4.11.2010

Tuhan tidak ada!

Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya.
Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat.
Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan, dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan.
Si tukang cukur bilang,”Saya tidak percaya Tuhan itu ada”.
“Kenapa kamu berkata begitu ???” timpal si konsumen.
“Begini, coba Anda perhatikan di depan sana , di jalanan… untuk menyadari bahwa Tuhan itu tidak ada.
Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada,
Adakah yang sakit??,
Adakah anak terlantar??
Jika Tuhan ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan.
Saya tidak dapat membayangkan Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi.”
Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat.
Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur.
Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar (mlungker-mlungker- istilah jawa-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.
Si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata, “Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR.”
Si tukang cukur tidak terima,” Kamu kok bisa bilang begitu ??”.
“Saya disini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!”
“Tidak!” elak si konsumen.
“Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana “, si konsumen menambahkan.
“Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!”, sanggah si tukang cukur.
” Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya”, jawab si tukang cukur membela diri.
“Cocok!” kata si konsumen menyetujui.
“Itulah point utama-nya!.
Sama dengan Tuhan, TUHAN ITU JUGA ADA !
Tapi apa yang terjadi… orang-orang TIDAK MAU DATANG kepada-NYA, dan TIDAK MAU MENCARI-NYA.
Oleh karena itu banyak yang sakit dan tertimpa kesusahan di dunia ini.”
Si tukang cukur terbengong !!!

UMAT ISLAM DI PERSIMPANGAN JALAN

فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ (التكوير26)
“Maka kemanakah kamu akan pergi (Q.S. At-Takwîr/81:26)

Karakteristik terpenting dari umat Islâm sebagai umat terbaik adalah umat yang satu (ummatan wâhidah). Allah berfirman : “Sesungguhnya (agama tauhîd) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Q.S. Al-Anbiyâ’/21:92). Tersirat dari ayat ini, bahwa pondasi ummatan wâhidah adalah tauhîd. Kesamaan dan kesepahaman dalam tauhîd akan memuluskan jalan menuju persatuan umat. Diakui ataupun tidak problematika terbesar yang dihadapi umat Islâm selama ini adalah persatuan. Membicarakan masalah ummat tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang ukhûwah, sebab tidak akan terwujud persatuan tanpa adanya ukhûwah dan tidak akan terjalin ukhûwah tanpa adanya kesamaan tauhîd.

Umat Islâm saat ini yang tercampakkan di sudut peradaban; hina, kotor, sakit, tidak ada kemampuan untuk ikut berlaga di kancah kemajuan zaman, Apa yang salah ? siapa yang salah ? Ada lagikah korban kesekian yang akan di “kambing hitam”kan lagi oleh umat Islâm ?, memilukan. Kesalahan dan kelemahan tidak terdapat pada syari’at agama ini, “Dan al-Qur’ân itu bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk, maka kemanakah kamu akan pergi. Al-Qur’ân itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapatmenghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allâh , Tuhan semesta alam”. (Q.S. At-Takwîr/81:25-29)

Kemana kita akan pergi ? sedangkan kita bercerai-berai, bersilang paham dan saling melukai. Persatuan umat Islâm adalah keniscayaan. “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Q.S. Al-Hujurât/49:10). Ayat ini terus menerus dikuliahkan dan dikhutbahkan, dan selalu dijadikan hujjah dalam diskusi-diskusi dikalangan kita, supaya umat ini bersatu. Tetapi sampai saat ini cita-cita itu masih berupa mimpi yang indah di gulita malam.

Di bidang duniawi (sosial politik) masih tetap bersimpang siur. Dalam menghadapi soal negara belum juga kelihatan kesatuan sikap dan tindakan. Maka tampaknya saling menjegal.

Kenapa ummat Islâm belum dapat bersatu ? padahal mereka tahu bahwa ajaran Islâm menghendaki yang demikian itu. Dr. Mohammad Natsir mengungkapkan bahwa persatuan adalah soal hati. Kenyataannya konsep Innamal Mu’minûna Ikhwah sebatas slogan pemanis bibir dalam pidato-pidato para pemimpin sekarang, dimana mereka tidak menjiwai persatuan dalam ikatan rasa persaudaraan yang tumbuh dari keimanan kepada Allâh dan rasul-Nya.

Persatuan merupakan masalah qalbu dan wijhah, yakni tujuan hidup yang diniatkan oleh hati yang hendak diraih, serta merupakan kebersihan amal untuk mencapai tujuan dengan penuh keikhlasan.

يآ أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللهُ وَ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ (الأنفال : 64)

“Wahai Nabi, cukuplah Allâh (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu”. (Q.S Al-Anfâl/8:64)

Tujuan hidup orang-orang mukmin hanyalah satu : yakni keridlaan Allâh semata. Inilah motif dari melakukan sesuatu atau menahan diri melakukan sesuatu. Ini pula yang menjadi dasar dalam ibadah dan beramal. Keridlaan Allâh bukan keridlaan manusia.

“… yang menafkahkan hartanya (di jalan Allâh ) untuk membersihkannya. Padahal tidak seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridlaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”. (Q.S. Al-lail/92:18-21).

Tujuan mencari keridlaan Allâh yang dipegang orang-orang mukmin inilah sebagai ikatan pemersatu ummat. Dari itu pula tumbuhnya tali ukhuwah yang sebenarnya.
Apabila umat Islâm, terutama para pemimpinnya menyadari dan menghayati, apa wijhah yang harus mereka tuju sebagai umat Muhammad yang berpegang teguh padanya dalam segala aspek kehidupan, maka yang akan lahir bukanlah perpecahan, melainkan perlombaan dalam berbuat baik, jujur dan sehat serta sinergis (saling mengisi, menguatkan dan membangun). Firman Allâh ;
وَ لِكُلِّ أُمَّةٍ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا اْلخَيْرَاتِ (البقرة:148)
“Dan bagi tiap-tiap ummat ada tujuan yang ditujunya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (Q.S. Al-Baqarah/2:148).

Kita tidak berharap wijhah yang suci ini kemudian menjadi samar-samar dan kabur di tengah perjuangan mencari keridlaan Allâh yang asalnya hendak ditanamkan cinta kepada Allâh dan takut kepada-Nya menjadi cinta harta dan kedudukan serta takut mati (al-wahn), yang dimaksud tadinya da’wah ilallâh (memanggil ummat kepada Allâh ) menjadi da’wah ilân nafsî (takabur dan egois), yang tumbuh adalah ananiyah (egoisme) dalam berbagai bentuk dan coraknya.

Kalau sudah sampai tingkat itu, maka persatuan ummat Islam dilukiskan oleh Allâh , “Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka berpecah belah”. (Q.S. Al-Hasyr/59:14).

Setelah semuanya jelas bagi kita, apakah ummat ini masih akan dipersimpangan jalan ?. “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allâh kepadamu agar kamu bertakwa”. (Q.S. Al-An’âm/6:153). Wallâhua'lam.

AQIDAH BARU DI TAHUN BARU

Adalah tahun baru merupakan awal perjalanan kehidupan 365 hari ke depan, dari 365 hari yang telah lewat. Tahun baru juga awal 12 bulan ke depan dari 12 bulan yang telah lewat. Allah ‘azza wajalla dalam Al-qur’an menggunakan kata yaum (hari) terulang sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun. Subhanallah.

Sekarang kita menjalani hari-hari pertama tahun baru 2010 dan bulan pertama di tahun yang sama, apapun pemaknaan orang tentang tahun baru, bagi umat Islam bukanlah hal yang rumit untuk memaknainya. Berangkat dari prinsip “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan besok harus lebih baik dari hari ini” melengganglah umat Islam menjalani tahun baru tanpa harus terbebani pertimbangan-pertimbangan duniawiyah yang memenjarakan dan memperbudak.

Tentu penghitungan awal tahun baru bagi umat Islam adalah bulan Muharam dalam tahun Hijriyah. Sesuai dengan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab radliallâh ‘anhu atas momentum hijrahnya Rasulullâh salallâhu ‘alaihi wa salam dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Sedangkan Januari adalah awal dari tahun baru Masehi berdasarkan momentum kelahiran Isa Al-masih.

Memaknai tahun baru bagi umat Islam harus berbeda dari apa yang dilakukan umat lain. Dalam menentukan tahun baru ini agenda umat Islam terbesar ialah meluruskan aqidah dan persepsi tentang tauhid, risalah dan pembalasan. Tahun baru haruslah mewujudkan aqidah yang baru, dalam arti peningkatan dan pengokohan kembali keimanan dan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla untuk menghadapi tantangan da’wah ilallah yang mungkin tidak lebih ringan dari tahun kemarin.

Kenapa kita harus memfokuskan agenda terbesar pada pengokohan kembali aqidah ? sebab kita menyadari bencana dan ujian yang terus menerus menimpa kita bukanlah akibat krisis ekonomi, politik sosial, maupun budaya, melainkan dilahirkan oleh krisis aqidah. Akibat dari krisis aqidah inilah lahirlah krisis duniawi di atas. Dimana manusia mengalami kehancuran akhlaq, melalaikan ibadah dan menghamba kepada selain Allâh ‘azza wa jalla yang Maha Kaya dan Maha Perkasa.

Agenda umat Islam ditahun baru dengan meluruskan aqidah dan berbagai persepsinya terbagi dalam tiga hal : pertama, meneguhkan kembali sendi-sendi tauhid. Syirik adalah kejahatan paling besar yang dilakukan oleh manusia, Allah berfirman :

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذلِكَ ِلَـمَنْ يَشَآءُ.. (ألنساء : 48)
“ٍٍٍٍٍٍSesunggguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allâh akan mengampuni dosa-dosa selain dosa syirik bagi orang-orang yang di kehendaki-Nya..... ” (QS. An-Nisa : 48)

Sebab syirik merupakan kedzaliman terhadap hakikat, pemalsuan terhadap kenyataan dan penurunan terhadap martabat manusia dari kedudukannya sebagai pemimpin seperti yang di kehendaki Allâh ‘azza wa jalla. Lalu beralih ke martabat penghambaan dan ketundukan makhluk, baik kepada benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, atau lain-lainnya.(QS. Lukman :13, Al-hâjj : 30-31)

Karena syirik itu merupakan sarang berbagai kebatilan dan khurafat, maka kita wajib untuk menyembah Allâh ‘azza wa jalla semata dan meyakini bahwa yang demikian ini merupakan prinsip pertama yang ada dalam semua risalah para nabi, setiap nabi menyeru kaumnya untuk menyembah Allah, yang tiada sembahan selain Dia. (QS. An-Nahl : 36, al-Anbiya’ : 45)

Seruan tauhid merupakan asas kebebasan yang sebenarnya. Tiada kebebasan bagi orang yang mensucikan orang lain atau yang menyembah harta dan jabatan. Seruan kepada tauhid juga merupakan asas persaudaraan dan persamaaan derajat, karena hal itu hamba Allâh ‘azza wa jalla. Kedua, meluruskan aqidah tentang Nubuwwah dan Risalah. Masalah ini dapat dirinci sebagai berikut :

1.Umat Islam harus meyakini akan adanya kebutuhan terhadap Nubuwwah dan Risalah. Sehingga manusia, tidak mempunyai alasan untuk menolak keduanya (QS. An-Nahl : 64,Al-Baqarah : 213)

2.Umat Islam harus meyakini bahwa para rasul diutus untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan kepada manusia. Mereka bukan Tuhan yang di sembah dan bukan pula anak-anak Tuhan, tapi mereka manusia biasa yang mendapatkan wahyu (QS. Al-kahfi : 110).

3.Umat Islam harus menghindari berbagai syubhât yang di bangkitkan orang-orang terdahulu yang merendahkan dan meragukan risalah para Rasul. ( QS. Ibrâhim : 11, Al-Isra :95)

4.Umat Islam harus meyakini adanya kesudahan (tsawâb) yang baik bagi orang-orang yang membenarkan risalah dan meyakini adanya kesudahan yang buruk (‘iqab) bagi orang-orang yang mendustakan mereka (QS. Al-Furqan : 27-29, Yunus : 103)

Ketiga, Umat Islam harus memantapkan aqidah iman kepada akhirat dan pembalasan. Ada beberapa cara untuk memantapkan aqidah tersebut diantaranya adalah :

1.Meyakini akan kekuasan Allah untuk mengembalikan makhluk seperti sediakala (QS. Al-Hâjj : 50)

2.Memahami peringatan tentang penciptaan manusia di banding penciptaan alam yang lebih besar, ini termasuk hal yang remeh (QS. Al-Ahqâf : 33)

3.Meyakini adanya hikmah Allâh ‘azza wa jalla dibalik perbedaan balasan yang diterima oleh orang-orang yang berbuat baik dan balasan yang diterima oleh orang-orang yang berbuat buruk (QS. Al-Mukmin : 115, Shâd : 27-28)

4.Meyakini adanya pahala bagi orang-orang mukmin dan meyakini siksa dan penyesalan bagi orang-orang kafir (QS. Al-Bayyinah : 6-8)

5.Menepis berbagai persangkaan orang-orang kafir dan musyrik bahwa sesembahan mereka dapat memintakan syafaat di kiamat (QS. An-Najm : 30-39, Al-Mukmin : 18, Al-Baqarah : 255, Al-kahfi : 49)

Tiga pilar pengokohan aqidah di atas akan menjadi modal besar dalam usaha perbaikan kehidupan dunia dan akhirat, tanpa ada keraguan lagi. Jika dijalankan dengan penuh konsistensi (istiqomah), bersungguh-sungguh dan berharap ridha Allah semata.

Wallahu’alam.

INDAHNYA HIDUP BERTETANGGA

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS An Nisaa' 4: 36)

Salah satu yang harus kita nikmati dalam hidup adalah bagaimana rukun dengan tetangga kita. Kita tidak bisa memilih tetangga yang selalu sesuai dengan keinginan kita.

Tetapi kita harus bisa menyikapi setiap tetangga dengan sikap terbaik kita. Kelebihannya kita sikapi dengan sikap terbaik, sehingga menjadi ladang yang kita syukuri. Kita bisa mendapatkan manfaat dari tetangga yang banyak kebaikan. Demikian pula kekurangan tetangga pun harus menjadi ladang amal bagi kita. Karena, dia juga adalah saudara kita, yang harus kita bantu menjadi lebih baik dalam hidupnya.

Kita pun harus senang untuk melupakan, jangan merasa berjasa, merasa lebih. Karena, kalau kita banyak berharap dari tetangga kita, akan banyak terluka hati kita. Karena ingin dihargai, ingin dihormati, ingin dipuji, maka akan makin tertekan diri kita. Pendek kata merdekakan diri ini dengan banyak berbuat, bukan banyak berharap dari tetangga-tetangga kita.

Kita tidak akan pernah rugi dengan situasi apapun jika kita selalu bersikap benar di jalan yang Allah sukai. Tapi kita akan rugi kalau kita menjadi zalim kepada orang lain. Kalau kita berbuat kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita.

Tetapi, kalau kita berbuat keburukan, maka keburukan itu pula yang akan kembali kepada kita. Mudah-mudahan dengan latihan hidup rukun dalam bertetangga, lingkungan akan bisa kita nikmati di dunia ini dan bisa menjadi amal untuk kelak di akhirat nanti.

Alangkah beruntungnya jika kita hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang mulia. Walaupun rumah sempit, kalau tetangganya baik, akan terasa lapang. Dan, alangkah ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.

Memang sungguh nikmat jika kita memiliki tetangga-tetangga yang baik ahlak, ramah, dan penuh perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk bersikap baik terhadap siapapun.

Musik yang bagus berawal dari suara dan tangga nada yang berbeda-beda, namun kalau dipadukan akan menjadi indah. Artinya, kita tidak bisa mengharapkan tetangga-tetangga kita persis sama dengan kita. Bisa jadi perbedaan keadaan tetangga malah memperindah ahlak kita. Ada tetangga yang melimpah rizkinya, ada yang kurang rizkinya, ada yang berkedudukan tinggi, ada yang tidak berkedudukan, ada yang rumahnya di gang sempit (berdempet-dempet), ada yang bertipe menengah, perumnas, atau BTN, bahkan ada yang besar luas sampai tidak tahu tetangga kanan kiri. Ini adalah sebuah simponi yang kalau disikapi dengan niat yang indah, niscaya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya."

Inilah keadaan rumah Rasul, ketika beliau memasak maka tetangga yang mencium bau masakan tersebut ikut mendapat makanan. Namun, yang paling penting, kita melihat bahwa kebahagiaan kita itu bukan soal kita mendapat sesuatu atau tidak dari tetangga. Yang harus kita latih, kenikmatan bertetangga bukan mengharapkan sesuatu dari tetangga, tapi berupaya agar kita bisa berbuat yang terbaik untuk tetangga.

Kita akan tertekan ketika kita berharap banyak. Sebab, yang namanya rizki tidak selalu bermakna apa yang telah kita dapatkan, melainkan apa yang bisa kita lakukan. Jangan sampai gorden rumah kita copot gara-gara terlalu sering melihat tetangga. Makin sering nengokin tetangga, bisa jadi akan semakin menderita, sebab kedengkian kita kepada tetangga tidak akan mempengaruhi rizki tetangga, sebab yang membagikan rizki adalah Allah.

Sialnya jika kita dengki sama tetangga namun tetangga tambah nikmat. Tentu kita tambah menderita. Tetangga makin pulas, kita nggak bisa tidur. Mau keluar rumah susah, mau masuk juga susah. Bagaimana tidak, sosok tetangga yang kita dengkikan itu terus muncul di depan kita.

Maka di sini kita harus mampu mengemas kehidupan bertetangga menjadi ladang amal kita. Kalau kita punya tetangga kaya, sukses, jangan iri hati dan jangan suka mengintip. Apabila tetangga memperoleh kesuksesan atau keluasan rizki, belajarlah senang dengan kesuksesan orang. "Alhamdulillah, dia ternyata sekarang dititipi rizki. Mudah-mudahan barokah, mudah-mudahan bisa banyak manfaat."

Kalau ada tetangga kita yang kekurangan, harus menjadi ladang amal bagi kita. Tidak termasuk orang yang beriman kalau kita kenyang dan pada saat yang sama tetangga kita lapar. Tidak akan miskin dengan menyantuni tetangga. Jika beras cukup, sisihkan sebagian untuk tetangga. Baju bekas anak-anak yang masih layak pakai, kalau belum sanggup memberikan baju bagus, berikan pada anak tetangga. Panci kita sudah agak penyok-penyok, berikan pada tetangga yang membutuhkan, kalau kita belum sanggup memberinya panci yang bagus. Tentu saja, jika mampu, berikanlah barang-barang yang berkualitas terbaik.

Di sinilah sebenarnya hasil ibadah kita akan terlihat, karena alat ukur ibadah kita bukan ketika sedang shalat saja, tapi bagaimana sesudahnya. Misalnya, shalat itu 5 x 10 menit atau 50 menit, dibulatkan menjadi sekitar 1 jam sehari, sedangkan 1 hari 24 jam. Bagaimana mungkin yang 1 jam baik, sedang yang 23 jam jelek semuanya?

Tidak akan rugi berbuat baik pada tetangga. Makin tetangga merasa nikmat dengan kita, dengan sendirinya mereka akan ikut membela kita. Sehebat apapun kita, tetap butuh tetangga. Misalnya, kita punya saudara dokter, tapi saat anak sakit yang duluan menolong pasti tetangga. Punya saudara anggota pemadam kebakaran, jika kompor di rumah meletus, yang lebih dulu membantu memadamkan pasti tetangga. Punya saudara jendral atau polisi, datang maling ke rumah, lantas kita teriak, yang duluan ngejar juga tetangga.

Maka kalau punya tetangga, terus perhatikan. Setiap kebahagiaannya, kita ikut bahagia. Anaknya lulus, alhamdulillah. Anaknya dapat kerjaan, alhamdulillah. Anak tetangga dapat jodoh, alhamdulillah. Insya Allah, kita akan bahagia terus. Hidup penuh kesyukuran kepada Allah Yang Maha Pemurah.

Makin tetangga sayang kepada kita, makin berbahagia hidup kita. Karena itu, bersilaturahmi dengan tetangga itu jangan cuma sisa waktu. Maksudnya, luangkan waktu, tenaga, fikiran untuk terus bersilaturahmi memperhatikan tetangga. Kalau mereka ingin maju, majulah bersama-sama. Karena, kalau kita maju sendirian dan tetangga tidak ikut maju, bisa jadi muncul kecemburuan sosial. Hal ini tentu akan merusak iklim pergaulan sosial di sekitarnya.

Jika kita jadi orang kaya namun tinggal di lingkungan perumahan sederhana, kemudian bikin rumah lima lantai sendiri tapi di sekelilingnya gubuk, tentu bisa menimbulkan sakit hati. Usahakan kalau kita punya rumah jangan sampai terlalu menyolok, membuat orang lain dengki. Seperti kata Rasul, jangan sampai menutupi cahaya, kecuali kalau mereka ridha. Kalau tidak, berikan kompensasi yang memadai. Pokoknya jangan berbuat yang membuat tetanga tidak suka kepada kita.

Pertanyaannya, bagaimana kalau tetangga kita yang kurang baik ahlaknya? Ini juga bisa jadi ladang amal. Kalau dalam satu RT ada tetangga yang ahlaknya kurang bagus, kita jangan meladeni dengan hal yang sama, sebab nanti di tempat itu jadi ada dua yang sama jeleknya: dia dan kita.

Tetangga yang kurang baik, yang kurang bijaksana, harus menjadi ladang amal bagi kita. Kita berkewajiban memberi contoh bagaimana sikap bertetangga yang baik. Sikap emosional, sikap membalas dendam, hanya akan membuat kehidupan bertetangga bagai api disiram bensin.

Bila kita sudah berusaha berbuat baik terhadap tetangga kita, namun ternyata tetangga kita berbuat sebaliknya, misalnya dia kurang mengetahui etika bertetangga, kita perlu pahami bahwa orang berbuat salah, berbuat jelek, belum tentu orang itu ingin berbuat zhalim. Ada orang berbuat salah karena dia merasa hal itu adalah benar menurut standar dia. Dia belum tahu, maka tugas kita adalah memberi tahu. Ada yang sudah tahu, tapi masih susah menghilangkan kesenangannya, maka kita bantu agar secara pelan tapi pasti dia bisa mengganti kesenangannya tanpa merugikan orang lain.

Sebagai pelajaran, hati-hati dalam berbuat. Jangan sampai tetangga merasa teraniaya. Yang paling penting adalah jangan hadapi tetangga dengan kebencian, karena kalau kita sudah benci kita akan cenderung menjatuhkan, menyakiti, membeberkan aib, dan semua ini tidak menjadi solusi.

Tetangga memang orang terdekat dengan kita. Menurut Imam Syafi'i, mereka adalah empat puluh rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah. Tetangga adalah orang terdekat dengan kita. Orang tua bilang, mereka adalah 'andalan' untuk segala suasana.

Rasanya, kita senantiasa harus melakukan instrospeksi terhadap diri pribadi. Apakah tetangga kita menyukai kehadiran kita atau jangan-jangan mereka malah terganggu dengan kehadiran kita. Maka sudah saatnya kita menebarkan salam, senyum, pada orang yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Menjaga perasaan mereka, mengulurkan bantuan sekuat tenaga.
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya." (HR Muslim).

Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa kita tolak. Manusia, bukan semata-mata personal-being (makhluk individu), tapi juga merupakan social-being (makhluk sosial). Seseorang tidak bisa hidup secara sendirian atau menyendiri. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama. Ini merupakan hukum sosial. Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjama'ah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.

Isyarat hidup berjama'ah dalam kebaikan dan harus senantiasa memeliharanya, misalnya termaktub dalam surat Al-Maidah ayat 2, yang artinya sebagai berikut;

"Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya."

Dalam menumbuhkan dan mensosialisasikan budaya kebaikan dan taqwa itu, tetangga merupakan objek yang patut didahulukan (setelah anggota keluarga tentunya). Ini hirarki penyebaran kebaikan sebagaimana diarahkan Al Qur'an.

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur itu suatu kebaikan. Akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta.".

Bahwa urutan kebaikan menurut ayat di atas adalah, setelah beriman (dalam pengertian menyeluruh), maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang sehat. Jadi Islam menginginkan budaya kesalehan itu tidak terbatas pada sekup personal (pribadi), tapi juga terciptanya kesalehan secara sosial. Maka, dalam konteks ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangga menjadi sangat penting dan wajib.

Rasul memerintahkan kita untuk selalu menghormati tetangga jika kita benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir, seperti termaktub dalam hadits beliau di bawah ini;

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya." (HR Bukhori)

Anjuran untuk menghormati tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya jika dia benar-benar butuh pertolongan kita. Rasululullah saw misalnya, melarang kita berbuat gibah (menjelek-jelekkan kehormatan) pada tetangga kita. Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah gibah itu?" Beliau menjawab; "Engkau menyebut sesuatu yang tidak disukai dari saudaramu." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Nabi saw bersabda; "Jibril senantiasa menasihatiku mengenai tetangga, sehingga aku mengira dia akan mewariskannya." (Muttafaqun 'Alaih)

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah mengatakan; "Memelihara hubungan dengan tetangga, termasuk bagian dari kesempurnaan iman." Paralel dengan pernyataan ini, Syeikh Yusuf Qorodhowi menyebutkan, seorang tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya. Bahkan, seorang tidak dikatakan beriman jika dia tidak bisa memberi rasa aman pada tetangganya.

Karena itu dalam salah satu fatwanya Yusuf Qorodhowi mengatakan, hukuman bagi pelaku zinah itu berat. Akan tetapi, bila pelaku zinah itu ternyata adalah tetangga korban sendiri, maka hukumannya harus lebih berat lagi.

Ya Allah 'Azza wa Jalla, jadikanlah kami warga yang baik bagi tetangga kami.

Kita dan Yahudi

Di Sudut pasar Madinah, seorang pengemis Yahudi buta selalu terdengar mengomel, “Jangan dekati Muhammad! Dia orang gila, pembohong, tukang sihir. Bila mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya.”

Setelah Rasululah saw wafat, suatu hari Aisyah berkata pada Abu Bakar, “Hampir tidak ada satu sunnah pun yang tidak ayah lakukan, kecuali satu.”

“Apa itu?” Tanya Abu Bakar

“Setiap hari Rasulullah pergi ke ujung pasar membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta di sana, lalu menyuapinya.”

Esok Harinya, Abu Bakar menemui pengemis dimaksud dan memberinya makanan. Ketika sang Khalifah mulai menyuapinya, tiba-tiba pengemis itu berteriak, “Siapa kamu?”

“Aku orang yang biasa menyuapimu,” jawab Abu Bakar.

“Ah, bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” Sergah si pengemis. “Bila ia mendatangiku, tangan ini tidak perlu memegang dan mulut ini tidak susah mengunyah. Ia selalu menyuapiku dengan lebih dulu menghaluskan makanan dengan mulutnya.”

Abu Bakar tak kuasa menahan tangisnya, lalu tersendat ia berkata,”Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu. Aku seorang sahabatnya, sedangkan orang yang mulia itu telah meninggalkan kita. Dialah Muhammad Rasulullah saw.”

Demi mendengar penjelasan Abu Bakar, si pengemis tersedak. Orang yang selama ini ia coba bunuh karakternya ternyata justru pihak yang paling peduli padanya. Lalu, dengan spontan, ia berucap, “Asyhadu an laa Ilaaha Illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Si pengemis Yahudi bersyahadat.

Mahasuci Allah, betapa pengasih dan tanpa pamrih utusan yang Dia kirim ke muka bumi ini. Bisa kita bayangkan setiap kali Muhammad menyuapi si pengemis itu, setiap kali pula putra Abdullah ini mendengarkan cacian dan hinaan dari mulut orang yang justru kepadanya ia peduli.

Mahasuci Allah, betapa Rasul-nya yang agung telah menampakkan kesucian cinta Islam yang tiada tara terhadap umat lain. “Tetangga yang paling pertama harus diberi makanan, “ Kata Rasul yang agung ini, “Adalah mereka yang paling dekat pintu rumahnya dengan kita.” Sejarah mencatat, tetangga terdekat Muhammad selama bermukim di Madinah adalah orang Yahudi.

Demi Allah, tidaklah kita saat ini membenci Yahudi karena mereka ciptaan Allah. Namun, tidak lain karena pembangkangan mereka kepada Allah.

Dengan segala budi kebaikan Rasulullah saw yang luar biasa selama hayatnya kepada kaum Yahudi, namun apa balasan Yahudi terhadap umat Rasulullah saw? Setelah beratus-ratus tahun mereka mendapatkan perlindungan di negeri-negeri Islam setelah diusir, dikejar-kejar dan dibantai para penguasa Nashrani di Eropa, adalah kebiadaban yang tak terperikan apa yang mereka tampakkan di tanah suci Palestina. Kembali! mereka menampakkan sebagai bangsa yang tidak kenal budi dan kebaikan kecuali kecurangan dan keculasan. Sebagaimana pengkhianatan-pengkhianatan yang telah mereka kepada Rasulullah saw.

Alangkah mengerikan bagi kita, ketika setiap saat kita dininabobokan dengan ujar-ujar bahwa semua agama mengajarkan kebaikan tiba-tiba dihadapkan ke wajah kita doktrin-doktrin keagamaan Yahudi berikut ini:

“Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non Yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang.” (Kerithuth 6b hal.78, Jebhammoth 61a)

“Orang-orang non-Yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang Yahudi.” (Midrasch Talpioth 225)

“Jika seorang Yahudi membunuh seorang Cuthea, tidak ada hukuman mati. Apa yang dicuri oleh seorang Yahudi boleh dimilikinya”. Sanhedrin 57a.

“Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57, 6a)

“Jika dua orang Yahudi menipu orang non-Yahudi, mereka harus membagi keuntungannya.” (Choschen Ham 183, 7)

“Tanah orang non-Yahudi, kepunyaan orang Yahudi yang pertama kali menggunakannya.” (Babba Bathra 54b)

“Setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan.” (Babha Kama 113a)

“Kepemilikan orang non-Yahudi seperti padang pasir yang tidak dimiliki; dan semua orang (setiap Yahudi) yang merampasnya, berarti telah memilikinya.” (Talmud IV/3/54b)
“Orang Yahudi boleh mengeksploitasi kesalahan orang non-Yahudi dan menipunya.” (Talmud IV/1/113b)

“Orang Yahudi boleh mempraktekan riba terhadap orang non-Yahudi.” (Talmud IV/2/70b)
“Ketika Messiah (Raja Yahudi Terakhir atau Ratu Adil) datang, semuanya akan menjadi budak-budak orang-orang Yahudi.” (Erubin 43b)

Ketaatan mutlak kepada para rabbi sebagai pemegang otoritas tafsir Talmud. “Barangsiapa tidak taat kepada rabbi mereka akan dihukum dengan cara dijerang dalam kotoran manusia yang mendidih di neraka”. ( Erubin 2b)

Boleh melakukan kejahatan asal tidak dikenali sebagai Yahudi. “Bilamana seorang Yahudi tergoda untuk melakukan kejahatan (zina?), maka hendaklah ia pergi ke suatu kota di mana ia tidak dikenal orang, dan lakukanlah kejahatan itu di sana”. Moed Kattan 17a.

“Orang-orang non-Yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang Yahudi.” (Midrasch Talpioth 225)

Hal demikian adalah lumrah bagi mereka, bagaimana tidak, Allah Rabbul ‘Alamin pun mereka tantang dan inkari. Setidaknya ada dua Belas Kejahatan Yahudi kepada Allah swt yang termaktub dalam al-Qur'an:

1.Mempermalukan dan menyakiti hati Nabi Musa As. Yaitu ketika Nabi Musa malu untuk ikut mandi bersama-sama Bani Israel, maka mereka berkomentar bahwa Musa tidak ikut mandi bareng kita disebabkan punya penyakit kusta. Maka Allah pun menafikan tuduhan itu. (lihat kitab-kitab tafsir untuk QS. Al-Ahzab 69)

2.Enggan melaksanakan Taurat, maka Allah mengangkat gunung Thursina untuk mengambil perjanjian yang teguh (al-mÊthÉq al-ghalÊÐ) dengan mereka. (QS. Al-Baqarah 63 dan 93)

3.Mengatakan kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak akan beriman sehingga melihat Allah langsung. (QS. Al-Baqarah 55 dan al-Nisa: 153)

4.Merubah apa yang diperintahkan kepada mereka agar masuk masjid seraya bersujud (menundukkan diri, bersyukur) dan dengan mengatakan "ÍiÏah" (memohon ampunan dan mengakui kesalahan). Lalu mereka menggantinya perintah itu memasukinya dengan cara melata, mengesot dengan anusnya lalu mengatakan "ÍinÏah" (sebutir biji gandum). (QS. Al-Baqarah 58-59)

5.Menuduh Nabi Musa mengolok-olok mereka saat mereka disuruh menyembelih sapi betina berkenaan dengan peristiwa orang yang terbunuh. (QS. Al-Baqarah: 67)
6.Mereka menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan ini dari Allah. (QS. Al-Baqarah: 79)

7.Memutar-mutar lidahnya untuk menyakinkan bahwa yang dibaca itu adalah kandungan Alkitab yang diwahyukan, padahal sesungguhnya itu adalah hasil taÍrÊf mereka. (QS. Ali Imran: 78)

8.Mengutak-atik Firman Allah. (QS. Al-Baqarah: 75 dan al-Nisa: 46)

9.Menyembah patung sapi ketika Nabi Musa meninggalkan mereka untuk mengambil Taurat. (QS. Al-Baqarah 51 dan 92, al-Nisa: 153, al-A'raf: 152)

10.Mengatakan bahwa Tangan Allah terbelenggu (MaghlËlah). (QS. Al-Maidah:64)

11.Menuduh Allah itu faqÊr. (QS. Ali 'Imran: 181)

12.Menyuruh Nabi Musa dan Tuhannya berperang untuk kepentingan mereka (al-Maidah: 24)

Wallahu A’lam