4.02.2012

kajian Pemikiran Islam 2

QUESTION: Islam tidak membenarkan sikap orang yang sombong dan angkuh, yang merasa benar sendiri dengan pendapatnya, padahal di alam ini, yang bersifat mutlak hanya Allah. Sedangkan manusia adalah makhluk yang relatif. Karena itu, setiap pendapat manusia adalah relatif, sehingga ia tidak boleh memutlakkan pendapatnya, dengan menyalahkan atau menyesatkan orang lain. Hanya Allah yang tahu akan kebenaran yang hakiki. Manusia tidak tahu dengan pasti suatu kebenaran.
(A. SETUJU B. TIDAK SETUJU)

ANSWER: Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.

Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia,…tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak.

Resiko Relativisme Kebenaran:

1. kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, karena manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia.
2. mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu.
3. menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya.
4. menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kwalitas yang sama nisbinya.
5. membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan.
6. berlawanan dengan konsep ilmu. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan (tafsir nisbi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar