12.01.2009

Islam (Tidak) Anti Kekerasan

Seringkali kita mendengar ungkapan bahwa Islam anti kekerasan, seiring terjadinya berbagai aksi pengeboman akhir-akhir ini di tanah air yang entah kenapa dituduhkan kepada Islam. Islam anti kekerasan adalah sebuah ungkapan apologetik yang menyesatkan saat dijadikan pembelaan bahwa Islam sebagai way of life tidak mengajarkan kekerasan. Benarkah?

Keras atau kekerasan itu sifatnya fithriyyah (manusiawi) sebagaimana lembut juga adalah fitrah. Hal yang menjadi tabiat dasar manusia yang tidak bisa dan tidak boleh dihilangkan melainkan harus diarahkan dan diberdayakan untuk tujuan kebajikan.

Oleh karena kekerasan adalah manusiawi, maka barangsiapa yang melarang seseorang berbuat kekerasan maka telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan tidak lagi manusiawi ketika dilakukan secara berlebihan, sebagaimana juga dengan kelembutan atau kedamaian.

Di dalam Islam ‘berlebihan’ dikenal dengan istilah tatharruf. Tatharruf adalah setiap aktifitas yang dilakukan tidak sesuai dengan proporsinya. Dalam literatur fikih Islam seringkali terdapat penggunaan kalimat ifrath dan tafrith yaitu upaya berlebihan dalam bermudah-mudah dan berlebihan dalam mempersulit.

Islam adalah agama yang proporsional tidak berat sebelah dan sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan, sehingga Islam disebut juga agama fitrah. Artinya jika seseorang tidak berislam berarti ia melawaan hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian ‘berlebihan’ bertentangan dengan ruh agama, berlebihan sering dibahasakan dengan istilah ekstrim. Ekstrimisme inilah yang dalam bahasa Islam disebut dengan tatharruf.

Setiap hal yang berlebihan atau ekstrim pasti tidak baik, termasuk dalam persoalan-persoalan kebaikan sekalipun. Sebagai contoh, kecintaan kita kepada Allah harus proporsional sesuai dengan yang diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah, jika tidak, bisa jadi kita menggambarkan Allah sebagai sosok konkrit yang real ada di hadapan kita. Maka jadilah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Rasulullah saw diutus.

Oleh karena itu Allah swt sangat tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, sebagaimana yang ditegaskan-Nya dalam banyak ayat al-Qur’an. Diantaranya:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Oleh karena itu problemnya bukan pada persoalan kekerasannya. Tapi pada penempatan kekerasan tersebut. Sebagai agama fitrah, Islam jelas mengadopsi ‘kekerasan’ sebagai salah satu manhaj dakwah. Namun Islam menempatkan kekerasan pada proporsi yang sebenarnya. Sebab secara manusiawi, tidak semua persoalan kehidupan hanya bisa diselesaikan oleh kelembutan semata.

Kekerasan fisik yang salah satu bentuknya adalah perang (qital) diakui secara syar’i oleh Islam sebagai hukum qhat’i dengan bertebarannya ayat maupun hadits yang melegitimasinya.

Islam sebagai agama beradab sangat menghormati fitrah manusia saat mengakomodir ‘kekerasan’ yang dengan secara ketat melakukan pembatasan-pembatsan demi penghormatan terhadap hak asasi manusia tersebut.

Dalam peperangan, Islam melarang umatnya untuk; menyerang kalau tidak diserang, membunuh perempuan dan anak-anak, membunuh yang sedang beribadah, merusak pepohonan, tempat-tempat ibadah, fasilitas umum dan mencincang mayat. Islam juga mengharuskan sebelum terjadi peperangan terlebih dahulu ditawarkan kepada pihak musuh 3 hal; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) atau berperang. Dan Islam sangat menekankan untuk lebih berharap perdamaian daripada terjadinya peperangan saat 3 tawaran itu diajukan.

Itulah yang dimaksud bahwa Allah tidak menyukai hal-hal yang berlebihan sekalipun dalam situasi peperangan. Maka jika perang dalam Islam dikaitkan dengan kekerasan sebagai aktifitas yang abnormal, biadab, barbar dan destruktif. Lalu apakah kita juga akan menyebut Rasulullah saw dan para sahabat sebagai bidab dan barbar disebabkan melakukan peperangan?

Padahal sejarah dunia mencatat, Rasulullah saw menegur sahabatnya yang membunuh musuh saat mengucapkan syahadat, jenderal besar Khalid bin Walid membiarkan kemahnya tidak dibongkar saat peperangan karena diatasnya ada burung yang sedang bersarang dan penunggang kuda ulung sahabat Rasulullah saw bernama Abu Qotadah memberikan air wudhunya ketika seekor kucing menghampiri berharap minum.

Di luar itu semua ada sebuah adagium di antara para ahli sejarah dan politikus dunia bahwa seringkali peperangan dibutuhkan untuk mencapai kedamaian. Tidak akan ada perdamaian jika tidak ada peperangan hehe…

Sebagai perbandingan, jika hanya Islam yang dituduh pelaku ‘kekerasan’. Anda buka-bukalah catatan sejarah kelam Yahudi dan Kristen, niscaya bulu kuduk anda akan merinding seolah bukan manusia yang melakukan keganasan itu semua melainkan segerobolan serigala lapar dalam setiap babak sejarahnya. Sampai abad yang diklaim sebagai abad modern, abad milik mereka ini, siapakah yang saat ini sangat hoby berperang dan menumpahkan darah?

Adapun teks-teks syariat yang dijadikan legitimasi perang (jihad) tidak pada tempatnya, pelakunya adalah oknum. Oknum akan senatiasa ada pada setiap agama dan kelompok masyarakat. Sehingga ekstrimitas dalam Islam tidak bisa dipakai untuk menjudge bahwa Islam agama yang keliru, terlebih jika yang dipersalahkan adalah konsep jihad dalam Islam.

Terkait hal itu, jika dilihat melalui perspektif teori konspirasi terlihat jelas bahwa gembar-gembor ungkapan Islam anti kekerasan diproduksi oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan konsep jihad dalam Islam tereduksi atau paling tidak ada reinterpretasi yang menurut mereka lebih lembut dan damai.

Ala kulli hal, kita tahu betul bahwa JIHAD adalah syariat Islam yang paling ditakuti oleh msuh-musuhnya. Perjalanan sejarah membuktikan, mereka tidak pernah menang melawan jihadnya umat Islam. Jihad dipersepsikan sebagai kejahatan karena mengandung ‘kekerasan’ sehingga diharap umat Islam mengenyampingkan JIHAD sebagai sesuatu yang diwajibkan. Dan menanglah mereka tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga….

Maka dalam arti yang sebenarnya, ISLAM (TIDAK) ANTI KEKERASAN.

1 komentar:

  1. ada banyak hal yang membuat kita terpaksa mengakui keberagaman agama kita. fakta sosial-politik saat ini memberikan gambaran jelas daripada hanya sekedar teori yang walaupun benar, masyarakat menilai lain. yang kita butuhkan bukan membela prinsip kita, tapi mencoba berkonstribusi dalam kenyataan di hadapan kita. dan, kita lihat apa yang terjadi..,

    BalasHapus