12.26.2008

Posisi Gender dalam Al-Qur’an



Posisi Gender dalam Al-Qur’an
Oleh : Wildan Hasan

Abstraksi

Saat ini menguraikan persoalan kemitraan laki-laki dan perempuan dengan merujuk sumber ajaran (al-Qur’an dan as-Sunnah), dapat menimbulkan beda pendapat, apalagi memahami teks-teks keagamaan, bahkan teks apapun yang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Di sisi lain berbicara tentang judul di atas, mengharuskan masyarakat manusia memandang kembali perempuan. Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya al-Qur’an terdapat...
sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi dan Nashrani, Budha, Zoroaster di Persia dan sebagainya.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.
Peradaban Romawi menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Ini berlangsung hingga abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi milik keluarganya yang laki-laki.
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.
Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap bahwa perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari Surga. Abul A’la Al-Maududi dalam bukunya Al-Hijab mengatakan:
Tertullian (150 M), sebagai Bapak gereja pertama menyatakan tentang perempuan:
“Wanita yang menggunakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan membuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan”.
St John Crysostom (345-407 M) seorang Bapak Gereja bangsa Yunani menyatakan:
“Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketidakberuntungan yang cantik”.
Pandangan masyarakat Kristen masa lalu juga tidak lebih baik. Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan bahkan sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya dan sampai dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak pemilikian harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan. Tragisnya lagi, sosok perempuan sempat diperdebatkan apakah dia manusia atau binatang.
Kemudian datanglah peradaban Islam yang mengangkat dan mengembalikan perempuan kepada kedudukannya yang terhormat. Islam datang membawa peradaban baru yang lebih manusiawi. Ajaran fitrahnya sesuai dengan naluri kemanusiaan (humanity) yang fitri. Dalam kaitannya dengan perilaku diskriminatif terhadap perempuan itu, al-Qur’an juga menentang keras dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang mendasar:

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah mereka dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)

Perjuangan menghapuskan diskriminasi itu dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan mendidik umatnya melalui ajaran dan teladan akhlaqul karimah. Beliau menjadi pelopor sekaligus model orangtua yang sangat baik dalam memperlakukan anak-anak perempuannya. Sampai di sini, antara Islam dan mereka yang menamakan dirinya sebagai feminis masih sejalan. Apa yang diperjuangkan oleh kelompok ini sudah lama diperjuangkan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lampau. Akan tetapi ketika mereka mendesakkan tuntutan yang melebihi proporsi fitrah dan tujuan penciptaan, maka Islam menolak, bahkan menentangnya. Bagaimanapun juga perempuan tidak persis sama dengan laki-laki. Jika laki-laki dan perempuan itu sama, tidak perlu diciptakan dua jenis yang berbeda.

“Dan tidaklah sama laki-laki dengan perempuan.” (Ali Imran: 36)

Tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan itu adalah untuk menjadi pasangan. Suatu pasangan, akan menjadi sempurna jika antara satu dengan lainnya saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitusi). Laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang ideal. Masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Ketika keduanya dipaksakan untuk menjadi sama, maka disharmoni pasti akan terjadi. Keseimbangan menjadi terganggu, dan pada akhirnya sistem dan tatanan sosial menjadi rusak.
Namun saat ini Islam (Al-Qur’an) dijadikan tertuduh oleh lisan para pemerhati masalah perempuan dan hak-haknya, baik dari kalangan tokoh Barat maupun para pengekor Barat yang ada di tengah-tengah kita sendiri. Sekalipun mereka tidak menyatakan Al-Qur’an bersalah atas hal ini, tapi kesalahan para Mufassir yang menurut mereka secara sadar atau tidak telah menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan menjadi sangat diskriminatif terhadap perempuan (misoginis).
Sementara mereka melontarkan berbagai tuduhan terhadap Islam, berbagai tradisi yang primitif di berbagai pedalaman dan budaya jahiliyah yang diagung-agungkan tidak pernah mereka perbincangkan atau kritisi. Bahkan ketika memperbincangkannya, mereka justru melontarkan waham bahwa itu merupakan realitas yang diciptakan oleh Islam.
Dalam sejarah peradaban Islam, masalah-masalah perempuan merupakan masalah klasik yang umurnya setua umur manusia itu sendiri. Masalah perempuan dalam sejarah Islam bukan merupakan warisan dari perkembangan zaman atau revolusi kemanusiaan bukan pula warisan sebuah kebudayaan yang mengalami modifikasi dan reformasi. Kendati demikian, belum pernah ada yang mengkritisi permasalahan-permasalahan ini dengan mengatasnamakan kemenangan kaum perempuan dan mempertahankan mereka, kecuali beberapa dekade terakhir ini.
Apa sebabnya? Sebuah pertanyaan menarik, sekaligus mengusik.
Apakah generasi terdahulu kurang memiliki kepedulian terhadap perempuan dan segala kemaslahatannya?
Atau karena mereka kurang memahami apa yang kerap dikemukakan para penulis dan peneliti sekarang, bahwa Islam tidak memperlakukan kaum perempuan secara adil, yang terlihat dari pemberlakuan hak dan kewajiban terhadap mereka?
Permasalahannya bukan terletak pada kedua hipotesis tersebut. Generasi terdahulu (dalam hal ini para Mufassir) bukannya kurang perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan dan kemaslahatan mereka, bukan pula generasi yang sekarang lebih cerdas dalam memahami syari’at Islam, sehingga mereka mengatakan bahwa Islam tidak memperlakukan kaum perempuan secara adil.
Barat berhasil meracuni pikiran dan jiwa kaum perempuan Islam, sehingga mereka phobi terhadap segala ajarannya. Barat membentuk opini kaum perempuan, bahwa Islam tidak memperlakukan mereka secara adil dan manusiawi, tidak memperhatikan eksistensi kemanusiaannya, dan tidak memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil. Sampai yang paling memprihatinkan, para pemuja Barat dari kalangan kaum Muslimin mencari-cari justifikasi syari’at dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits agar pandangan Barat itu dianggap benar adanya.
Kondisi semacam ini diperparah dengan anggapan sebagian umat Islam, bahwa kaum perempuan di Barat yang senatiasa memperhatikan kaum perempuan Islam, kondisinya membahagiakan, memiliki kemerdekaan, hak-hak mereka terjamin, dan bisa menikmati eksisitensi mereka dalam percaturan kehidupan. Padahal kondisi kaum perempuan di Barat telah mengalami dehumanisasi eksistensi. Kemuliaan dan kehormatan mereka diinjak-injak, hak-hak mereka diperkosa melalui berbagai bentuk slogan yang mengatasnamakan pembebasan perempuan. Bahkan, mereka telah menjadi alat pemuas nafsu birahi kaum laki-lakinya dan objek komersialisasi seks sama seperti leluhur mereka dulu melakukannya, sekalipun dilakukan dengan cara yang lebih moderat tapi jauh lebih merusak.

Pengertian Jender
Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an menjelaskan bahwa kata Jender berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New Worl Dictionary, diterjemahkan Nasaruddin, jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.”
Nasaruddin juga mengutip Women’s Studies Enscyklopedia yang menjelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupa membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.
Secara lebih luas jender diartikan sebagai pembedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelaminnya dalam hal sifat, peran, posisi, tanggung jawab, akses, fungsi, control, yang dibentuk/dikonstruksi secara sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor: budaya, agama, sosial, politik, hukum, pendidikan, dan lain-lain, yang bisa berubah sesuai konteks waktu, tempat dan budaya. Misalnya: peran perempuan adalah mengelola rumah tangga, memiliki sifat emosional, lemah lembut, dan tidak tegas. Sedangkan peran laki-laki adalah sebaliknya yaitu mencari nafkah untuk keluarga dan memiliki sifat yang rasional, bijaksana dan pintar.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifkasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan non-biologis.

Kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an
Dalam dua dekade terkahir, feminisme banyak dibicarakan di kalangan akademisi Indonesia, baik dalam tujuan yang bersifat umum – terutama menyangkut hak-hak dan pemberdayaan perempuan – maupun yang dikaitkan dengan pemikiran Islam – terutama tentang penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan.
Banyaknya pembicaraan tentang feminisme ini didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, apalagi politik dibandingkan dengan peran laki-laki. Peran-peran publik didominasi oleh laki-laki, sementara perempuan lebih banyak memainkan peran domestik, baik sebagai istri maupun ibu rumah tangga.
Dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat manusia sebagaimana telah dijelaskan di awal. Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat alami atau kodrati. Anggapan seperti itu ditolak oleh feminisme. Dalam feminisme konsep seks dibedakan dengan jender. Perbedaan-perbedaan biologis dan fisiologis adalah perbedaan seks, sedangkan yang menyangkut fungsi, peran, hak dan kewajiban adalah konsep jender. Jender adalah hasil konstruksi sosial kultural sepanjang sejarah kehidupan manusia. Bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain adalah konsep jender hasil konstruksi sosial dan kultural, bukan kodrati atau alami.
Konstruksi jender dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia dipengaruhi oleh berbagai macam faktor: sosial, ekonomi, politik, termasuk penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Feminisme mengkaji berbagai macam konstruksi jender yang ada dan berkembang di masyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu tema kajian feminisme yang menarik dalam hubungannya dengan pemikiran Islam adalah kajian tentang konsep kesetaraan Jender dalam Al-Qur’an.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum dinyatakan oleh Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status yang sama di sisi Allah. Mulia dan tidak mulianya mereka di sisi Allah ditentukan oleh ketakwaannya. Secara khusus kesetaraan laki-laki dan perempuan itu ditegaskan oleh Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 35 :

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa. Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab 33 : 35)

Namun demikian, dalam beberapa ayat yang lain, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tersebut. Misalnya problem kesetaraan muncul dalam masalah penciptaan laki-laki (Adam AS) dari tanah, sementara perempuan (Hawa) dari tulang rusuk Adam. Dalam tugas-tugas keagamaan problem kesetaraan muncul mulai dari tidak adanya perempuan jadi Nabi dan tidak bolehnya perempuan mengimami jama’ah laki-laki dalam sholat, atau jadi khatib Jum’at dan ‘Idain (penafsiran terhadap ayat-ayat tentang shalat berdasarkan hadits Nabi), bahkan perempuan tidak dibolehkan shalat selagi mereka haidh. Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam masalah perwalian (laki-laki boleh menikah tanpa wali, sedangkan perempuan harus pakai wali), perceraian (mengapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki), poligami (laki-laki boleh poligami sedangkan perempuan tidak boleh poliandri), nikah beda agama (mengapa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan Ahlul Kitab, sementara perempuan muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non-muslim manapun, termasuk dengan Ahlul Kitab). Dalam bidang lain muncul problem kesetaraan dalam masalah pembagian warisan (anak laki-laki dapat dua bagian perempuan), kesaksian dalam transaksi kredit (formula dua saksi laki-laki atau satu saksi laki-laki dua perempuan). Dan juga problem kesetaraan muncul dalam masalah pembagian tugas publik dan domestik antara laki-laki dan perempuan.
Sepanjang telaah literatur tulisan para feminis ‘muslim’ tentang persoalan-persoalan di atas, yang mereka gugat bukanlah teks-teks suci al-Qur’an itu sendiri secara langsung, tetapi penafsiran para mufassir terhadap teks-teks tersebut yang tekstual, bahkan dalam beberapa hal dipengaruhi oleh bias dominasi laki-laki terhadap perempuan.


Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa:
Penomena feminisme dengan doktrin kesetaraan jendernya tidak lahir dari kemurnian peradaban Islam. Feminisme lahir atas pemberontakan kaum perempuan Barat atas peradabannya yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Namun karena tidak memiliki dasar dan pedoman yang jelas dan baku, kesetaraan yang mereka inginkan adalah kesetaraan yang liar dan melewati batas. Mereka menginginkan peran dan fungsi yang sama dalam segala hal dengan kaum laki-laki tanpa memperhatikan hal-hal yang bersifat kodrati - yang justru sangat menentukan peran dan fungsi perempuan sebagai pasangan laki-laki agar hubungan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah kesetaraan yang proporsional bukan emosional.
Untuk mempertahankan hegemoninya, Barat sebagai sebuah ideologi punya kepentingan untuk menyebarkan apapun yang menjadi arus utama pada peradabannya diyakini dan diamalkan oleh peradaban lain. Feminisme disebarkan ke dunia Islam tidak lepas dari upaya Barat untuk menjauhkan kaum perempuan muslim dari keyakinan terhadap kebenaran agamanya. Maka kemudian disebarkanlah program-program tasykik yang contoh-contohnya telah disebutkan di atas.

Kedudukan Perempuan Dalam Islam
Kemuliaan yang dianugerahkan Islam kepada perempuan merupakan bagian integral dari kemuliaan yang dianugerahkan Islam kepada seluruh manusia. Hal ini telah dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya :

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam – manusia - dan Kami muliakan juga mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan kami benar-benar unggulkan mereka atas kebanyakan ciptaan kami (Al-Isra’: 70)

Secara implisit, ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan itu telah dianugerahkan Allah kepada anak Adam atau manusia secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya, Islam juga memperkuat bahwa kemuliaan ini dibangun atas dasar realitas kemanusiaan, yang mencakup kaum laki-laki dan perempuan secara setara. Kesetaraan kemuliaan ini terjadi manakala dibingkai oleh ketakwaan dan amal saleh. Lalu dari keduanya – laki-laki dan perempuan – Allah menjelaskan bahwa kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Hanya saja diferensiasi gradasi kemuliaan itu bukan karena perbedaan “realitas kemuliaan” melainkan karena ketakwaan mereka kepada Allah. Dari diferensiasi gradasi ketakwaan ini, lahir pula diferensiasi gradasi dalam hal amal saleh bagi kemaslahatan umat.
Karena faktor diferensiasi gradasi kemuliaan manusia hanya satu – yakni ketakwaan kepada Allah - maka pahala atau balasan manusia atas segala amal perbuatan mereka juga sama baik secara kuantitas dan kualitas. Tidak ada alasan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh diferensiasi gradasi dalam hal balasan. Ini telah dijelaskan oleh Allah :

Lalu, Allah mengabulkan doa mereka. Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal seseorang di antara kamu baik laki-laki maupun perempuan….!” (Ali ‘Imran: 195)

Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga. Mereka tidak akan dizalimi sedikitpun. (An-Nisa’: 124)

Barangsiapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia dalam keadaan beriman, maka Kami pasti akan memberikan kehidupan dengan balasan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)

Dalam aplikasinya, syariat Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam satu kedudukan. Dari beberapa ayat dan uraian di atas dapat ditarik beberapa konklusi sebagai berikut:

Hukum Islam menyentuh setiap individu agar menyadari kewajiban dan menunaikannya dengan penuh keikhlasan. Hukum Islam juga menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang harus mereka terima. Hak-hak ini dijamin dan dilindungi dengan sempurna.
Setelah menyentuh individu, lalu menyentuh keluarga. Islam menegaskan bahwa keluarga memiliki kedudukan suci yang harus dijaga dan dipelihara, dengan cara memperkuat rasa tanggung jawab setiap anggotanya, dan mengisinya dengan saling mencintai dan saling menghormati.
Setelah menyeru keluarga, barulah masyarakat. Islam menegaskan bahwa sebuah masyarakat hanya akan terbentuk dari gugusan keluarga. Untuk menjaga eksistensi sebuah masyarakat, Islam memberikan sejumlah pranatanya, seperti peraturan, hukum, undang-undang, politik, majelis syuro atau musyawarah dan hubungan antara pemimpin dan rakyat.

Hukum-hukum tersebut melindungi setiap individu, keluarga dan masyarakat. Di balik perlindungan hukum terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, terkandung hak-hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam syariat Islam dan hukumnya, sebagaimana terkandung juga kesatuan hak yang diturunkan untuk menjaga kesatuan keluarga dan komunitas manusia.
Di antara fenomena keserasian yang paling jelas antara berbagai tabiat yang diciptakan Allah dengan perintah yang diturunkan adalah kesesuaian antara fitrah laki-laki dan perempuan dengan substansi perintah-perintah-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak terbebani oleh perintah tersebut. Keesaan Khaliq terlukis jelas pada makhluk-Nya dan wadah tatanan skala kosmik. Ini terefleksikan dalam sumber dan asal muasal tabiat manusia dan hajatnya yang sesuai dengan kutubnya yang tercermin pada kompilasi syariat dan undang-undang yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya.
Konsekuensi dari sistem Ilahi ini adalah bahwa masing-masing dari laki-laki dan perempuan menjadi sekutu satu dengan lainnya dalam keseluruhan Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi apa pun. Di antara hak-hak tersebut adalah:

Hak hidup,
Hak Kemerdekaan,
Hak kepemilikan,
Hak dalam lapangan ekonomi,
Hak berpolitik, dan
Hak-hak sosial

Demikian juga, sistem Ilahi ini mengandung konsekuensi bahwa laki-laki dan perempuan saling berserikat dalam hal kewajiban yang dibebankan oleh kehidupan kemanusiaan sesuai dengan yang digambarkan syariat Islam, mulai dari individu, keluarga, lalu masyarakat. Bentuk persekutuan ini, laki-laki dan perempuan saling berbagi tugas dan pekerjaan yang seimbang dalam resiko dan kepentingannya, dalam rangka menegakkan kehidupan dan memeliharanya.
Selanjutnya, Al-Qur’an memberikan penjelasan bahwa di dalam soal prinsipil ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi Al-Qur’an juga sejalan dengan fakta kehidupan, maka di luar hal-hal yang ditegaskan tadi diakui ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar perbedaan itu menyangkut dua hal, yaitu perbedaan biologis dan perbedaan fungsional dalam kehidupan sosial seperti sudah disinggung di awal. Perbedaan biologis ini tidak dapat dipungkiri, karena bersifat alamiah (kodrati), seperti halnya dalam dunia makhluk lain ada jantan dan betina. Pertama, dari bentuk tubuhnya yang tidak sama. Lebih jauh ilmu pengetahuan melihat perbedaan-perbedaan di dalam otak laki-laki dan perempuan, sampai sel-sel darah, susunan saraf, secara biologis tidak sama. Adanya perbedaan-perbedaan itu membentuk watak yang berbeda. Sehingga menimbulkan watak keperempuanan dan watak kelaki-lakian.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, Islam mempertegas prinsip-prinsip dasar mengenai kemanusiaan dan hak-hak asasi perempuan serta kesempatan yang sama untuk mengabdi. Karena itu walaupun ada perbedaan biologis yang alamiah tidak menjadi hambatan untuk mendapatkan hak yang sama. Kedua perbedaan fungsional, akibat dari perbedaan biologis tadi, maka timbul perbedaan fungsional. Misalnya dalam kehidupan manusia yang disebutkan pasangan (suami-istri) di dalam kedudukan masing-masing pihak terdapat perbedaan fungsional.
Dalam kaitannya dengan reproduksi, fungsi laki-laki dengan perempuan berbeda, tidak mungkin sama. Laki-laki adalah pemberi bibit dan perempuan yang menampung dan mengembangkan bibit itu di dalam rahimnya, sehingga mengandung dan bersalin. Hal itu merupakan fungsi alamiah yang merupakan ciri khas keperempuanan, yang tidak mungkin diganti laki-laki. Tapi, tidak mungkin perempuan melakukan fungsi kalau tidak ada laki-laki yang membuahi. Ini dapat dianalogikan pada hal-hal lain.
Perbedaan fungsi tadi tidak harus menimbulkan perbedaan mengenai hakikat kemanusiaan, hak asasi dan kesempatan untuk melakukan pengabdian. Dengan perbedaan-perbedaan fungsional tadi maka muncul beberapa kewajiban yang berbeda. Misalnya ketika perempuan mengandung dan bersalin maka wajib menyusui anaknya, maka imbangannya laki-laki wajib menafkahi. Dengan demikian, perbedaan bukan untuk mendiskriminasikan, melainkan untuk saling melengkapi.
Quraish Shihab dalam bukunya “Perempuan” mengutip pendapat dua orang pakar, asal Amerika Margeret Seed dan Perancis Alexis Carrel. Margeret Seed menyatakan bahwa “Dunia akan lebih baik kalau kedua jenis manusia – laki-laki dan perempuan – mengakui bahwa masing-masing memiliki kemampuan yang berlebih dibanding dengan yang lain dalam bidang yang berbeda-beda.”
Sedangkan Alexis Carrel, pakar Perancis peraih Nobel bidang kedokteran dan sains, menulis dalam bukunya Man The Unknown bahwa, ”Orang-orang yang menyerukan persamaan antara laki-laki dan perempuan serta mengajak untuk mengajukan pendidikan dan pengajaran serta pekerjaan kedua jenis itu, sama sekali tidak mengetahui perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan-perbedaan yang tanpa diragukan, sangat esensial dan mendasar. Perempuan sebenarnya sangat berbeda dengan laki-laki, perbedaan yang sungguh sempurna. Setiap sel pada diri perempuan memiliki ciri khasnya, yakni ciri khas keperempuanan, dan selama perempuan memiliki keistimewaan dalam hal perasaan halus, serta selama laki-laki memiliki kemampuan penguasaan terhadap perasaan dan kemampuan memikul tanggung jawab-tanggung jawab besar, maka selama itu pula harus dibebankan kepadanya kekuasaan dan pengaturan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukannya lahir dari perbedaan alat kelamin, adanya rahim serta kandungan, atau akibat perbedaan cara pendidikan, tetapi perbedaan-perbedaan itu lahir dari sebab yang sangat dalam, yakni keterpengaruhan anggota badan seluruhnya dengan unsur-unsur kimiawi serta apa yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar. Ketidak tahuan menyangkut kenyataan-kenyataan dasar di atas itulah yang menjadikan kaum feminis mendukung pendapat yang menyatakan bahwa kedua jenis itu bisa menerima pendidikan yang sama dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama pula. Sesungguhnya hukum-hukum yang mengatur fisik manusia, sama dengan hukum-hukum alam angkasa. Ia tidak dapat dilanggar, dan mustahil dapat diganti oleh keinginan manusia, Karena itu kita harus menerima sebagaimana adanya.”
Quraish Shihab melanjutkan pendapat Alexis Carrel bahwa problem terbesar yang dialami oleh peradaban Barat adalah mereka menetapkan hukum serta melakukan perencanaan bagi makhluk (manusia) yang mereka tidak kenal sifat dan ciri-cirinya, apalagi rahasia dan tujuan hidupnya, dan karena mereka tidak mengetahuinya – sebagaimana apa adanya – maka kelirulah mereka dalam segala hal.”
Menurut Santi Soekanto, mengutip pendapat Professor T.J. Winters (Abdul Hakim Murad) dari Universitas Cambridge, mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah “feminisme kesejajaran” yang berjuang menghancurkan ketimpangan jender yang menurut mereka semata-mata social contructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah “feminisme perbedaan” yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan dalam pembentukan perilaku laki-laki dan perempuan.



Asy-Syubuhat
Adapun beberapa lontaran tuduhan dari pihak-pihak yang berupaya mendekonstruksi-meminjam istilah Derrida- teks-teks keagamaan dengan tujuan terjadinya kesetaraan jender seperti yang mereka pahami di antaranya terangkum dalam beberapa poin di bawah ini :
Pertama, Adanya penafsiran-penafsiran yang didominasi ideology patriarkhi, karena kebanyakan mufassir adalah kaum lak-laki, sehingga kurang mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Hal itu terjadi, menurut mereka, karena sekalipun secara normatif Ilahiyah kebenaran al-Quran adalah mutlak, namun dalam tataran histories-interpretatif, kebenaran itu menjadi relatif. Dengan demikian mereka mengajukan paradigma baru penafsiran yang menurutnya lebih mencerminkan nuansa kesetaraan dan tidak bias jender.
Kedua, Kurangnya perempuan yang menjadi ahli tentang kitab Suci. Kekurangan ini menurut mereka, mendorong terjadinya dominasi lak-laki dan pada waktu yang sama menyingkirkan perempuan untuk sekedar menempati posisi sebagai pengelola keluarga di rumah.
Ketiga, Adanya kontrol terhadap materi sejarah. Menurut mereka, campur tangan penguasa harus dipertimbangkan untuk dapat memahami kenapa citra perempuan menjadi rendah. Bagi mereka sejarah Islam banyak dimanipulasi oleh para penguasa bukan saja terhadap naskah suci, tetapi juga terhadap Rasul. Termasuk manipulasi terhadap peran dan posisi penting kaum perempuan pada zamannya, karena para penguasa didominasi kaum laki-laki.
Keempat, Adanya hadits-hadits misogini (melecehkan perempuan) di antaranya :

Hadits yang disebutkan dalam Sahih Bukhari dari Abu Bakrah: “Siapa yang menyerahkan urusannya kepada kaum perempuan, mereka tidak akan mendapatkan kemakmuran.”
Hadits riwayat Abu Hurairah: “Anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan shalat jika melintas di antara orang yang shalat dan qiblat.”
Hadits riwayat Abu Hurairah : “Ada tiga hal yang membawa bencana, yakni rumah, perempuan, dan kuda.”
Hadits Riwayat Abdullah bin Umar: “Sepeninggalku kelak, tidak ada penyebab kesulitan yang lebih fatal bagi laki-laki kecuali perempuan.” Juga hadits, “Aku melihat ke surga dan aku saksikan sebagian besar penghuninya adalah kaum miskin, kemudian aku lihat ke neraka, aku saksikan sebagian besar penghuninya adalah kaum perempuan.”
Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry bahwa Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok perempuan: “Aku tidak melihat orang yang paling kurang akal dan agamanya namun lebih mudah meluluhkan hati seorang laki-laki yang bijak, selain salah satu dari kalian.”
Hadits riwayat Ahmad dan Nasa’i dari Anas bin Malik: “Kalau aku berhak memerintah manusia untuk bersujud kepada sesamanya, niscaya aku perintahkan agar seorang istri bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami yang harus ditunaikan istri.”
Hadits-hadits tersebut, menurut mereka, perlu diteliti ulang, tidak saja kebenaran dan kelengkapannya, tetapi juga identitas sahabat yang meriwayatkan, situasi yang melingkupi, tujuan periwayatan maupun rantai para perawinya.
Kesalahan utama fiqih Islam dan tafsir Al-Qur’an konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya, hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi masa kini.
Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum Perempuan mempunyai sifat yang sama dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur. Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah dimulai sejak zaman Nabi saw. Dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudud, “program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut.


Khatimah


“Saya menyadari bahaya seruanku dan
saya bersyukur kepada Allah yang menggagalkannya”

Itulah pengakuan Qasim Amin, orang pertama di Mesir yang menganjurkan kebebasan wanita (tahrirul mar’ah), yaitu kebebasannya dari penghambaannya kepada Allah, menjadi penghambaannya kepada setan dan nafsu yang mendorong berbuat kemaksiatan.
Tujuh tahun setelah mengumumkan seruannya dan menyiarkannya kepada masyarakat, ia pun mencabut pendapatnya dan meninggalkan seruannya. Ia mengakui:

“Saya telah menyerukan kepada orang-orang Mesir sebelum ini untuk mengikuti jejak orang-orang Turki, bahkan bangsa Eropa dalam membebaskan kaum wanitanya.
Saya meningkatkan makna ini, hingga saya anjurkan mereka untuk merobek-robek hijab dan mengikutsertakan kaum wanita dalam semua bidang pekerjaan, jamuan makan dan walimah.
Akan tetapi, sekarang saya menyadari bahaya seruan ini setelah mengetahui akhlak masyarakat. Saya telah menelusuri langkah-langkah kaum wanita di banyak perkampungan di Ibukota dan Iskandariah, untuk mengetahui sejauh mana penghormatan orang-orang kepada mereka dan sikap mereka terhadap para wanita bila mereka keluar tanpa memakai hijab.
Saya melihat kerusakan akhlak laki-laki dengan penuh penyesalan, sehingga saya bersyukur kepada Allah yang telah menggagalkan seruanku dan menggerakkan orang-orang yang menentangnya.”



Wallahu Musta’an

Maraji’

Al-Maududi, Abul A’la, Al-Hijab, terj, Bandung: Gema Risalah Press, cet. 8, 1995, Gema Risalah
Umar, Nasaruddin, Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Jakarta: Paramadina, cet. 2, 2001, kata Pengantar Quraish Shihab
Al-Buthi, M. Sa’id Ramadhan, Perempuan antara kezaliman sistem barat dan keadilan Islam, terj, Solo, Era Intermedia, cet 1 2002.
Putu, Lily dkk, Modul Pendidikan Adil Gender untuk perempuan Marginal, Jakarta, Sentralisme Production, cet. 1 2006
Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Yogyakarta, Labda Press, cet. I 2006,
Yafie, Ali, “Kodrat, kedudukan, dan Kepemimpinan Perempuan”, dalam Memposisikan Kodrat, Mizan, Cet 1 1999
Shihab, M. Quraish, Perempuan, Jakarta, Lentera Hati, Cet 11 2005
Soekanto, Santi, Gerakan Feminisme kembali ke “Sunnatullah”? Artikel menyambut Hari Kartini 21 April 2006, wartawan senior yang 13 tahun silam meliput konferensi wanita Dunia di Beijing.
Mustaqim, Abdul, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta, Sabda Persada, cet 1 2003
Mernissi, Fatima, Menggugat ketidakadilan gender, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela, cet 1 2003
15. Abied Sah, M. Aunul edt, Islam Garda Depan, dalam tafsir ayat-ayat gender: Tinjauan terhadap pemikiran Muhammad Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer,” Bandung, Mizan cet 1 2001
16. Abdul Aziz, Muh. Bin Al-Musnid, Barat digugat, terj, Surabaya, Risalah Gusti, cet 1 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar