Setiap 21 April masyarakat Indonesia memperingati tanggal tersebut sebagai hari Ibu. Tanggal yang diambil dari kelahiran RA. Kartini yang diklaim sebagai pelopor semangat kebangkitan kaum wanita Indonesia dari keterbelakangan dan penindasan kaum laki-laki. Slogan yang senantiasa diusung dalam ‘perjuangan’ kaum wanita tersebut dikenal dengan istilah Emansipasi Wanita.
Emansipasi wanita seringkali difahami secara keliru oleh para feminis di Indonesia sebagai menyetarakan kedudukan wanita dan laki-laki dalam segala hal; sosial, ekonomi, politik maupun beragama. Mereka menginginkan tidak ada pembedaan dalam hak dan kebebasan antara laki-laki dan wanita.
Maka adalah SALAH BESAR jika menganggap Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti dalam paradigma barat. Kartini bahkan menyerang peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: "Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?"
Jika Kartini sekarang masih hidup, dia pasti akan menyerang pengertian emansipasi yang ada seperti sekarang ini. Kartini akan menyerang kontes ratu-ratuan yang mengumbar aurat, Kartini akan menyerang keinginan perempuan untuk menjadi seperti pria yang sebenarnya berangkat dari perasaan rendah diri dan pengakuan jika pria lebih unggul, sebab menurut Kartini, perempuan dan laki-laki itu memiliki keunggulan dan juga kelemahannya masing-masing yang unik, sebab itu mereka memerlukan satu dengan yang lainnya, saling melengkapi.
DUNIA SEBELUM ISLAM
Sejatinya emansipasi wanita, feminisme atau faham kesetaraan gender adalah ideologi kemarahan dan pemberontakan kaum perempuan terhadap konstruk sosial dan doktrin agama Barat yang sangat diskiriminatif kepada kaum wanita. Sebelum Islam datang, masyarakat dunia memandang wanita berikut ini:
Romawi dan Persia, misalnya. Pada dua kerajaan adikuasa pada masa itu, nasib perempuan sangat mengenaskan. Banyak wanita menjadi budak belian dan pemuas nafsu, atau korban persembahan bagi dewa-dewa. Seperti diilustrasikan oleh Al-Abrasyiy dalam buku ”Keagungan Muhammad” (1985), pada tahun 586M (sekitar 16 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad) di Perancis pernah diselenggarakan suatu sidang yang membahas apakah wanita itu termasuk manusia atau bukan.
Dalam budaya China Kuno terdapat sebuah kaidah: "tidak ada di dunia sesuatu yang paling rendah nilainya selain wanita", "wanita adalah tempat terakhir dalam jenis kelamin dan dia mesti ditempat pada pekerjaan yang paling hina".
Dalam perundang-undangan Yunani, sebagaimana ditulis Dymosten: "kami menjadikan wanita pelacur untuk bersenang-senang, menjadikan teman wanita (pacar) untuk kesehatan fisik kami, menjadikan istri-istri kami agar kami memiliki anak-anak yang legal" .
Di Italia pada sebagian wilayahnya wanita dianggap seperti pembantu rumah tangga, dia hanya boleh duduk di lantai sementara suaminya duduk di atas kursi. Apabila suaminya mengendarai kuda maka sang istri mesti berjalan di bawah mengikuti sang suami meski dalam perjalanan yang jauh sekalipun".
Sedangkan India dalam materi Qanun no: 147 disebutkan bahwa wanita tidak berhak pada setiap tahapan hidupnya untuk melakukan aktifitasnya sesuai keinginannya, meskipun dalam masalah rumah tangganya". Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.
Dalam budaya Romawi wanita tidak mendapatkan posisi terhormat, bahkan diperlakukan seperti anak-anak dan orang-orang gila, sebagaimana dikutip Abdul Mun'im Badr dan abdul Mun'im al-Badrawi dalam bukunya Mabadi' al-Qanun ar-Rumani hal: 197-265.
Peradaban Romawi menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Ini berlangsung hingga abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi milik keluarganya yang laki-laki.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.
Tertullian (150 M), sebagai Bapak gereja pertama menyatakan tentang perempuan: “Wanita yang menggunakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan”. St John Crysostom (345-407 M) seorang Bapak Gereja bangsa Yunani menyatakan: “Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketidakberuntungan yang cantik”. (Abul A’la Al-Maududi, Al-Hijab, 1995).
FEMINISME
Istilah feminisme berasal dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi fe-minus, artinya kurang iman. Perempuan di Barat, dalam sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho.
Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam agama Barat, wanita Barat itu korban inuisisi dan di masyakarat jadi korban perkosaan laki-laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.
Itulah worldview Barat asal feminisme lahir. Dan memang worldview, menurut Al-Attas, Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart dll. adalah sumber aktifitas intelektual dan sosial. Buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminist liberal,
Barat Marxis membuahkan feminis Marxis, Barat posmodern melahirkan feminism posmo dan seterusnya. Seperti liberalisme tuntutan feminis liberal adalah hak ekonomi dan kemudian hak politik. Dalam bukunya A Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft menyimpulkan di abad ke 18, wanita mulai kerja luar rumah karena didorong oleh kapitalisme industri. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan jasmani (perut), tapi berkembang menjadi ambisi sosial. Taylor dalam Enfranchisement of Women(1851) malah memprovokasi agar perempuan memilih jadi ibu atau wanita karir.
Tapi berkarir bukan tanpa masalah. Para feminis itu ternyata berkarir diluar rumah tapi dirumah ia mempekerjakan pembantu wanita. Taylor sendiri begitu. Bagi feminis liberal berkarir apapun wanita harus dibela. Bahkan menurut Rosemarie Putnam Tong dalam Feminist Thought-nya feminis liberal terang-terangan membela karier wanita pelacur dan ibu yang mengkomersialkan rahimnya.
Semua berhak melakukan semua dan harus dibela, begitu kira-kira doktrinnya. Membela wanita berarti membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun. Memberdayakan wanita berarti membenci laki-laki. Aroma adagium barbar masih kental membela diri artinya menyakiti orang lain. Biar wirang asal menang. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Karena kapitalisme dilawan sosialisme, maka feminis liberal dilawan juga oleh feminis Marxis. Idenya sudah tentu menolak kapitalisme. Sebab struktur politik, sosial dan ekonomi kapitalis liberal telah meletakkan wanita dalam kelas sosial yang lain. Kapitalis-liberal juga menciptakan sistim patriarkis. Karena itu gagasan Feminis Marxis adalah menghapus kelas sosial ini. Namun, nampaknya feminisme liberal atau Marxis masih dianggap kurang nendang. Mereka perlu lebih radikal lagi. Ba hasanya bukan lagi reformasi tapi revolusi. Fokusnya tidak lagi menuntut hak sipil tapi memberontak sistim seks/gender yang opresif.
Pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi wanita dan laki-laki dianggap tidak adil. Bible pun tak luput dari kritikan. “Kristen itu menindas perempuan,” kata Stanton dalam The Women’s Bible. Selain itu perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas lelaki. Inilah sebabnya feminis radikal lalu marah. Tanpa lelaki wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya begitulah kemarahan mereka. Lesbianisme pun dianggap keniscayaan.
Padahal dalam The Vatican Declaration on Sexual Ethics tahun 1975 diputuskan bahwa perilaku lesbian dan homoseks are intrinsically disordered and can in no case be approved of. Paus Benediktus XVI pada malam Tahun Baru 2006, mengutuk hubungan seks sejenis itu. Tapi apa arti agama jika iman tak lagi di dada. Begitulah, gerakan ini memang tanpa iman.
Tapi Gayle Rubin, juru bicara feminis radikal libertarian, malah ngompori baiknya wanita jangan hanya puas menjadi lesbi tapi juga memprotes segala aturan tentang hubungan seks. Institusi perkawinan pun jadi sasaran. Tapi beda dari libertarian, feminis kultural justru memprotes pornografi, prostitusi, dan heteroseksual. Tapi tidak berarti mereka setuju dengan UU pornografi dan perda bernuansa syariah. Sebab kedua aliran ini sepakat untuk menghapus institusi keluarga.
Feminis radikal sedikit banyak dapat angin dari gerakan feminis psikoanalisis dan gender. Pendekatannya bukan sosial, politik atau seksual, tapi psikologis biologis. Bahasanya lebih radikal dari feminis radikal. Gerakannya menggugat konstruk gender secara sosial dan biologis. Karena laki-laki dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruk sosial. Maka konstruk sosial ini harus dirubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui, dan wanita bisa menjadi pemimpin laki-laki.
Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan ketidak adilan. Obyeknya adalah laki-laki, konstruk sosial, politik dan ekonomi. Ketika diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita. Nampaknya bagus. Tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinal Barat. Buktinya nafsu lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan. Bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, Marxis dan terkadang posmo. Begitulah, nafsu tidak memiliki batas dan marah tidak mengenal moralitas. Dan memang gerakan feminisme adalah feminus, alias kurang iman.
Anggapan sebagian umat Islam, bahwa kaum perempuan di Barat yang senatiasa memperhatikan kaum perempuan Islam, kondisinya membahagiakan, memiliki kemerdekaan, hak-hak mereka terjamin, dan bisa menikmati eksisitensi mereka dalam percaturan kehidupan. Padahal kondisi kaum perempuan di Barat telah mengalami dehumanisasi eksistensi. Kemuliaan dan kehormatan mereka diinjak-injak, hak-hak mereka diperkosa melalui berbagai bentuk slogan yang mengatasnamakan pembebasan perempuan. Bahkan, mereka telah menjadi alat pemuas nafsu birahi kaum laki-lakinya dan objek komersialisasi seks sama seperti leluhur mereka dulu melakukannya, sekalipun dilakukan dengan cara yang lebih moderat tapi jauh lebih merusak.
Islam memandang tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan itu adalah untuk menjadi pasangan. Suatu pasangan, akan menjadi sempurna jika antara satu dengan lainnya saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitusi). Laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang ideal. Masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Ketika keduanya dipaksakan untuk menjadi sama, maka disharmoni pasti akan terjadi. Keseimbangan menjadi terganggu, dan pada akhirnya sistem dan tatanan sosial menjadi rusak. Bagaimanapun juga perempuan tidak persis sama dengan laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan itu sama, tidak perlu diciptakan dua jenis yang berbeda.
Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal seseorang di antara kamu baik laki-laki maupun perempuan….!” (Ali ‘Imran: 195)
Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga. Mereka tidak akan dizalimi sedikitpun. (An-Nisa’: 124)
Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga. Mereka tidak akan dizalimi sedikitpun. (An-Nisa’: 124)
Rasulullah saw bersabda: “Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah”. (HR Muslim).
“Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik harta simpanan seseorang? Yaitu wanita sholihah, jika ia memandangnya menyenangkannya, jika ia tidak berada di depannya ia peliharanya, jika ia memerintahkannya ia menataati” (HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad, an-Nasa’i dan al-Hakim).
”Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam berhubungan dengan mereka dan bertakwa kepada Allah atas (hak) mereka, maka baginya surga" (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, hanya saja pada riwayat Abu Dawud Rasulullah saw bersabda, "Kemudian ia mendidik, berbuat baik, dan menikahkan mereka, maka baginya surga.").
Tidak ada komentar:
Posting Komentar