12.27.2008

Orang miskin dilarang sekolah?

by: Wildan Hasan

Seorang anak SMA berlari meninggalkan barisan pramuka di lapangan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Ahad siang kemarin, saat pembukaan Jambore Nasional 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Siswa SMA kelas II IPS Sandy Putra, Bandung tersebut, berlari menuju podium dimana presiden berada. Dimas Gumilar Taufik, sesampainya di podium langsung menyerahkan sebuah map putih kepada presiden tanpa berkata-kata. Hanya matanya nampak memerah dan berkaca-kaca menyiratkan sesuatu yang tidak sulit untuk dibaca. Malu, tapi harus dilakukan.



Aksi mengejutkan ini ternyata luput dari pengawasan pasukan pengamanan presiden (paspampres), yang langsung mengamankannya seusai kejadian. Ada apa gerangan? Kenapa Dimas begitu nekat menghampiri presiden? Apa yang diinginkannya? Ternyata aksi yang dilakukan Dimas “hanyalah” untuk meminta bantuan biaya sekolah kepada presiden. Memakai kata ‘Hanyalah” dalam tanda kutip disini, karena bagi sebagian orang, soal biaya sekolah tidak perlu melakukan aksi gila seperti itu atau langsung mencemooh apa yang dilakukan Dimas, sebagai cari sensasi dan memalukan. Ciss....

Namun Dimas mengatakan, dirinya sangat ingin sekolah dan menuntut banyak ilmu. Apa mau dikata kedua orangtuanya menganggur tanpa pekerjaan. Dirinya bingung hendak meminta bantuan pada siapa. Sedangkan semua saudaranya juga sama-sama susah dan miskin. Boro-boro untuk nyekolahin anak, buat makan sekali sehari saja susahnya minta ampun.

Aksi yang dilakukan siswa cerdas dan aktif ini, memang sengaja dilakukannya dan sudah ia persiapkan sebelumnya. Terbetik pikiran menyampaikan masalahnya langsung kepada presiden. Kenapa tidak? Toh bukan aksi kejahatan, bukan pula salah kirim. Ia berikan langsung kepada Presiden, karena di tangannyalah nasib pendidikan jutaan anak bangsa, termasuk dirinya bergantung. Tidak sesuai prosedur? Memang, tapi Dimas sadar jika sesuai prosedur, suratnya tidak akan sampai ke tangan presiden. Surat apa sih di negeri ini, kalau tanpa ada uang pelicin akan berhasil dengan sukes.

Presiden kaget memang, menerima surat tersebut. Namun dengan bijak ia menerimanya dan ia simpan untuk ditindak lanjuti. Namun sampai kapan akan disimpan kita tidak tahu, jikapun ternyata ditindak lanjuti dan Dimas dibantu biaya sekolahnya. Haruskah berjuta-juta pelajar di negeri ini pun melompat menghadap presiden dan menyampaikan permohonan bantuan biaya pendidikan? Seperti yang dilakukan Dimas?. Karena, selama ini mereka menangis , berteriak, berpeluh basah dan berdarah-darah, tidak jua diperhatikan oleh anak buah mister presiden tersebut. Atau haruskah mereka meneladani aksi teman-temannya, menggantung diri, menyisit urat nadi, meminum jus obat nyamuk, memenggal kepala orangtua. Dan bisa jadi tidak sesadis itu, cukup dengan pergi ke jalanan, kumpul-kumpul dengan para preman, kemudian berbangga menjadi sampah masyarakat.

Ironis memang, nasib bangsa ini. Di saat melimpahnya kekayaan dan hidup mewah dinikmati segelintir orang di negeri ini. Di saat pejabat yang telah salah kita pilih menumpuk-numpuk uang haram, sebagai ganti pengeluarannya saat pemilihan. Di saat pemerintah pusat disiplin menggelar gaji ketiga belas.

Di saat orang kaya bingung membelanjakan uangnya. Di saat yang sama pula, ada seorang ibu yang mengutil demi sekolah anaknya, ada seorang bapak mencuri sepeda demi SPP anaknya yang nunggak lima bulan. Ada seorang ibu yang menghabisi anak-anaknya karena tidak kuat membiayai sekolah mereka. Ada jutaan anak yang terpaksa terjun ke jalanan, mengemis dan menghiba recehan untuk sekedar bisa makan. Dan ada seorang siswa yang berlari menghiba kepada presiden agar dibantu biaya sekolahnya.

Masih banyak ironi yang seringkali dipertontonkan oleh negeri ini. Ada tim pelajar Indonesia untuk olimpiade matematika internasional, gagal total mengikuti ajang tersebut gara-gara pemerintah malas mengurusi visa mereka, yang hanya bisa diurus dengan dua atau tiga hari saja. Padahal mereka telah bersusah payah mengikuti seleksi, dilatih berbulan-bulan dan siap mengharumkan nama bangsa. Tapi pemerintah senantiasa rajin dan sangat bersemangat mendukung keberangkatan duta kehancuran moral bangsa, puteri Indonesia untuk beradu keberanian mengumbar syahwat dan aurat di ajang Miss Universe.

Anggaran pendidikan bertambah? Tidak kemudian menjadikan pelajar optimis akan tenang belajar tanpa dikejar-kejar guru BP menagih uang SPP. Hingga saat ini kita terus berharap sampai kapan mimpi buruk ini akan berakhir. Sampai puisi kehilangan kata-kata indah, sampai kata-kata kehilangan maknanya dan sampai makna malu mewarnai pendidikan negeri ini. Kosong, hampa tanpa jiwa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar