Saat duduk santai di bus jurusan Bogor Bekasi sekitar pukul 16.30 wib Ahad 29 Maret lalu, pesawat televisi yang dinyalakan sang sopir sedang menayangkan acara gosip insert di salah satu televisi swasta. Qodarullah saat itu sedang ditayangkan beberapa orang ustadz beken sedang mengunjungi dan memberikan bantuan kepada korban musibah Situ Gintung, sambil tersenyum-senyum entah senang atau sedih dengan pakaian sangat indah sama sekali bersih tidak terkotori lumpur yang begitu banyak di sekitarnya.
Entah, saya tidak bisa menangkap apa yang disampaikan ustadz-ustadz itu di depan kamera karena selain volumenya kecil ada penceramah juga di bus waktu itu. Mungkin beliau-beliau sedang menyampaikan tausyiah bahwa musibah datangnya dari Allah, kita harus bersabar, semua ada hikmahnya dan bla bla bla. Tidak salah, tapi lama-kelamaan malah penceramah di bus lebih menarik perhatian saya daripada melihat 'komedian-komedian' di tayangan insert itu.
Si penceramah ternyata intelek berpengetahuan luas layaknya mahasiswa pasca sarjana, banyak mengutip istilah-istilah ilmiah dan ayat-ayat al-Qur'an ataupun hadits selain juga mahir berbahasa Inggris. Uih..ini dia mubaligh jempolan dibanding saingannya di televisi depan dirinya berdiri.
Yang paling menarik dari ceramahnya adalah ungkapan bahwa kita semua akan mati, dan hampir semua orang yang akan mati ingin dikenal dan dikenang. Namun masalahnya tidak semua orang akan terkenal saat kematiannya, para wong cilik seperti dirinya yang hanya orang jalanan mana bisa masuk tv.
Si penceramah memberikan tips agar orang kecil matinya bisa terkenal dengan cara harus mati berombongan tidak boleh sendiri-sendiri, seperti kena banjir, longsor dan terkena air bah jebolnya tanggul Situ Gintung.
Menarik. Saya membayangkan ustadz-ustadz di acara itu tidak seperti yang ditayangkan. Tetapi mereka tertangkap kamera sedang mengangkat mayat, berlumpur, berkeringat dan sebagian wajahnya tertutupi slayer. Mereka ingin ikhlas membantu tanpa diketahui oleh siapapun kecuali Allah. Mereka tidak ingin keterkenalan mereka menjadi virus dari kepedulian mereka terhadap para korban bencana. Dahsyat!
Hari sebelumnya, sekitar pukul 19.30 wib saya bertemu dengan ketua DPW FPI Bekasi Raya Ustadz Murhali Barda Hafidzahullahu Ta'ala (afwan Ustadz ana sebutin nama antum ya..). Kami bertemu di acara silaturrahim alumni Radio Dakta 107 FM Bekasi. Saat ditanya 'abis dari mana tadz?' beliau jawab 'abis jalan-jalan ke Situ Gintung'. 'Wah ngapain tadz?', 'biasa ngangkatin mayat'. Blas...beliau jalan ke depan.
Wah! Ko di acara insert tidak ada beritanya, di tayangan berita kali ada atau mungkin ada di tayangan kriminal hehe..
Luput dari pemberitaan, anggota-anggota FPI paling depan dan paling gigih mengevakuasi mayat di Situ Gintung. Sama luputnya saat FPI yang paling pertama dan paling berani mengevakuasi ribuan mayat korban tsunami Aceh beberapa tahun silam.
Para Ustadz itu mungkin meneladani dua pemimpin bangsa kita yang saling bersaing datang dan menyampaikan empati kepada para korban. Seperti biasa pesona dipancarkan, kata- kata indah menyejukkan dilontarkan dan janji manis disampaikan dengan wajah nampak begitu terharu menahan tangis.
Tragis. Ternyata dua pemimpin bangsa itu bertepuk sebelah tangan. Para warga korban bencana melihat di hadapan mereka dua sosok Drakula yang haus darah sedang meleletkan lidah dengan mata memerah mengerikan. Warga sangat ketakutan seperti mendapatkan bencana susulan yang tak kalah dahsyat. Sampai-sampai tidak ada yang berani melemparkan sepatu berlumpur ke wajah dua sosok Drakula tersebut.
Padahal warga tahu betul bahwa kedua Drakula itulah yang paling bertanggung jawab atas hilangnya keluarga dan harta mereka.
Para Ustadz dan dua sosok Drakula itupun kembali berkolaborasi menipu rakyat. "Kata siapa rakyat semakin cerdas," umpatnya sinis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar