu penyelenggaraan proram Kajian Antar Bidang
dalam studi Islam (Interdisciplinary Islamic Studies/IIS) dan pengembangan kurikulum
berbasis gender. Dalam IIS, yang ditekankan adalah kajian Islam yang menekankan pada
konteks sosial dan historis. ”Oleh karena itu, kajian Islam yang memperhatikan konteks
sosial dan historis serta menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial sangatlah
dibutuhkan.” (hal. 168).
Kenaifan alasan dan tujuan penggunaan metode studi Islam model Barat ini bisa
disimak sebagai berikut:
”Terlebih selama ini pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan secara
dominan masih bersifat normatif dan kurang historis. Dengan demikian, program ini
akan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki paradigma historis dalam
kajian Islam. Pendekatan historis dan empirik dalam kajian agama akan dipandang
penting untuk meningkatkan tradisi keilmuan dan menciptakan model pemahaman
keagamaan yang bijak, demokratis dan toleran.”
Membaca buku ini kita bisa lebih dipahami, mengapa buku-buku Studi Islam di
Perguruan Tinggi saat ini semakin banyak dijejali dengan pendekatan historis ala Barat.
Ternyata, memang semua ini adalah proyek pembaratan secara sistematis. Metode ini telah
mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan yang terjebak kepada ”penyamaan” Islam
dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah.
Padahal, Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang berbeda
dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan
kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena itu, metode
pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman
historisitas yang serba relatif.
Penggunaan metode pendekatan historis kontekstual dalam studi Islam bisa
berakibat fatal. Misalnya, metode ini digunakan untuk mereka menghalalkan perkawinan
antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dengan alasan hal itu tergantung konteks
sejarah dan budaya Arab yang patriarki. Ada juga dosen syariah IAIN Semarang – yang
menggunakan pendekatan sejarah – yang kemudian berpendapat bahwa mahar dalam
perkawinan bisa juga diberikan oleh mempelai wanita, tergantung situasi sosial dan
budayanya. Keharusan memberikan mahar bagi laki-laki, menurut dia, adalah kaena ayat al-
Quran turun di Arab yang budayanya patriarki.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 36
Menyimak semua ini tidak sulit untuk melihat sebuah bentuk penjajahan intelektual
yang sangat sistematis terhadap umat Islam saat ini. Dengan pendekatan historis kontekstual
ini, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami, kemana arah tujuan studi Islam ala Barat ini
dikembangkan. Yaitu, tirulah cara berpikir Barat yang serba relatif. Kebenaran tergantung
pada situasi sosial dan budaya. Tidak ada kebenaran yang tetap. Dalam kasus ”aurat
wanita”, misalnya, akan dikatakan bahwa aurat itu fleksibel tergantung situasi sosial dan
budaya. Begitu juga dalam soal-soal ajaran dan hukum Islam lainnya. Ujung-ujungnya,
para mahasiswa dan sarjana digiring untuk berpikir ala Barat yang bersikap netral terhadap
”al-Haq dan al-Bathil”; yang tidak bicara lagi soal ”Iman dan kufur”, ”tauhid dan syirik”,
dan sebagainya. Semua itu dianggap sebagai hal normatif.
Kiranya pejabat dan para cendekiawan Muslim perlu menyadari akan kekeliruan dan
bahaya besar dalam pengembangan studi Islam model Barat di perguruan Tinggi Islam.
Sangat memprihatinkan jika ternyata yang disebut sebagai ”Paradigma Baru Studi Islam”
adalah ”Paradigma Pemikiran Modern Ala Barat” seperti yang dipaparkan dalam buku
ini.
Tentu sangat ironis, jika banyak cendekiawan begitu mudah termakan pemahaman
yang sangat naif dan tidak realistis, bahwa masalah utama umat Islam Indonesia adalah
kurangnya pemahaman Islam yang pluralis, pemahaman yang historis; bahwa kajian Islam
yang normatif adalah sumber masalah, sumber intoleransi umat beragama, dan sebagainya.
Karena itu, perlu digunakan ilmu-ilmu sosial Barat dalam studi Islam, agar menghasilkan
pemahaman yang tidak mutlak, yang toleran, dan seterusnya!
Bukankah ini logika yang naif! Bukankan Barat sendiri terbukti sangat tidak toleran,
karena terus-menerus memaksakan sekularisme, liberalisme, pluralisme dan paham Barat
lain kepada seluruh umat manusia. Mereka yang ingin menerapkan ajaran Islam dalam
kehidupannya, yang menolak pandangan hidup Barat, secara serampangan lalu diberi cap
”fundamentalis”, ”radikal”, ”konservatif”, dan seabrek ’julukan miring’ lainnya. Yang mau
ikut Barat dipuji-puji sebagai kaum intelektual yang toleran, progresif, dan sebagainya.
Jangan heran, jika di antara mereka, lahir orang-orang seperti Geert Wilders, sutradara film
Fitna, yang menyampaikan pesan di akhir film-nya: ”Stop Islamization. Defend our
freedom!”. Peradaban seperti inikah yang disebut toleran?
Dalam artikelnya di Majalah ISLAMIA (terbitan INSISTS, edisi 1/2004), Prof. Wan
Mohd Nor Wan Daud, guru besar bidang pendidikan dan pemikiran Islam di Universiti
Kebangsaan Malaysia, mengingatkan dampak besar penggunaan metode Barat dalam
pemahaman Islam, seperti hermeneutika: ”Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiah tanpa
mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar.
Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita
memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan
peradaban internasional yang unggul dan lama.”
Penutup
Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini
benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai
krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besarbesaran
dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang
membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam. Di bidang moral,
generasi muda Muslim terus diseret oleh sebuah gelombang besar liberalisasi moral yang
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 37
berujung kepada praktik permisivisme dan hedonisme. Liberalisasimoral ini pada ujungnya
bisa menyeret suatu bentuk pencarian legitimasi pemikiran keagamaan yang liberal.
Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham liberal ini adalah para individu, tokoh,
cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja
ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya
diamanahkan untuk menjaga agama, justru banyak yang berbalik menjadi perusak agama.
Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman dimana yang haq dan yang bathil sudah bercampur
aduk. Karena itu, sangatlah tepat bahwa pada tahun 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa
yang menyatakan bahwa paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme – yang
populer disebut sebagai fatwa “Sipilis” -- adalah bertentangan dengan Islam dan haram
bagi umat Islam untuk memeluknya. Para ulama perlu sangat serius menangani masalah ini.
Sebab, hakikatnya, liberalisme dalam bidang agama (Islam), memang bertujuan untuk
meruntuhkan sendi-sendi dasar agama Islam.
Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan:
“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang
bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaikbaik
manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).
Juga sabda beliau saw:
“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah
tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik
tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).
Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa,
mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda
oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan
Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap Islam, saat ini sering
dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang
piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.
Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang
terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan
tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab,
liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam
dari asasnya, baik aqidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.
Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah
kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon
pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan
berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu
bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.”
Disamping itu, kita juga senantiasa berdoa kepada Allah, semoga kita diberikan
kekuatan iman, agar dapat terhindar dari berbagai godaan syahwat dunia, sehingga kita tidak
termasuk orang-orang yang mudah mengingkari dan melepaskan kebenaran yang sudah kita
terima. Allah SWT sudah mengingatkan kepada kita semua:
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 38
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami, kemudian melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti
oleh syaithan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya), tetapi dia cenderung
kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu
agar mereka berfikir. (QS al-A’raf:175-176).
(*****).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar