5.09.2009

Dinasti Mamalik

Oleh: Dikdik M. Tasdik, Ceceng Rucita & Bunyanul Arifin

Sekiranya Mesir diserang oleh tentara Tatar Mongol (Hulagu Khan ataupun Timur lenk) pada waktu yang bersamaan dengan penyerangan mereka terhadap Bagdad, maka pengetahuan kita tentang peradaban masa klasik akan buntu. Namun atas kuasa Allah Swt dan kekuatan militer yang dimiliki dinasti Mamalik, maka kehancuran Bagdad berikut segala fasilitas ilmiahnya sedikit dapat terselamatkan dengan konstelasi politik yang ada di Mesir dibawah kekuasan Mamalik. Bahkan, mereka dapat mengalahkan tentara Mongol yang berkonspirasi dengan tentara Salib dalam suatu pertempuran di ”Ayn Jalut” dekat kota Nazaret dibawah panglima perangnya Qutuz. Peristiwa tersebut benar-benar mengembalikan kepercayaan diri Umat Islam untuk bangkit dari keterpurukannya(pasca jatuhnya Bagdad) untuk dapat membangun peradaban Islam secara simultan.

A. Sejarah Kemunculan

Beberapa penulis sejarah menyebut dinasti ini dengan ”Mamalik” atau ”Mameluk”. Kedua nama tersebut secara etimologis saling berkaitan, yaitu kata ”Mamalik” adalah bentuk jamak (plural) dari ”Mameluk” yang artinya seorang budak atau hamba yang dimiliki tuannya .

Jika demikian Dinasti Mamalik berarti dinasti para budak dan memang dinasti ini didirikan oleh para budak yang secara historis bermula dari para budak yang direkrut pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 H) dimanfaatkan untuk kegiatan pemerintahan terutama yang bersifat militeristik (pengamanan negara). Hal ini dilakukan karena para budak ini dikenal sebagai kelompok yang gagah dan kuat secara fisik .

Disamping Abbasiyah, dinasti lain juga sering menggunakan tenaga para budak ini untuk kepentingan yang sama, seperti pada masa Dinasti Tulun (254 H/868M-292/905), Dinasti Ikhsyid (323 H/ 935 M-358 H/969M), Dinasti Fatimiyah (901- 1171) dan terakhir pada Dinasti Ayyubiyah (1174-1252) . Dinasti-dinasti tersebut sangat percaya kepada para budak itu untuk menjadi pengaman kekuasaan karena mereka tidak mempunyai hubungan khusus dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Biasanya tentara-tentara Islam yang tidak berlatarbelakang budak selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Dan seandainya terdapat penentangan dari mereka, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari golongan bangsawan. Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer .

Sultan al-Malik al-Salih (1240 M-1249 M) menempatkan para budak tersebut pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa kekuasaannya, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material . Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia, yaitu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Baghdad, Istanbul dan Mesir. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mameluk Bahri (bahr artinya laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Syirkasiah yang didatangkan oleh Sultan Qalawun (1279-1290) ketika dirasa para Mamluk Bahri akan dapat mengancam kekuasaannya dan kemudian mereka ditempatkan di menara-menara benteng dan akhirnya dijuluki dengan Mamluk Burji (buruj artinya menara) .

Pada masa al-Malik al-Salih berkuasa, para budak itu secara bergelombang didatangkan untuk dapat mempertahankan kekuasaannya dari segala rongrongan yang dapat mengganggu tampuk kekuasaannya. Oleh karena itu mereka secara simultan dapat membangun solidaritas yang tinggi bagi kelangsungan kekuasaan mereka kelak jika terjadi pergantian kepemimpinan sultan (suksesi), terlebih mereka seringkali ditakutkan dengan kehadiran suku kurdi yang dipercaya sebagai tentara pengaman Sultan al-Malik al-Kamil .

Ketika al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), anaknya, Ghiyats al-Din Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Kondisi ini mendorong para mamluk untuk melakukan kudeta dan akhirnya pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Izzudin Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri al-Malik al-Salih, Syajarah al-Durr bin Abdullah (Ummu Khalil) , seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu. Kepemimpinan Syajarah al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Izzudin Aybak (649 H) dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan .

Setelah lima hari berkuasa dan dinobatkan sebagai raja baru menggantikan Turansah, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Mudzofar al-Din Musa yang masih berumur 10 tahun-an sebagai ”Sultan Syar’i” (formal) disamping dirinya yang bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik .

Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, ”al-Malik al-Manshur” Nurudin Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, ”al-Malik al-Mudzaffar” Saifudin Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Ruknuddin Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik .

Pada perjalanan pulang dari Damaskus menuju ke Mesir, di daerah antara Ghazaliyah dan Shalihiyah, pada akhir bulan Dzul Qa’dah, beberapa pemimpin daerah tersebut berkonspirasi dengan Baybar untuk membunuh Qutuz. Dan mereka pun berhasil membunuhnya. Kemudian Baybars al-Bandaqdari, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260- 1277 M) yang diberi gelar “al-malik al-Dzahir” . Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.

Sejarah dinasti Mamalik ini berakhir pada tahun 1517 M dikalahkan oleh Kerajaan Turki Usmani. Dinasti ini secara keseluruhan dibagi menjadi dua periode; Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M dan hamper setengah abad berkuasa di Mesir dan melahirkan 24 Sultan. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M dan berhasil melahirkan 23 sultan .

B. Masa Kejayaan Dinasti Mamalik
Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa ‘klasik’ relatif terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa ‘klasik’ bertahan di Mesir.

Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.
Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.

Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.

Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo, sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antar kota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.

Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nasir al-Din al- Tusi. Di bidang matematika Abu al-Faraj al-'Ibry. Dalam bidang kedokteran: Abu al-Hasan ' Ali al-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-Mun'im al-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan al-Razi, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Salahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam, al-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibn Hajar al- 'Asqalani dalam ilmu hadits, al-Thufi, Izzuddin bin Abdi Salam, dan lain-lain.

Dinasti Mamalik juga banyak mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.

Peninggalan yang paling mengesankan pada periode ini adalah bangunan-bangunan arsitektural dan artistik. Bahkan disematkan oleh para sejarawan, di era ini pulalah arsitektur Muslim mencapai ekspresi yang paling kaya ornament. Terbukti pada sejumlah masjid, madrasah, museum yang didirikan oleh Qollawun, al-Nashir, dan al-Hasan. Awalnya, ciri khas yang mendominasi adalah model-model arsitektur periode Nurriyah dan Ayyubiyah. Kemudian mendapat pengaruh baru dari orang Suriah-Mesopotamia pada abad 13, tepatnya ketika Mesir menjadi tempat berlindung para pengrajin dan ahli seni dari Mosul, Baghdad dan Damaskus pasca invasi Mongol.

Masjid al-Hasan (1348-1351 M), yang berada persis dibelakang benteng Sholahuddin dan Masjid Muhammad Ali Pasha, berdiri kokoh. Tepatnya berada dikawasan Sayyidah Aisyah, kemudian sedikit berjalan kearah utara kurang lebih 300 meter. Lokasinya berjejeran dengan Masjid Rifa'i yang dibangun sekitar enam abad kemudian, tepatnya 1869 M. Didalam Masjid Rifa'i terdapat makam Raja Faruq, raja terakhir Mesir yang direvolusi 1952, dan juga makam syah Iran yang digulingkan 1979. Oleh karena memiliki kemegahan yang hampir serupa, masyarakat sering menyebutnya dengan 'Masjid Kembar'. Di dalam masjid Sultan Hasan, terdapat empat madrasah yang dahulunya digunakan untuk pengajaran empat madzhab fiqh. Termasuk didalamnya huruf-huruf bergaya Kufi turut mewarnai indahnya dinding-dinding masjid.

Batu-batu beragam yang berasal dari Romawi dan Byzantium juga menjadi ciri istimewa arsitektur periode ini. Hal lain yang mengagumkan adalah pengembangan stalaktif-pendentif (bahasa Arab: muqornas) dan rancangan kubah yang mampu menahan cahaya, termasuk juga untuk penerangan, semakin terlihat megah dengan segala dekorasinya. Dan hal tersebut cukup tercermin dari bangunan Masjid Mu'ayyad, yang terletak di jalan Ahmad Mahir berdampingan dengan Bab Zuwayla, dan dikenal dengan Masjid Merah (Red Mosque). Masjid ini dibangun oleh Sultan Muayyad 1415-1420. Pada pintu masuknya terdapat hiasan warna merah ditambah permata, diatasnya terdapat hiasan pahatan dan lengkungan skalaktit. Dan di bagian dalam masjid terdapat makam Sultan Muayyad dan putranya, yang ditutupi batu marmer warna-warni berbentuk pola geometri . Sejatinya, kebiasaan untuk menghubungkan bangunan makam sang pendiri masjid, bermula pada tahun 1085 M oleh Badr al-Jamali. Bangunan makam yang menyatu dengan masjid di bukit Muqattam hasil rancangan Badr itulah yang kemudian menjadi semakin menjamur.

Di jalan Bab al-Futuh dan Bab Nasr, maka akan nampak Masjid Barquq sebagai salah satu peninggalan Mamalik. Konon, disinilah dahulunya Ibnu Khaldun melakukan proses belajar mengajar semasa hidupnya di Mesir. Masjid Barquq didirikan 1386 M, sekaligus dengan madrasahnya. Ibnu Khaldun banyak berkisah tentang Qollawun, bahwa dia dianggap sebagai Sultan yang banyak melakukan renovasi dalam skala besar. Ia telah membangun rumah sakit yang tersambung dengan masjid dan sekolah yang terletak dijalanan sempit nan eksotik, tepatnya berdekatan dengan Masjid Barquq. Disitu pulalah Qollawun membangun sebuah komplek kuburan bangsawan yang besar dan indah dengan mozaik dan jejak-jejak arabesque yang cantik. Dan yang paling terkenal dari peninggalannya adalah, rumah sakit muslim pertama yang masih ada hingga saat ini. Ia terinspirasi membangun mustasyfa ini ketika Qollawun berbaring sakit di Rumah Sakit Nuri di Damaskus, sehingga ia bertekad untuk segera membangunnya di Kairo. Dalam catatan Maqrizi, Rumah Sakit ini meliputi beberapa ruang khusus pasien dengan penyakit yang berbeda-beda, misalnya, radang mata, disentri, demam dan sebagainya. Dan dilengkapi laboratorium, apotik, kamar operasi, dapur dan ruang penyimpanan. Hampir setiap tahunnya mendapatkan subsidi dari pemerintah sebesar satu juta dirham. Sultan sendiri diyakini memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, sehingga jubahnya yang berada di museum tersebut disentuh dan dipegang-pegang oleh beberapa masyarakat yang meyakini kuasa penyembuhannya.

Beralih pada peninggalan periode Mamluk Burj, seperti misalnya masjid Qayt-bay, Sabil Kutab al-Ghawri dan Masjid Barsbay. Dibawah kekuasaan Mamluk Burj, seni tatah semakin banyak diminati, sebagaimana terlihat jelas pada pintu dan mimbar masjid Qayt-bay. Bahwa kerajinan mosaik serta ukiran gading dan pelapisan gaya koptik yang banyak menghiasi masjid ini sejatinya sudah banyak dikenali sejak masa pra Islam. Masjid Qayt-bay terletak di pedalaman kawasan Duwaiqoh atau biasa disebut dengan kawasan pekuburan Duwea. Lebih dekat ketika kita melakukan perjalanan melewati ruas utama Sholah Salim, tepatnya berada di depan gedung Masyikhah al-Azhar, bilangan Darrasah. Masjid ini dihiasi oleh dua warna yang sesuai merah dan putih, kubahnya juga lain dari pada yang lain berhiaskan motif dedaunan dan bunga. Namun, yang paling terkenal peninggalannya adalah, benteng pertahanan yang didirikan di kawasan Alexandria. Sebelum berdirinya benteng tersebut, telah kokoh berdiri disitu sebuah mercusuar yang termasuk keajaiban dunia, dibangun pada tahun 280 M, dan mengalami kehancuran total ketika gempa dasyat melanda kawasan tersebut.

Masjid Baybars juga terletak dikawasan Duwea. Mungkin banyak yang menganggap bahwa kawasan ini hanya terdiri dari pekuburan masyarakat semata. Namun, jika kita telisik lebih lanjut ternyata banyak peninggalan-peninggalan dinasti terdahulu yang berdiri kokoh disana. Masjid ini nampak lain dari masjid Qayt-bay. Arsitekturnya terpengaruh model-model masjid Ibnu Thulun, Hakim Bi Amrillah dan al-Azhar, yaitu bagian tengah yang dibiarkan langsung menengadah ke awan dan tanpa diberi atap. Khas seperti ini juga tercerminkan dalam bangunan-bangunan masjid di Mekah dan Madinah. Tidak hanya masjid saja, namun Baybars membangun madrasah dan beberapa bagian pemakaman yang bersambungan sekaligus dengan masjid. Warna merah putih juga menjadi ciri khas masjid ini.

Di bidang Ilmu kemiliteran, Dinasti Mamalik memproduksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol. Pada lingkungan militer Dinasti ini menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah.

Di bidang informasi, layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamalik menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.

Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal.

Sejak saat itu, Dinasti Mamalik mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamalik. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh. Dinasti Mamalik memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.

Pada masa kekuasaan Dinasti Mamalik, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parcel. Al-kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamalik itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan.

Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan.

C. Fase Keruntuhan Dinasti Mamalik
Jika kita menggunakan tesis Ibn Khaldun dalam menyimpulkan proses jatuh bangunnya sebuah bangsa atau dinasti, maka kita akan melihat proses kejatuhan atau keruntuhan Dinasti Mamalik sebagai sebuah siklus sejarah yang selalu terulang. Dalam pengamatan Ibn Khaldun (1332-1406), Filosof Sejarah yang karyanya “Muqaddimah” disebut Toynbee sebagai “the greatest work”, runtuhnya suatu imperium, kerajaan ataupun dinasti biasanya diawali dengan sikap kezaliman penguasa dan pemerintahnya yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya, serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian, dan ketidakpedulian rakyat terhadap hokum dan aturan yang berlaku.

Apa yang terjadi pada Dinasti Mamalik, persis seperti kesimpulan yang dikatakan Ibn Khaldun dalam ‘masterpiecenya’ Muqaddimah, yaitu bahwa ketika Negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi malas, tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Dan itulah pertanda kejatuhan mereka sudah dekat. Dalam bagian ketiga dari Muqaddimah Ibn Khaldun menulis :

“Apabila pada suatu waktu mereka mendirikan Negara, mereka tidak lagi berjuang dengan gigih, sebagaimana yang tadinya telah mereka lakukan. Mereka malahan memilih hidup menganggur, bersenang-senang, dan bermalas-malasan. Kini mereka mencoba menikmati buah kekuasaan ; seperti rumah bagus dan pakaian yang indah. Mereka mendirikan Istana, menyalurkan air ke istana, membikin taman. Mereka mulai tertarik pada kebagusan yang luar biasa pada pakaian, makanan, perkakas rumah dan alat rumah tangga, dan secara umum dapat dikatakan, mereka memiliki hidup enak dibanding kerja keras. Demikianlah dengan cepat mereka menjadi terbiasa dengan cara hidup yang mewah. Cara hidup mewah itu lalu mereka wariskan kepada keturunan mereka. Demikianlah, makin hari makin menjadi, dan sampai pada saatnya Allah mengakhiri kemewahan itu. Sekali usaha usaha pemusatan kekuasaan dalam tangan seorang telah tercapai, dan kemewahan serta sifat malas telah merata, maka berarti Negara telah mendekati kehancurannya”.

Paparan Ibn Khaldun diatas akan mengantarkan kita pada pemahaman yang jelas mengapa dinasti Mamalik yang bahkan telah mencoba menerapkan system Oligarki dalam pemerintahannya sekalipun pada akhirnya mengalami fase keruntuhan.

A. Keruntuhan Mamalik Bahriyah
Kesultanan Mamalik mulai menunjukan kelemahan sejak pemerintahan beralih dari Mamalik Bahriyah ke tangan Mamalik Burjiyah pada tahun 1382 M. Akan tetapi, bibit-bibit keruntuhan itu telah Nampak sejak Sultan terkuat terakhir dari Mamalik Bahriyah, yaitu al-Nashir yang pernah berkuasa tiga kali dengan rentang waktu yang cukup panjang, 1293-1294, 1298-1308, dan 1309-1340. Ia menduduki singgasana sejak berusia Sembilan tahun. Meski banyak membawa kemajuan, tetapi sikap hidupnya yang mewah, boros dan berlebihan pada gilirannya ditiru oleh para sultan dari Mamalik Burjiyah yang memerintah sesudahnya. Pada pesta perkawinan anaknya, ia menyajikan 18.000 irisan roti, menyembelih 20.000 ekor ternak, dan menyalakan tak kurang dari 3000 batang lilin yang menerangi istana.

Gaya hidup yang tinggi pada masa al-Nashir yang panjang, pada gilirannya dibebankan kepada rakyat yang harus membayar pajak yang lebih tinggi dan menjadi salah satu sebab runtuhnya dinasti ini. Meskipun sultan berusaha mengambil tindakan untuk meringankah kesengsaraan yang sudah tersebar itu dengan meningkatkan kerjasama perdagangan dengan Eropa, tetapi efenya hanya berlangsung sebentar saja. Setelah al-Nashir wafat, perang sipil dan wabah kelaparan menambah kesengsaraan penduduk. Dan wabah “kematian hitam” yang pernah menyerang Eropa sekitar 1348-1349, menelikung Negeri Mesir hamper selama tujuh tahun, dan memakan korban yang amat banyak. Jumlah kematian secara keseluruhan menurut Ibn Iyas mencapai angka 900.000 orang.

Kedua belas keturunan al-Nashir yang meneruskan kekuasaannya dalam masa ynag cukup singkat, yaitu 42 tahun (1340-1382) merupakan sosok-sosok yang lemah. Para amir merekalah yang sebenarnya memerintah. Mereka memecat atau membunuh sultan sekehendak hati. Tak ada satu pun dari sultan-sultan ini yang memiliki keistimewaan dan memberikan sumbangan bagi kemajuan Negara. Satu-satunya monument yang berharga hanyalah masjid sultan al-hasan, anak al-Nashir, yang selesai dibangun pada 1362, dan diakui sebagai Masjid terindah yang dibangun dalam rancangan berbentuk silang.

Penguasa terakhir dinasti Mamluk Bahri, cicit al-Nashir, al-Shalih Hajji ibn Sya’ban (1381-1390) hanyalah seorang anak kecil yang setelah dua tahun memerintah, kekuasaannya diselingi oleh sultan lain, dan kemudian diakhiri oleh Barquq dari Circassius, pendiri dinasti baru yaitu Dinasti Burji. Barquq memulai karir sebagai budak untuk anak al-Asyraf, yakni Sya’ban. Sebelum Barquq, seorang Circassius lainnya, Baybar II (1308-1309), seorang budak Qallawun, adalah satu dari tiga sultan yang menyelingi kekuasaan al-Nashir.

D. Keruntuhan Mamalik Burjiyah ; Akhir dari Kekuasaan Dinasti Mamalik
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya dinasti Mamalik adalah karena lemahnya kemampuan para sultan dari Mamalik Burjiyah dalam mengatur roda pemerintahan, kecuali dalam hal latihan militer. Sedangkan dalam mempertahankan eksistensi sebuah dinasti tidak cukup hanya kemampuan militer saja tetapi juga keahlian dalam mengelola dan mengatur pemerintahan yang tentu saja membutuhkan seorang sultan atau penguasa yang ahli dalam hal itu.

Kelemahan ini disebabkan karena banyak penguasa Mamalik Burjiyah tidak menyukai ilmu pengetahuan, bahkan sultan Barquq, Inal, Bilbay, mereka buta huruf. Yalbay, sultan keenam belas dari Mamluk Burji bukan hanya buta huruf tetapi juga gila. Disamping itu mereka bermoral rendah, cinta kemewahan dan hobi berfoya-foya yang menyebabkan pajak dinaikkan. Bahkan dari begitu banyak sultan yang berkuasa selama 134 tahun, hanya Barquq yang mempunyai ayah seorang muslim.

Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para Sultan, namun juag oleh para pejabat rendahan.Para amir dan budak-budak Mamluk yang jumlahnya sangat banyak mengorganisir diri mereka sendiri dalam berbagai fraksi yang menginduk pada kelompok pengawal masing-masing yang satu sama lain saling memusuhi. Masing-masing fraksi semata-mata digerakkan oleh hasrat untuk menguasai semua kekayaan dan pengaruh.

Selain itu, terjadi pula kemarau panjang yang menyebabkan sungai Nil menjadi dangkal dan pengairan pertanian terhambat. Dan ketika pada tahun 1498 M (903 H), Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan (Lautan Hindia) dan menjadikannya pusat perdagangan sehingga jalur perdagangan dialihkan dari Kairo yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara ke Tanjung Harapan.

Pada pihak lain kerajaan Usmani yang terus berkembang dan bahkan mengancam Mamalik, telah memanfaatkan keampuhan senjata api. Dalam situasi yang demikian serangan pasukan Turki Usmani tentu sulit untuk dibendung. Dan akhirnya tahun 1517 Kairo jatuh. Mulai saat ini Mamalik hancur dan dengan demikian Mesir masuk wilayah kekuasaan dinasti Usmaniyah.

Dalam sejarah Islam, Khalifah-Sultan dari Konstantinopel menjadi raja yang paling kuat, yang mewarisi tidak hanya kekhalifahan Baghdad, tetapi juga kekaisaran Bizantium. Dengan hancurnya kekuatan dinasti Mamluk, dan berkembangnya kekuasaan bangsa Turki di Bosporus, maka focus kekuatan Islam diarahkan ke barat. Dan pada kenyataannya, pada saat itu pusat peradaban dunia telah berpindah ke Barat. Penemuan Amerika dan Tanjung Harapan telah mengalihkan perdagangan dunia ke rute-rute baru, dan seluruh kawasan Mediterania Timur mulai tenggelam di balik tirai sejarah. Disini, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada Abad Pertengahan di atas reruntuhan kerajaan Arab telah sampai pada titik akhir, dan sejarah modern kerajaan-kekhalifahan Utsmani dimulai.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun
http//www.wikipedia Indonesia
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II
As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an -Nihayah
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//146/dinasti-mamalik-di-mesir-masa-kemunduran
Wafi Marzuqi Ammar, Dinasti Mamluk: Sumbangannya terhadap dunia Islam (Makalah), 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Mamluk
Syamsudin Arif, Orientalis Dan Diabolisme Pemikiran
Muqaddimah Ibn Khaldun, Pen. Ahmadie Thaha
Philip K. Hitti, History of The Arabs
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar